• Beranda
  • Motivasi
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Opini
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Puisi
    • Langgam Cinta
    • Pertemuan Bahagia dan Sedih
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips - Trik
  • Who Am I

Bangun Pagi-pagi

 


Sejak menginjak usia seperempat abad, pertanyaan ini terus berbisik dalam benak, "Apa aneh jika di usia saya sekarang masih belum siap menikah?" Pasalnya kalau mau dilihat dari lingkungan saya tentu saja sudah banyak yang melangkah ke jenjang itu. Mulai dari teman-teman di kampung, rata-rata di usia mendekati 20-an mereka sudah menikah, sekarang teman-teman masa SD sudah pada nggendong anak.

Tentu bukanlah hal yang bijak jika terus membandingkan diri dengan orang lain. Pernikahan juga bukan sebuah perlombaan 17 Agustus. Tapi sejak selesai sekolah S1 mau tidak mau saya melihat kenyataan teman-teman sudah ramai sebar undangan pernikahannya. Teman-teman sekampus dan sepondok juga sudah banyak yang memutuskan untuk menikah.

Entah, apa karena saya dianggap sudah saatnya menikah atau bagaimana oleh para orangtua, sehingga mereka mulai sibuk menjodoh-jodohkan. Masalahnya dari beberapa orang yang dikenalkan belum ada yang krenteg di hati gitu. Itu kayaknya para orangtuanya saja yang berkeinginan menjadikan saya menantunya, tapi anak-anaknya sama sekali tidak peduli.

Sampai saat ini saya masih terus merasa belum siap menikah, saya pun mulai mempertanyakan kenormalan diri saya sendiri, saya sungguh merasa menjadi gadis yang aneh. Lalu saya ceritakan kegelisahan tentang diri saya ini pada beberapa teman, sialnya pikiran saya justru semakin budrek. Beberapa orang menyarankan saya menerima perjodohan, dan beberapa orang membebaskan pilihan saya. “Perempuan itu simple, cuma butuhnya yang pasti-pasti aja, jangan habiskan waktumu untuk menabung kekecewaan,” begitulah salah satu kata pamungkas seorang teman yang mau nggak mau juga membuat saya nggak bisa tidur. Hingga pertanyaan saya kini mulai berkembang, pertanyaan saya sekarang adalah bagaimana menjemput kesiapan menikah itu?

Kalau persiapan ya tentu dilakukan, menua adalah hal pasti. Saya juga mengamini kata Pak Fahruddin Faiz, “Sepahit-pahitnya orang menikah, lebih pahit lagi yang tidak menikah.” Secara pribadi saya sendiri pernah bergumul tentang perkara menikah ini, yaitu tepatnya setelah ngaji kitabnya Imam Al-Ghazali Kimyaus sa’adah. Di kitab itu Imam Al-Ghazali menuliskan diantaranya tentang keuntungan menikah dan tantangannya. Menurut Al-Ghazali diantara keuntungan menikah adalah kita bisa fokus belajar dan mengabdi untuk ilmu karena sudah ada yang mengurusi makan dan minum. Sedang tantangannya adalah di zaman sekarang mencari rezeki yang halal itu sulit, karena semuanya sudah bercampur antara halal dan haram, jadi banyak unsur yang syubhat. Duarr.. gimana loh..

Sebentar.. sebentar jangan kisruh dulu, Imam Al-Ghazali hidup sekitar tahun 450 – 505 H. Beliau adalah seorang filsuf dan ulama besar, wajar jika salah satu harapannya menikah adalah agar hidupnya bisa lebih fokus dengan dunia ilmu. Tanpa mengesampingkan kesetaraan, di zaman itu pekerjaan domestik masih dikaitkan dengan ranah perempuan saja, meski pandangan ini juga tetap lestari, pun di hari ini. .

Sekarang alasan tantangannya itu yang cukup bikin khawatir, coba di zaman para ulama salaf sholeh saja mereka sudah khawatir dengan susahnya mencari rezeki yang halal. Apalagi zaman kiwari kita-kita ini, ada proyek buat rebutan, naik pangkat sikut-sikutan, sampai korupsi membudaya. Aihhh jaman wes akhir.

Dua poin dari Imam Al-Ghazali itu cukup menjadi renungan saya apakah saya akan menikah atau tidak. Dalam fikih hukum menikah bisa menjadi berbeda-beda, para ulama zaman dulu banyak yang tidak menikah karena sibuk belajar. Ahh.. tapi saya siapa, hanya seorang yang nggak jelas dan masih menyusahkan orangtua. “Imam Nawawi nggak menikah menulis banyak karya, lha koe..” ungkap Gus Baha dalam cuplikan pengajiannya yang saya temukan saat scrool timeline Instagram.

Setelah mengalami perenungan-perenungan pikiran dan batin, berkaca pula dari rasa kesepian yang mulai merasuki masa dewasa ini. Saya pun memutuskan memilih untuk menikah. Meskipun belum ada calonnya yang penting sudah diputuskan dulu, yang penting saya sadar memilih memutuskan perkara ini. Berkumpul dengan keluarga, menciptakan kehangatan untuk anak-anak sepertinya cukup menantang dan menarik. Mewujudkan keluarga sakinah wamaslahah, membangun baiti jannati, sepertinya semua orang berangan-angan begitu nggak sih ?

Dulu dii masa sekolah SMK sebenarnya saya pernah punya cita-cita untuk menikah di usia 24 tahun. Tapi ternyata rencana menikah bukanlah hal yang bisa diwujudkan seperti masuk sekolah. Menikah bukan perkara yang sudah ada jadwalnya dan terpampang. Jadwalnya tentu saja ada, tapi kita tidak bisa melihatnya karena yaitu, perkara jodoh dan maut rahasia Ilahi.

Di usia yang saya cita-citakan menikah saat masih SMK itu, realitanya saya malah menjadi belum memikirkannya. Waktu itu  masih punya kewajiban belajar yang belum terselesaikan. Jadi ya urusan menikah belum prioritas. Lagipula belum ada juga kisah-kisah perjodohan.

Hingga waktu terus berlalu, saya sibuk mencari sesuap nasi demi bertahan hidup di rantau. Dan pertanyaan itu membisik. Saya sebenarnya bukanlah orang yang terbiasa dengan hubungan ‘pacaran’, bukan karena saya setuju indonesia tanpa pacaran. Tapi ya bagi saya yang merasa mengalir saja dalam menjalani relasi dengan siapapun, tidak menganggap penting-penting amat dengan istilah pacaran atau semacamnya. Lagipula sejak SD Bapak selalu mengancam, “Ora usah pacar-pacaran, ra sekolah nek pacar-pacaran,” dengan suara khasnya membuat saya dan adek cukup merinding. Dengan prinsip yang saya pegang erat-erat itu, teman-teman kampus saya para ukhtea selalu berkata, “Masyaallah mik kamu keren ya bisa nggak pacaran, aku pengen kayak kamu,” dalam hati saya cuma membagong.

Meski begitu, pada dasarnya saya memang cukup supel dan suka bergaul dengan banyak orang, baik perempuan atau laki-laki.  Aktivitas sejak sekolah memang sudah cukup padat, sampai menginjak kuliah saya menjadi cukup aktif di kampus. Namun karena prinsip-prinsip saya sendiri itulah justru saya lebih banyak terjebak dan menjadi korban friendzone serta ghosting berkedok sahabat. Naseb.. naseb.

Bahkan sampai setelah lulus kuliah dan bekerja, saya merasa masih sering menjadi korban hubungan nggak jelas. Sejak merasakan satu patah hati  ke  patah hati yang lain, antara kasih tak sampai, kasih terbentur kondisi, kasih terbentur sahabat, dan entah apalagi itulah, saya menjadi sok berteori tentang cinta dan menikah ini.

Inilah beberapa hasil bergumulan batin dan pikiran yang berhasil dirumuskan dari rentetan patah hati ke patah hati yang lain. Beberapa diantaranya juga hadiah karena menjadi tempat curhat para orang-orang yang juga patah hati lantaran putus cinta dari kekasihnya setela lama menjalin hubungan dan berkomitmen.

Pertama, sampai detik ini saya pikir orang yang menikah karena saling mencintai adalah hak istimewa, privilese yang tidak dinikmati semua orang. Betapa banyak orang menikah lantaran bukan karena saling cinta, melainkan karena faktor ekonomi, desakan orangtua, atau faktor kepentingan seperti bisnis dan politik misalnya. Di desa-desa perempuan dinikahkan juga bisa lantaran orangtuanya terlilit hutang.

Selanjutnya, bisa jadi cinta bukanlah unsur terpenting dari sebuah pernikahan. Kita melihat, banyak orang yang menikah tidak diawali dengan rasa cinta dulu, bahkan saling nggak kenal mulanya. Tapi langgeng-langgeng aja sampai kakek nenek. Cinta memang bukan unsur nomor wahid dalam pernikahan. Lagipula ‘tresno jalaran soko kulino’ bukanlah hal yang mustahil.

Kemudian, menyitir lagunya Sal Priadi ‘Irama Laot Teduh,’ “Apa kau sudah siap? kapal ini kan laju”. Lebih dari cinta, pernikahan adalah bagaikan sebuah kapal. Di kapal itu dua insan berlayar menuju pulau. Tetapi mereka tetap individu masing-masing, satunya bisa jadi nahkoda satunya yang pegang kompas. Peran ini bisa bergantian, dan keduanya bisa berdebat akan melewati jalan yang mana. Pernikahan bagaikan kapal yang masing-masing punya tempat yang ingin disinggahi dulu, tapi tetap menaiki kapal yang satu.

Jadi dua insan ini memang harus saling kompromi, berhenti dulu di pelabuhan, minum es cendol kesukaan sang nahkoda, lalu berlayar lagi. Berhenti di pelabuhan Makassar beli Coto Makassar kesukaan sang penunjuk arah, lalu lanjut berlayar lagi. Begitu seterusnya sampai maut memisahkan, dan until Jannah. Baik nahkoda atau penunjuk arah juga harus bersama-sama menjaga kapal tetep seimbang. Sorry kapalnya belum secanggih kapal selam, masih kapal layar yang mengandalkan angin ghes.

Ada lagi hal lain, orang bisa bersatu menikah karena semua kondisi mendukung pada saat itu. Diantara kondisi itu adalah; disaat itu kamu bertemu orang yang cocok atas banyak hal, mulai dari pemikiran yang setara, aspek spiritual yang hampir seimbang, aspek normatif yang dilihat secara sama, serta kondisi sosial dan keluarga yang mendukung. Ya, semua kondisi yang tepat itu membuat dua insan bisa bersatu. Dalam islam dikenal dengan konsep ‘sekufu’.

Kata orang-orang, yang dinamakan jodoh ya gitu, apapun bisa dilalui. Agaknya perkataan seorang filsuf ini juga bisa relevan dengan kondisi tersebut, Paulo Coelho berkata 'Saat kamu menginginkan sesuatu, semesta akan bersatu padu membantumu’. Makannya orang yang memang tulus berkeinginan akan cintanya ya terbuka jalannya. Bahkan tak jarang rintangan yang awalnya seperti tidak mungkin bisa juga ditundukkan. Meskipun kenyataannya Zainuddin tetap tidak bisa bersatu dengan Hayati. Tapi cinta Hayati dan Zainuddin tetap hidup.

Kembali ke topik kesiapan, daripada terus mempertanyakan 'Apa diri ini aneh jika belum siap menikah’. Kini saya sudah punya jawabannya. Sebenarnya bukan karena belum siap, tapi nggak ada yang ngajak siap. Wkkk.. hahaha canda coy 😆

Sebenarnya bukan karena kamu belum berani atau belum siap menikah, setiap orang akan menemui kesiapannya sendiri-sendiri dan berbeda-beda, yang tak jauh juga dipengaruhi kondisi secara pribadinya dan lingkungan sosialnya. Lebih dari itu, siap itu butuh kejelasan dan tambahan kesiapan dari orang lain. Katanya tidak ada orang menikah dengan siap 100%, menurut saya kesiapan itu muncul karena ketemu orang yang membuat hati berkata 'Oke, ayo sama dia’.

Ibaratnya gini, dua sejoli pasti punya kayakinan masing-masing pada calon pasangannya. Tapi keyakinan itu pasti belum 100% karena masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak bisa diurai secara lisan. Katakanlah satunya siap 70% satunya 50%. Lalu akhirnya salah satu pihak mengajak Lets get married, maka disaat itulah keyakinan bisa bertambah karena adanya keseriusan. Maka dari itu nyatanya kesiapan bukanlah kerja seorang diri. Perlu pihak lain untuk menggapainya, yaitu dengan syarat keyakinan dan keseriusan.

Yahh.. begitulah kontemplasi dan bualan saya akan dunia pernikahan. Teman-teman atau siapapun tentu berhak untuk tidak setuju atau bahkan mengumpat-umpat pandangan saya ini. Silakan saja, tulis di komentar, saya persilakan untuk di debat di akun media social saya. Selamat menemukan jodoh jomb, moga segera bertemu orang yang tepat lagi saling cinta.

 

Wrote by Umi Nurchayati


Dewasa ini kehidupan berdemokrasi bangsa kita tengah mengalami berbagai terpaan badai. Tanpa disadari dalam empat tahun terakhir ini isu identitas terlebih agama semakin mencuat ke permukaan. Berbagai perbedaan dalam berislam yang sudah terjadi beberapa ratus tahun lamanya sejak zaman Nabi Muhammad SAW kembali dimunculkan di permukaan seolah-olah sebagai sebuah problem, seperti hukum mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain, dimana sebenarnya sudah dibahas dan diselesaikan ulama-ulama terdahulu.

Seiring bertambahnya waktu, gelombang kehidupan religius di masyarakat yang semakin meningkat selain disyukuri mau tidak mau juga menjadi tantangan. Terlebih dengan meningkatnya arus informasi ini, berbagai argumen seperti berperang bersliweran dalam dunia maya untuk menduduki 'viral' . Masalahnya banyak yang menjadi viral justru bukanlah hal yang etis, kalau boleh dikatakan kliru, disini masyarakat dituntut untuk memiliki sikap kritis terhadap informasi.

Dalam kaitannya ini saya hendak mengeksplorasi terkait masyarakat kita yang terus meningkat dalam kehidupan beragamanya yang mana sumber pengetahuan dan informasinya banyak didapat dari dunia maya. Dalam dunia maya banyak dipahami berbagai hukum legal formal agama seperti ketentuan berjilbab, bersalaman dengan lawan jenis dan lainnya. Namun pemaparan yang tidak disertai metodologi pengambilan hukum dari suatu permasalah yang banyak terjadi di alam maya tersebut justru membuat agama semakin terlihat kaku dan tidak berpijak dari realitas. Sangat menarik bahwa gelombang ini, kita sebut islamisme dapat dengan mudah diterima masyarakat.

Dengan meningkatnya isu ini yang juga turut menggebrak panggung politik kita, maka saya hendak mengurai pengaruh islamisme hari ini dalam kehidupan bernegara, serta kaitannya dengan oligarki. Sudut pandang ini akan membantu kita mengetahui peluang gerakan moderat di tengah  islamisme yang semakin berkembang serta kaum oligarki yang semakin merongrong negeri.

Islamisme sudah lama berkembang di beberapa negara Timur Tengah, mereka adalah kelompok yang mengusung hukum islam formal untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Di Indonesia kelompok islamis telah berkembang dari zaman rezim Soeharto, dimana pemberontakan DITII yang diawali pada tahun 1953 di Aceh menjadi bukti bahwa keberadaan kelompok ini memang nyata. Lalu Apa bedanya islamisme dengan islam?

Islam adalah agama luhur yang diturunkan melalui perantara Nabi Muhammad Saw yang menerima wahyu dari Allah Swt melalui perantara malaikat Jibril. Islam membawa pemeluknya untuk memiliki ketinggian akhlak (akhlak al-karimah) sebagai manusia dan umat terbaik (insan kamil) yang diciptakan Tuhan di muka Bumi. 

Sampai sekarang, gerakan yang mengusung islamisme telah berkembang menjadi berbagai macam fikrah gerakan, rata-rata melalui gerakan politik dan sosial, sebut saja partai PKS yang dalam falsafah kepartaiannya mereka mengusung hukum formal islam untuk dijadikan hukum negara, juga gerakan 212, Muslim United dll yang keduanya juga mengkampanyekan pemberlakuan hukum legal formal  islam untuk diterapkan pada negara yang mayoritas muslim nan multikultural ini.


Gerakan Islamisme

Jika diperhatikan secara seksama sebenarnya gerakan islamisme seperti 212 dan Muslim United ini tidak hanya fenomena di Indonesia saja, melainkan juga di beberapa negara islam lain, seperti Mesir, Arab Saudi, Afganistan, Yaman dll. kita menyebut gerakan semacam 212 sebagai gerakan islamis dimana menurut Roald (2004) gerakan ini berusaha memperluas dan menerapkan islam melampaui apa yang umumnya dianggap sebagai wilayah privat demi untuk mempengaruhi wilayah publik, islamisme mengusung gagasan bahwa islam merupakan suatu sistem atau bangunan nilai, keyakinan, dan praktik yang lengkap melingkupi semua wilayah kehidupan.

Bagi gerakan islamis, mereka berusaha untuk membangun jaringan menyeluruh pada tataran politik, kedermawanan, dan semua bentuk aktivisme  Semua jaringan ini saling memperkuat antara satu dengan yang lain  dan mendorong keutamaan publik serta kesalehan pribadi. Jika diamati gerakan semacam 212, Hizbut Tahrir, Muslim United, dan gerakan Hijrah yang banyak merekrut para artis di Indonesia bisa jadi karena semangat dorongan akan islamisme ini.  

Dalam dunia islam kita tidak bisa menampik bahwa politik termasuk bagian penting dari islam. sehingga pembacaan terhadap islam bagi kalangan islamis perlu kita mengerti, jika dilihat dari akar sejarahnya islam memang melingkupi semua aspek kehidupan manusia. Rasulullah Muhammad sendiri diutus Tuhan untuk menyempurnakan tabiat manusia (menyempurnakan akhlak), dalam konteks sejarah, Muhammad dilahirkan di Mekkah al mukarromah dimana Arab saudi pada saat itu adalah sebuah suku (tribe) yang porak-poranda, tak berakhlak dan banyak pelanggaran kemanusiaan. Hingga diutusnya Muhammad adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.

Michael Hart menempatkan Rasul Muhammad Saw sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di dunia dalam bukunya ‘100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia’. Muhammad berhasil mendidik masyarakat Arab dari yang mulanya banyak terjadi penyimpangan dan  keterbelakangan atau dikenal dengan zaman jahiliyah menuju masyarakat yang berkembang secara kultur, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu ilmu pengetahuan terus berkembang dan banyak ilmuan-ilmuan bermunculan dari dunia muslim. Hingga lahir pula negara Madinah yang menjadi bangsa sejahtera dan beradab (baldah thayyibah).

Menengok sejarah kehidupan bermasyarakat pada masa Rasulullah Muhammad Saw, maka tak heran jika kaum islamis berusaha keras untuk membangkitkan kembali masyarakat madani seperti era abad pertengahan. Mereka berusaha untuk selalu memberi nafas-nafas islam dalam segala lini kehidupan. Namun sayangnya mereka abai, bahwa pembacaan islam yang tekstual yang dilakukan gerakan islamis tersebut tidak dapat diterapkan di jaman yang berbeda.

Dalam dunia politik, kalangan islamis ini mencoba menerapkan hukum islam dengan menggelorakan hukum syariah melalui perda-perda syariah. Pembacaan islam yang mereka anut telah menempatkan kata syariah sebagai label, menganggap yang tidak ada kata syariah adalah tidak syariah. Padahal dalam hukum islam umat muslim mengenal pinsip Maqashidul Syariah, dimana hukum menurut islam dibuat untuk menciptakan maslahah. Bagi kalangan moderat yang mengandung syariah (sesuai tuntunan agama islam) tidak hanya yang memuat kata syariah di dalamnya. Dalam islam diketahui bahwa yang syariah itu adalah yang memunculkan kemaslahatan bagi semua umat.


Pemahaman Keislaman dan Relasi Kuasa

Pertentangan tindakan dalam tubuh muslim seringkali dialami akibat pembacaan yang berbeda-beda terhadap islam itu sendiri. Sehingga perbedaan dalam dunia islam memang tak bisa dihindarkan. Masyarakat muslim akan bergantung pada pemahaman mana yang lebih dominan didapat dari lingkungannya untuk menerapkan prinsip-prinsip islam dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai warga negara indonesia yang mayoritas adalah muslim maka menjadi penting untuk melihat arah pergerakan kaum muslimin. Di indonesia terdapat kalangan islam modernis yang tengahan (wasathy) diantaranya diwakili oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dimana keduanya merupakan gerakan jamaah Islamiyah yang didirikan oleh ulama asli Nusantara yaitu KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan KH. Hasyim Asy’ari di Jombang, Jawa Timur.

Baru-baru ini gerakan islam yang lebih konservatif semakin banyak kita jumpai, diantaranya seperti Hizbut Tahrir yang merupakan organisasi transnasional. Di Indonesia kita kenal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Walaupun Muhammadiyah dan NU lahir lebih dulu di bumi Nusantara dan praktek muamalah dan ibadahnya menjadi mayoritas dianut muslim indonesia, namun tidak menutup kemungkinan bagi organisasi transnasional HTI mengambil jamaah kalangan islam tengahan ini. Hal itu bisa dikarenakan banyak hal. Umumnya kalangan modernis yang kokoh secara kultural ini tidak begitu memperkuat struktural sehingga terkadang penyampaian mereka dalam syiar dianggap kurang intens pada masyarakat bawah kalangan menengah perkotaan. Apalagi di era modern dan media sosial sekarang ini. konten-konten di internet banyak didominasi pengusung islamisme yang lebih mudah dikonsumsi umat muslim.

Di tubuh NU sendiri juga terjadi hal serupa, umumnya NU yang banyak memusatkan pengajarannya pada pondok pesantren mengalami masalah tersendiri. Pemahaman Aswaja yang digaungkan dalam pembelajaran berbasis NU seringkali berlangsung lama, artinya pemahaman islam Aswaja , yang tawassuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh berlangsung lama untuk meresap pada diri sanubari  peserta didik atau santri yang belajar di lembaga NU. Pemahaman Aswaja baru dapat dirasakan peserta didik ketika sudah lama belajar sampai bertahun-tahun.

Begitu juga yang terjadi di lingkup Muhammadiyah, pelajaran Kemuhammadiyahan atau AIK yang wajib diselenggarakan oleh seluruh sekolah Muhammadiyah dan perguruan tinggi Muhammadiyah cukup lama dapat dipahami oleh para peserta didik. Hanya yang terbiasa di sekolah kader Muhammadiyah saja yang akan lebih mudah paham.

Hal itu mungkin saja karena pemahaman Aswaja an-Nahdliyah di tubuh NU dan Kemuhammadiyahan tidak bersifat doktrinal, pemahaman Aswaja lebih diarahkan bertahap, dari mulai bab Tauhid, Syariah seperti menyempurnakan bersuci dan ibadah mahdhoh lalu naik ke pemahaman ilmu Akhlak serta spiritualitas. Semua pembelajaran ini dilakukan bertahap, peserta didik tidak akan langsung disodori urusan politik ketika belum melewati pembelajaran Tauhid dan Syariah.

Hal ini berbeda pada seseorang yang baru saja mendalami islam dan menyebut dirinya berhijrah. Umumnya mereka yang mengikuti hijrah akan lebih vokal menyuarakan nilai-nilai yang dianut yang didapatkan dari ustadz-ustadz yang mengisi kajian. Walaupun baru beberapa bulan berhijrah mereka sudah lebih pintar menyuarakan nilai-nilainya, tidak takut-takut dan berani. Hal ini dikarenakan apa yang mereka dapat bersifat doktrinal dan searah. Umumnya para ustadz/ motivator hijrah langsung menyampaikan topik yang agak berat bagi jamaahnya, walaupun tergolong baru. Topik-topik yang diangkat umumnya adalah tentang memperbaiki diri, menutup aurat, mencari jodoh, bahagia dunia akhirat, hingga politik islam. Fenomena hijrah akhirnya menjadi trend masyarakat urban perkotaan.

Sebenarnya bukan hal yang perlu dipermasalahkan menyampaikan tema-tema di atas karena juga merupakan tema yang perlu dimengerti umat muslim. Namun sayangnya menjadi rancu jika tidak dilihat konteks para pendengar/ jamaahnya terlebih dahulu. Coba bayangkan saja jika orang yang baru muncul semangat  (ghirah) berislam nya lalu langsung disuguhi tentang politik islam, apalagi jika penyampaiannya diperlihatkan dengan seolah-olah umat islam sekarang sedang ‘terdzolimi’ sehingga butuh bersatu dan berjamaah untuk melawan kristenisasi, yahudi, dan zionis.

Penyampaian yang seperti itu tentu saja amat berbahaya. Dengan ghirah yang sedang meletup-letup bisa jadi mereka dapat kehilangan daya kritis hingga semua dipukul rata, langsung membenci non muslim, menghukumi sesuatu dengan sebatas pada halal-haram, dll. Inilah kecenderungan yang dapat menyebabkan tindakan yang kaku dan sangat konservatif. Umumnya setelah mengikuti beberapa motivasi hijrah, mereka akan lebih lantang menyuarakan nilai-nilai baru yang didapatkannya, baik melalui gaya berbusana yang mulai berubah atau melalui akun-akun media sosial. Hingga terdengar nyaring suara-suara mereka dengan ajakan-ajakannya untuk kembali pada ajaran Tauhid, kembali  pada islam yang kaffah, tentu saja dengan definisi menurut mereka.

Dalam dunia ilmu pengetahuan dimana tradisi berpikir ialah jantungnya, maka menyuarakan nilai-nilai yang dianut secara masif akan berbahaya tanpa didukung oleh argumen-argumen, khazanah pengetahuan, dan kajian mendalam karena apa yang disampaikan menjadi tidak bulat dan utuh melainkan hanya potongan-potongan saja.

Gairah hijrah ini muncul dalam masyarakat muslim kelas menengah yang berpenghasilan tetap dan bisa memenuhi kebutuhan ekonominya. Maka menjadi wajar jika gairah hijrah ini muncul, kebutuhan jiwa dan spiritual mengantarkan muslim kelas menengah untuk memberi siraman pada jiwa-jiwa mereka. Sebagai umat muslim kalangan kelas menengah ini bisa dibilang haus akan sentuhan rohani. Hal ini pun menjadi celah bagi gerakan islam transnasional untuk mengisi kekosongan ini. sehingga menjadi wajar jika justru kelas-kelas mapan yang mengalami fenomena hijrah.

Namun seperti disebutkan bahwa islamisme telah berhasil mendorong umat muslim perkotaan berkumpul dan membentuk sebagai gerakan. Seperti gerakan 212 yang sempat heboh kembali menjelang Pemilu 2019 lalu itu. Baru-baru ini gerakan dari muara 212 juga kembali berkumpul dengan mengadakan Muslim United yang diselenggarakan di Yogyakarta di tahun 2018 dan 2019.

Sebenarnya gerakan islamis ini cukup beragam macamnya, selain hizbut tahrir, ada ikhwanul muslimin, dan tarbiyah atau salafi. Tetapi diantara semuanya hanya HTI yang menentang penolakan terhadap demokrasi. Itulah yang menyebabkan organisasi ini resmi dibubarkan pada 2017 lalu. Beberapa negara lain sudah lama melarang adanya organisasi ini di negaranya, seperti Malaysia, Arab Saudi, Turki, Rusia, Jerman, Mesir, Suriah, dan beberapa negara lain.

Hal ini karena dimungkinkannya ideologi hizbut tahrir akan mengubah tatanan negara yang sudah mapan dengan solusi khilafahnya, dimana tidak ada kajian empiris sebagai sebuah solusi di dalamnya. Padahal saat ini setiap negara sedang mengalami tantangan-tantangan yang berbagai macam dari dalam dan luar negeri. Yang jika merumuskan kembali konsep bernegara justru akan membawa pada sebuah kemunduran dan kemungkinan peperangan serta konflik sosial lainnya.

Tentu saja eksisnya keberadaan HTI di Nusantara bukan tanpa sebab, selain karena getolnya Felix Siauw dan kawan-kawannya yang terus kampanye khilafah, saya kira dibelakang itu ada kekuatan yang menyokongnya selain dari kekuatan luar negeri sebagai organisasi transnasional. Foucault, seorang filsuf Prancis abad 20 menyebut bahwa pengetahuan dan kekuasaan selalu memiliki korelasi.Menurut Foucault tidak ada pengetahuan yang berdiri sendiri tanpa adanya kekuasaan, dan tidak ada praktik kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan.

Menggunakan teori Foucault diatas, kita mungkin akan menebak-nebak kenapa islamisme semakin berkembang ditengah bahaya nyata praktik oligarki yang sedang merongrong ibu Pertiwi. Dari pemilu 2019 lalu kita mengetahui bahwa kedua calon Presiden disokong oleh beberapa pengusaha tambang. Laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) telah menyebut bahwa bisnis tambang adalah penyokong terbesar dana kampanye. Maka tak heran jika setelah berkuasa banyak yang bagi-bagi kursi.

Itulah sebenarnya yang lebih membahayakan, praktik kekuasaan yang disokong oligarki akan menyengsarakan rakyat sendiri. Apalagi ketika masyarakat dengan praktik-praktik formalisme islam maka niscaya bahaya praktik oligarki akan terabaikan. Mereka akan bebas menjarah seisi kekayaan bumi pertiwi. Terlebih karena mengusung formalisme islam maka gerakan islamisme akan menjadi mudah digunakan oleh seseorang atau kelompok demi kekuasaan.

Sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa islam adalah agama yang luhur yang mengantarkan pada kesempurnaan akhlak. Berbeda dengan islamisme, yang mana hanya menggunakan islam sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.

Kini, selayaknya sebagai masyarakat mayoritas, umat muslim kembali renungkan untuk menyadari bahaya praktik bagi-bagi kekuasaan atas relasi siapa yang bermodal yang berkuasa. Hingga merebut tafsir kemerdekaan sesuai cita-cita luhur para pendahulu adalah perjuagan seluruh masyarakat hari ini.[].


Wrote by Umi Nurchayati



“Isyana dan suaminya pacaran dari jaman smp bisa sampe nikah sampe sekarang," ungkap seorang teman, tak terima jika hubungannya kandas karena dibilang orang terlalu lama bersama.

Pandangannya masih berkaca-kaca, seorang gadis yang masih sangat sedih setelah sebulan yang lalu mendengar kabar tentang pertunangan ‘teman dekatnya.’ Ia tak mau menyebutnya dengan istilah pacaran- ini soal istilah aja lah ya. Ia tidak habis pikir, "bisa-bisanya sudah lama berhubungan kenal, sering telfonan tiba-tiba dengan gampangnya pergi, padahal sampai sudah kulepas semua yang mendekatiku hanya demi menunggunya, dasarr..," sedikit umpatan yg tak kuasa ia teruskan.

"Bisa-bisanya kemarin sudah ketemu orangtuaku, bantuin jemput mereka ke Bandhara, tiba-tiba tak ada angin, tak ada hujan menghilang," ungkap gadis satunya lagi, ia sangat kesal dengan ‘teman dekatnya’ yang sudah mencoba berkomitmen sejak masih kuliah S1 tiba-tiba pergi tanpa kabar dan memutuskan komitmen yang dibuat bersama. Mungkin ini yang dimaksud 'ghosting' kali ya.

"Dia ketiduran di asrama, aku jauh-jauh dr pojok timur Jogja ke barat terjang hujan pagi-pagi buat bangunin dia demi tak absen kuliah karena ditelfon tak diangkat-angkat," ia mengenang masa perjuangannya demi seseorang di hatinya waktu itu.

Cerita yang hampir sama dari beberapa orang yang berbeda mulai menerpa masa awal usia dewasa. Hubungan yg sudah lama terjalin dengan lawan jenis tak bisa jadi patokan menuju tujuan yang sama. Hanya segelintir orang yang bisa mempertahankan masa ‘berteman dekat’ dalam fase yang lama ke jenjang serius. Kita menjadi berpikir, "why?"

Menginjak umur dewasa manusia akan semakin memperhitungkan banyak hal yang realistis. Perhitungan di umur 20 tahun sampai menginjak seperempat abad usia selalu berbeda. Manusia terus bertumbuh setiap harinya, baik laki-laki maupun perempuan akan mengalami perkembangan dan kondisi yang berbeda. Beberapa hal bisa menjadi pemicu dalam perkembangannya, terlebih perkembangan 'how we think' dan ‘the way’-nya dalam menjalani hidup.

Sejenak ayo kita urai rasa sakit hati secara realistis;

Pertama, Menyadari kondisi mengapa 'jatuh' padanya. Jatuh cinta adalah hal yg wajar dialami oleh manusia. Tapi coba cari tahu kenapa menjadi punya kecenderungan dengannya.

Orang Jawa mengatakan 'tresno jalaran soko kulino,' banyak orang menjadi saling jatuh cinta dan menikah karena setiap hari bertemu atau beberapa hari sekali. Dengan komunikasi yang sering, peluang menemukan kecocokan dan kenyamanan antara satu dengan yang lain semakin terbuka lebar. Tak heran jika banyak orang akhirnya memilih bersanding dengan orang terdekatnya. Bisa jadi, dulunya saling jatuh cinta juga karena faktor sering bertemu ini.

Oh iya, kondisi psikis juga ngaruh loh ke respon kita. Di saat merasa sendiri dan sepi seseorang lebih mudah menerima kebaikan dan merespon perhatian, tak jarang menjadi berekspektasi macam-macam. "Kok dia baik banget sama aku ya, perhatian banget kemarin aku sakit." Tanpa disadari bisa jadi ia adalah seorang yang baik ke semua orang.

Mungkin respon kamu akan berbeda ketika dalam kondisi psikologis yang berbeda, di saat kamu merasa damai dengan dirimu dan penuh kasih sayang dari orang sekitar. Respon diri pada perhatian dan kebaikan orang lain bisa jadi tanpa ekspektasi atau bahkan 'ya B aja.'

Kedua, Menyadari kita dan pasangan kita adalah manusia. Sebagai manusia maka kondisinya adalah selalu bertumbuh, selalu berubah, dan selalu dipenuhi kekurangan & kelebihan.

Bertumbuh, baik tubuh dan jiwanya, berubah, baik sikap dan pikirannya, dan juga adalah penuh kekurangan dan kelebihan dalam berbagai kondisi yang berbeda.

Cara pandang di umur under 20, 20-25, 26-29, dst tentulah berbeda, bahkan setiap kenaikan usia kita mengalami perbedaan cara pandang. Apa itu cara pandang? pendeknya adalah menyikapi kehidupan.

Bisa jadi dulu membangun komitmen di awal umur 20-an karena masih hanya memikirkan diri dan perasaan masing-masing saja, kalau saat itu Tuhan mampukan dan kalian menikah maka bersatulan sepasang ini.

Namun jika masih berkomitmen sampai setidaknya lulus kuliah, maka kemungkinan lain bisa terjadi. Misalnya; keadaan memaksa mereka ldr (long distance relationship), ceweknya kerja di JKT, cowoknya di Kalimantan. Sama-sama ketemu orang-orang baru dan lingkungan baru, cara pandang keduanya pun berubah. Lama-lama secara komunikasi saja mereka sudah merasa tak ketemu titik temu. Padahal dulu nyambung sekali. Rupanya pembicaraan yang sangat mendalam (deeptalk) memang belum bisa tercipta diantara kalian. Semakin dewasa keduanya semakin berbeda pula menangkap fenomena dalam diaspora kehidupannya. Walhasil mereka merasa tidak cocok lagi.

Ketiga, Semakin dewasa rasanya semakin realistis. Coba kalau ditanya sekarang, "Apa yg membuatmu ingin menikah dengan si X?," jawabannya bisa berbeda antara dulu dan sekarang. Dulu bisa saja kamu belum berpikir tentang bagaimana melanjutkan bisnis keluarga, membangun yayasan keluarga, atau membantu membiayai keluarga. Semakin kesini setiap diri kita berpikir, "Apa ia bisa masuk dalam kehidupanku beserta semua permasalahan di keluargaku, apa ia bisa tetap nyaman dan menjadi dirinya." Pertanyaan tersebut semakin kita pikirkan bukan.

Melepas jelaslah bukan hal yang mudah, merelakan jelaslah tak sesederhana melupakan saja. Namun ingat, kamu telalu berharga untuk terus terkurung dlm sangkar kesedihan. It’s fine, Kekandasan hubungan yang lalu bukanlah karena kamu terlalu baik dia terlalu buruk, atau dia terlalu baik dan kamu nggak pantas buatnya. Perjuangan kalian bukanlah hal yang sia-sia, pengorbananmu bukan tak ada gunanya. Kekandasan yang lalu hanya karena kamu dan dia tak bersatu di saat yang tepat, kekandasan lalu karena kamu belum menemukan pasangan puzzle yang tepat.

Slowdown, tarik napas dalam-dalam.. Bahwa pasangan yang tepat tak akan menghambat kamu dan dirinya dalam bertumbuh, baik dari segi normatif, pemikiran, dan tindakan. Pasangan yang tepat akan membuat kalian bertumbuh bersama ke arah yang lebih baik. Waktumu terlalu berharga untuk seseorang yang tak lagi mempertimbangkan kamu. Saatnya kamu temukan bahagia dalam diri dan temukan puzzle yang tepat. Gitu aja, biasa-biasa saja. Hhi :))

Wrote by Umi Nurchayati

Saya beruntung sekali di bulan Ramadhan tahun ini, beberapa bulan yang lalu saya dapat mewawancarai seorang Ustadz yang sudah cukup lama melintang di Indonesia. Beliau adalah seorang Qari, pelantun bacaan al-Qur'an lulusan dari Universitas Ummul Qura Makkah.

Setelah selesai wawancara kami pun berdiskusi cukup banyak, kebetulan beliau sudah cukup lama tinggal di Indonesia jadi sudah cukup lancar berbahasa Indonesia. Walaupun aslinya berasal dari Madura namun beliau lahir dan besar di Makkah sehingga tidak menguasai bahasa Indonesia.

 Namun, semakin hari beliau merasa semakin harus bisa berbicara bahasa Indonesia lantaran diminta juga untuk berceramah. Awalnya beliau rutin menjadi imam dari masjid ke masjid, hampir seluruh penjuru Nusantara pernah beliau datangi.

 "Di semua tempat itu pasti ada ilmu, menghadapi masyarakat yang berbeda-beda dari jamaah itu membuat saya belajar banyak. Saya itu jarang bisa tidur di kamar, kebanyakan di jalan karena harus kesana-sini," ungkap beliau bercerita tentang perjalanan dakwahnya keliling Nusantara.

 Akhirnya saya bertanya bagaimana pendapatnya tentang dunia dakwah dan syiar islam di Indonesia. Beliau pun mulai bercerita yang sungguh saya dibuat kaget,

 "Saya tidak tahu ya, tapi masyarakat itu kan memang berbeda-beda. Kadang saya di suatu daerah yang masyarakatnya terbuka dan mau menerima perbedaan, tapi ada juga jamaah yang agak susah menerima perbedaan dalam memahami agama," lanjut beliau sambil mencontohkan para Sahabat Nabi dan ulama-ulama yang berbeda-beda pendapat.

Kemudian beliau pun mengungkapkan isi hatinya, bahwa anehnya di Indonesia adalah ketika ada pandangan yang berbeda tidak ditanyakan dulu ke orang yang tahu tapi justru langsung membuat pendapat sendiri. Menurut beliau ini sangat meresahkan, apalagi banyak sekali di Indonesia seorang yang dipanggil ustadz namun tidak jelas kapan belajar agamanya.

"Kalau di sana (Makkah) kita itu tidak bisa langsung kasih ceramah, yang boleh itu hanya syaikh yang bergelar profesor, doktor, dll, ada sertifikasinya. Tapi disini saya rasa aneh sekali, belajar agama tidak jelas dari mana sudah berceramah saja. Tapi saya belajar banyak dari ini," ungkap beliau yang juga sedang melanjutkan pendidikan studi Masternya.

Beliau pun mengungkapkan bahwa dalam belajar bahasa Indonesia lebih sering dengan mendengarkan ceramah dai-dai Indonesia, sekaligus untuk mengetahui model, retorika, dan gaya penyampaian seperti apa yang disukai masyarakat Indonesia. Video ceramah Ustadz Abdul Somad dan Gus Baha pun menemani aktivitas beliau setiap harinya.

Terakhir sebelum beliau hendak melanjutkan perjalanan syiarnya perjalanan menuju Provinsi Aceh, saya masih sempat bertanya mengenai cara memastikan seorang ustadz yang kita dengarkan itu layak dijadikan guru belajar keislaman. Beliau menjawab bahwa yang paling mudah adalah melihat dari karya tulisnya, "Guru-guru kita syaikh-syaikh kita itu menuliskan ilmunya dengan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan, coba ustadz Abdul Somad menulis, Gus Baha menulis, semuanya menulis, ulama-ulama dulu dan para Sahabat Nabi juga menulis, tapi kalau karya tulisnya juga tidak ada, langsung ngasih pendapat itu halal ini haram itu perlu dipertanyakan," tutupnya.

Menurut beliau seorang yang dapat menuliskan ilmunya, maka ia paham dengan yang disampaikannya dan mempunyai metode berpikir. Alhamdulillah, banyak sekali pelajaran dari obrolan dengan beliau yang akrab dipanggil Syaikh Abdul Basith atau Ustadz Basith.

 

Wrote by Umi Nurchayati

Masjid Syaikhona Kholil Bangkalan
Masjid Syaikhona Kholil, Bangkalan, Madura
Dok: pribadi

Dewasa ini wisata religi atau biasa disebut rihlah semakin populer bersamaan dengan kesadaran keagamaan masyarakat. Salah satu objek wisata religi yang ramai dikunjungi adalah masjid. Selain untuk beribadah dan mengharap keberkahan dengan mengunjungi tempat-tempat suci, mengunjungi masjid adalah momen untuk menambah spirit keagamaan.

Melihat hal itu, kita menjadi perlu memahami etika ketika melakukan rihlah ke masjid-masjid. Karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pentingnya akhlak, bahkan puncak dari kehidupan beragama adalah untuk menuntun pada akhlak yang mulia (akhlakul karimah).

Dalam kitab Maraqi al-‘’Ubudiyah, Imam an-Nawawi menjelaskan tentang adab masuk masjid yang perlu kita ingat. Antara lain, apabila hendak memasuki masjid, lepaskanlah sandal kiri terlebih dahulu, lalu letakkan kaki kirimu di atasnya, kemudian lepaskanlah sandal kananmu, dan dahulukan kaki kananmu untuk memasuki masjid.

Imam an-Nawawi juga memberikan keterangan bahwa setiap kali memasuki tempat yang mulia dan tempat yang tidak diketahui keadaannya maka perlu mendahulukan kaki kanan terlebih dahulu. Saat keluar dari satu masjid menuju masjid yang lain, dahulukan kaki kananmu. Apabila saat masuk dan keluar Ka’bah, dahulukan kaki kanan.

Lalu kita dianjurkan untuk membaca doa masuk masjid. Berikut bunyinya sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawi dalam Maraqi al-‘Ubudiyah

اللّهُمَّ صَلِ عَلَى مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَصَحْبِهِ وَسَلِّم. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya beserta para sahabatnya. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu.” (Lihat Syarah Maraqi al-‘Ubudiyah hal. 23 terbitan Darul Ilmi, Surabaya)

Selain itu, anjuran berdoa ketika hendak memasuki masjid telah diajarkan oleh para ulama. Banyak riwayat menyebutkan doa memasuki masjid ini, salah satunya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan kualitas shahih, dalam bab doa saat masuk masjid;

 حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَقُولُ: «بِسْمِ اللَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ» ، وَإِذَا خَرَجَ قَالَ: «بِسْمِ اللَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ»

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dan Abu Muawiyah dari Laits dari Abdullah Ibnul Hasan dari Ibunya dari Fatimah binti Rasulullah saw., ia berkata: Jika Rasulullah saw. masuk ke dalam masjid, beliau mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah, dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku pintu rahmat-Mu." Dan jika keluar beliau mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu karunia-Mu)." (HR. Ibnu Majah)

Begitulah, ketika hendak masuk masjid, setelah mendahulukan kaki kanan, membaca doa masuk masjid dengan terlebih dahulu membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabat (seperti yang terangkum dalam redaksi yang ditulis Imam an-Nawawi dan dalam hadits di atas). Lalu ketika keluar dari masjid, kita berdoa dengan redaksi bunyi doa keluar masjid seperti di atas.

Dalam Maraqi al-‘Ubudiyah, Imam an-Nawawi al-Bantani menuliskan doa berikut:

اللّهُمَّ صَلِ عَلَى مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَصَحْبِهِ وَسَلِّم اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ

“Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya beserta para sahabatnya. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu karunia-Mu.” (Lihat Syarah Maraqi al-‘Ubudiyah hal. 23 terbitan Daarul Ilmi, Surabaya)

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan penjelasan tentang hikmah penyebutan “rahmat” saat memasuki masjid, ialah karena masjid merupakan tempat rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya sesuai dengan ibadah mereka masing-masing. Sedangkan hikmah penyebutan “karunia” ketika keluar dari masjid yaitu agar Allah Swt membukakan pintu-pintu rezeki sehingga mereka tidak bergantung kepada manusia. Inilah berbagai karunia yang yang dilimpahkan Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya, urai Imam an-Nawawi.

Semoga dengan pergi rihlah dari satu masjid ke masjid lainnya akan menambah keimanan kita. Tentu saja dengan tetap berakhlak baik ketika bepergian, yaitu dengan menjaga kebersihan tempat-tempat yang kita singgahi.

Wallahu a'lam


Tulisan ini pernah dimuat dalam http://sanadmedia.com/post/saran-imam-an-nawawi-untuk-penyuka-rihlah-masjid

Wrote by Umi Nurchayati

 



Masjid Al-Aqsa adalah masjid kedua yang diletakkan Allah Swt di Bumi, Masjid Al Aqsa sangat istimewa dan menjadi kebanggaan umat muslim di seluruh dunia. Masjid yang terletak di komplek Masjidil Aqsa atau dikenal dengan Baitulmaqdis ini juga menjadi tempat suci bagi tiga agama Ibrahim sekaligus, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.

Di tempat inilah saksi perjalanan Isra Mi'raj Nabi Muhammad Saw, menjadi tempat persinggahan Nabi Saw setelah melakukan perjalanan jauh dari Masjidilharam di Makkah. Peristiwa tersebut juga diabadikan dalam Alquran karim yaitu dalam surah Al-Isra' ayat 1. "Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. Al-Isra':17:1).

Bagi umat muslim Masjid Al-Aqsa lebih dr istimewa, masjid ini pun juga pernah menjadi kiblat pertama umat islam dalam melaksanakan ibadah shalat, sebelum berpindah menghadap Ka'bah. Dalam berbagai literatur keislaman juga disebutkan diantara keistimewaan lain Masjid Al Aqsha, dimana melaksanakan ibadah shalat di Masjid Al-Aqsa mempunyai keutamaan tersendiri, diganjar 500 kali lipat dibanding dengan shalat di masjid2 lain.

Sebagai umat islam kita pun berharap agar dapat berkunjung ke Masjidil Aqsa dan menjalankan ibadah shalat disana, kita terus berdoa, semoga Rahmat Allah Swt akan selalu menyertai tempat suci ini.

اللهمّ صلى على محمد

Wrote by Umi Nurchayati

 



Di suatu sore akhirnya aku kembali bertemu dengan teman sekamar ketika masih di Krapyak, ia cerita panjang lebar bahwa belum semua santri bisa kembali ke pondok sejak pandemi ini.


Ohh iya, lagi dipersiapkan sistemnya buat menghadapi Covid-19 ini mungkin, ujarku asal tebak. Akhirnya untuk sementara ia kost di dekat kampus karena tengah mengerjakan tugas akhir juga.


Ia pun cerita pengalamannya ngalor ngidul, yang tiba-tiba sebuah pertanyaan mendarat yang entah ditujukan pada siapa karena aku juga merasa tak bisa menjawabnya. Hahha

"Mbak kita ini dikasih ijazah-ijazah nggak sih dari pondok apa aku yang nggak tahu, kemarin tu aku ketemu teman sempat nginep. Anak pondokan juga lagi ngobrol-ngobrol tiba-tiba permisi untuk dzikiran. Aku pernah nginep juga dulu di pondoknya tiap hari mujahadah," celetuknya.


Begitulah pertanyaan yang menyelimuti hatinya, semenjak pandemi dan merasakan hidup di luar pesantren ia merasa kehausan spiritual. Siatuasi ini rasanya juga pernah kualami semenjak boyong dari pondok, memang cukup berat rasanya, hidup jauh dari guru dan jauh dari rutinitas harian di pesantren.


Aku pun bingung bagaimana harus mengomentari celetukannya itu, walhasil aku cuma cerita dari kisah yang pernah kudengar dari mbak-mbak pondok, kebetulan aku memang masuk lebih dulu daripada temanku ini. Bahwa suatu ketika ada seorang santri yang menyetorkn hafalannya pada Bu Nyai, ternyata tidak lancar dan sedikit mendapat pertanyaan-pertanyaan, kebetulan santri ini ternyata setiap harinya berpuasa. Bantinku Subhanallah sekalii, tak sanggup lah kalau aku.


Tanpa disangka justru Bu Nyai dawuh pada santri tersebut untuk menghentikan puasanya, "nek poso ndadekke koe ra lancar ra sah poso sek, wes nyekel Qur'an nomer siji Qur'ane sek," begitulah kira-kira dawuh Ibuk, biasa kami memanggil.


Hal serupa berkali-kali juga dikatakan para ustadz, "kalian itu statusnya sedang belajar, jadi nomor satu ya belajar, sek wajib sinau. Nek poso sunnah yo apek, tapi itu sunnah, yang wajib belajar. Kalau puasamu yang sunnah sampe mengganggu yang wajib yaitu belajar, dadi ora konsen meh sinau maka yang didahulukan yo sing wajib," begitulah kira2 dawuh para ustadz di Krapyak, setidaknya di komplek saya berada waktu itu. Bukan maksudnya belajar lebih bagus daripada puasa, keduanya tentu baik, tapi ini adalah menyangkut skala prioritas. Tentu saja jika bisa melaksanakan keduanya dengan baik itu lebih baik lagi, namun agaknya guru-guru kami paham dengan kondisi kami.😄


Tentu saja semua itu cukup mengagetkan ketika aku menjadi santri baru sekitar 6 tahun lalu, ini benar-benar pengalaman berbeda bagiku, setidaknya berbeda dari tempatku nyantri sebelumnya yang bahkan sampai mewajibkan mujahadah setiap hari.


Di Krapyak tuntutan wajib tahajud, dhuha, puasa senin kamis, dll hampir tidak ada. Aku rasanya seperti tidak di pesantren waktu itu. Tapi lama-lama ya merasa di pesantren karena tetap ada kewajiban ngaji dan ngaji. 


Di Krapyak porsi ngaji pengajian kitab relatif lebih banyak, hal ini berbeda ketika di pondok dulu yang rasanya waktu lebih banyak buat mujahadah. Awalnya aku berpikir mungkin karena pondok Krapyak letaknya di kota dan kebanyakan santrinya mahasiswa jadi agak longgar, dan itu bisa dipahami. 


Tapi ternyata perbedaan kultur itu bukan sepenuhnya disebabkan oleh letaknya Pondok Krapyak yang ada di kota pelajar Yogyakarta saja. Namun berbedaan filosofis dasar para Kiyainya yang mulai kupahami menjelang akhir-akhir masa di Pondok. 


العلم قبل العمل 

  • Ilmu sebelum amal


Begitulah mulai aku paham sedikit demi sedikit, hal itu juga mulai bisa aku internalisasikan dalam diri setelah berdiskusi cukup panjang dengan sesama alumni yang beda komplek, serta membaca buku biografinya Mbah Ali Maksum Allahuyarham, yg ditulis oleh sejarawan Ahmad Athoillah "KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren dan NU." Di buku itu Athoillah banyak menyebutkan kisah-kisah Mbah Ali di berbagai situasi, juga pemikiran-pemikiran beliau, yang bagiku begitu progresif dan maju. Ada sebuah kisah menarik yang hampir mirip dengan kisah santri yang didukani Bu Nyai tadi. 


Suatu hari seorang santri juga melakukan puasa ngrowot, yaitu puasa yang tidak makan nasi dan hanya makan umbi-umbian saja untuk sahur dan buka. Sontak santri tersebut juga didawuhi untuk menyudahi laku tirakat ngerowotnya oleh Mbah Ali. Mbah Ali mengatakan jika zaman sekarang sudah berbeda dari jaman dahulu, teknologi dan pengetahuan terus berkembang jadi santri harus memiliki gizi cukup agar mampu berpikir kedepan dan tidak ketinggalan. Kira-kira begitulah dikisahkan oleh Athoillah, aku sedikit lupa redaksinya karena sudah cukup lama bacanya. 


Ilmu menjadi dasar dan sandaran beramal, العلم قبل العمل begitulah dipegang erat dan menjadi dasar pengajaran di Krapyak. Tak heran jika di pondok ini aku tak menemukan laku tirakat atau ijazah yang dikhususkan, setidaknya begitu yang aku rasakan bersama teman-teman santri lain. 'Atau bisa jadi kami yang tidak mengetahui?'


Sesuatu yang sunnah tak berubah jadi wajib, guru-guru kami mengajarkan memaknai arti ijazah dan tirakat (riyadhoh) dengan lebih luas. "Semua bacaan yang baik, Al-Qur'an, sholawat, dzikir, semuanya bisa jadi wirid asalkan istiqomah diamalkan jangan sampai bolong," begitulah kata guru kami.


"Ohh jadi itu to,pantesan kita tak pernah disuruh baca ini itu berapa kali berapa kali, ya kecuali mujahadah yg malam jum'at atau nariyahan aja itu juga dilakukan berjamaah," temanku menimpali.


"Wahh keren yaa.. Ilmu sebelum amal, santri ki wajibe sinau," ulang temanku lagi.


Begitulah ijazah dari para Kiyai kami di Krapyak, selama menjadi santri memang tugasnya mengisi seluruh waktunya dengan ilmu. Setelah keluar diharapkan siap beramal dan sudah 'isi' begitulah harapan seorang ustadz di akhir pertemuan di kelas terakhir setahun lalu. Ya walaupun ternyata setelah boyong, santri mbeling seperti aku ini tetap masih terseok-seok. Huhuhu


Tulisan ini bukan untuk mengatakan laku tirakat tidak lebih baik. Semua pesantren memiliki coraknya sendiri-sendiri, yang menjadi dasar filosofisnya, membentuk kultur dan budaya pesantren yang berbeda-beda. Inilah yang menjadi unik dan saling melengkapi, mau belajar Qur'an disini, hadist disana, bahasa disana,  semuanya sama-sama untuk beramal makruf, menegakkan agama, dan bi ta'allum.


Wallahu 'Alam


 


Wrote by Umi Nurchayati

Bagi para perempuan yang saat ini sedang memasuki usia remaja akhir dan dewasa awal. Mungkin saat ini kita sedang mencari kesungguhan dalam sebuah hubungan (relationship), terlebih ketika hubungan yang menyangkut dengan masa depan, seperti pasangan hidup nantinya.

Saya berjelajah keliling Indonesia, banyak kejadian mulai hal remeh temeh dan receh sampai yang tidak remeh temeh saya perhatikan. Bagaimana perempuan membangun peranannya dalam masyarakat hampir semunya sama, perempuan tetaplah perempuan yang mempunyai naluri keibuan. Karena naluri inilah, seperti seorang ibu semua perempuan memiliki perasaan yang kuat dan dalam ketika bertemu seseorang yang ia kasihi. Begitu juga dengan laki-laki yang juga mempunyai naluri kebapakan, sama-sama akan memiliki naluri yang kuat untuk mencinta.

Namun dari sekian hal, beban biologis perempuan yaitu melahirkan keturunan membuatnya mempunyai peran yang besar dan dominan. Tak heran jika orang-orang menyebut ibu adalah tempat pertama pendidikan seorang anak, lalu keluarga. Bagaimana tidak, perempuan mengandung selama 9 bulan lebih diiringi rasa mual-mual yang bahkan membuatnya males makan tapi tetap harus makan demi bayi dalam perutnya, lalu melahirkan dalam perjuangan antara hidup dan mati, kemudian menyusui selama hampir dua tahun. Tentu saya itu bukan proses yang singkat, perjalanan cukup panjang yang tak sedikit menimbulkan goncangan pada tubuh dan jiwanya.

Seorang perempuan yang tadinya hidup normal biasa saja bebas melakukan berbagai aktifitas, setelah menikah kini tengah melahirkan seorang bayi mungil nan lucu dengan penuh perjuangan, hal ini membuatnya rela melakukan apapun demi kehidupan sang buah hati.

Itulah diantara fase kehidupan yang dialami sebagian besar perempuan. Tak heran jika setelah dikarunia buah hati, perempuan akan lebih memperioritaskan anaknya. Meski belum sempat mandi dan skincare-an ia akan lebih dulu memandikan dan menjaga anaknya seharian sampai urusan dirinya untuk mandi harus dilakukan cepat kilat sebelum bayinya menangis lagi, ia pun kini tak sempat skincare-an yang njlimet 10 tahapan, mungkin ia meringkasnya menjadi 1 tahap saja.

Kehidupan 24 jamnya ia relakan untuk anak dan keluarganya. Meski ia bekerja di ranah publik atau mengurus pekerjaan domestik rumah tangganya, pikirannya akan selalu terpusat untuk sang anak. Karena kesibukan bekerja ia akan menitipkan pada seorang atau lambaga yang dipercayainya dan rela memompa ASI nya sejak dari subuh sebagai persediaan anaknya selama ditinggal bekerja. Bagi ibu yang karena 24 jam dirumah, ia akan menyediakan semua keperluan anaknya dengan tangan sendiri.

Itulah diantara usaha yang akan ditempuh seorang ibu untuk tumbuh kembang anaknya yang masih sangat belia. Rutinitas yang sudah jadi rasa tanggungjawab dan cinta kasih itu tak jarang membuatnya akan bertanya sebagai seorang diri, sebagai manusia yang utuh jiwa raga, dan alam berpikir, "hidupku ini sebenarnya mau apa?"

Begitulah sedikit gambaran masa depan yang kutangkap dari mengamati, dan sekarang di fase usia ini kita juga mempertanyakan hal yang sama, "hidupku ini mau apa sebenarnya?", dimana selayaknya juga ditanyakan ketika dibuai perasaan mencinta, ketika menjalin hubungan (relationship) dengan kekasih, seseorang yang direncanakan untuk membina masa depan bersama.

Mempunyai kekasih atau calon suami tak hanya akan diisi kesehariannya dengan jalan-jalan dan muter-muter atau sekedar bertanya kabar saja, sebuah sikap harus dimiliki keduanya. Relasi yang baik akan membuat keduanya menjadi lebih baik. Bukan berarti tanpa bentrok, perbedaan pendapat adalah hal wajar. Menjadi keharusan yaitu mengkomunikasikan dengan baik untuk saling paham.

Dalam berinteraksi setiap hari, lama-lama kita akan saling mengenal dan mengetahui kehidupan seperti apa yang diinginkan masing-masing pasangannya. Tak jarang ketika nilai kehidupan (values) yg dimiliki tak sejalan lagi, mereka memilih berpisah.

Ya, semakin hari, semakin dewasa kita memang cenderung memilih orang yang punya nilai sama dalam memandang kehidupan untuk menemani hingga tua dan hingga nanti. Tak jarang menjadi pelik ketika sudah lama menjalin relasi hubungan, sudah tumbuh rasa kasih sayang yang dalam tapi harus berpisah. Bisa jadi karena values keduanya sudah berbeda, atau karena tak kunjung mendapat restu keluarga. Perasaan cinta akhirnya bisa menjadi benci, namun juga bisa masih sayang.

Tak heran kita mendengar kabar seorang yang rela mengakhiri hidupnya karena ditinggal sang kekasih, atau seorang yang rela terus melajang dan mencinta meski tanpa memiliki. Dalam tahap inilah kedewasaan dan seni memahami cinta harus dimiliki.

Sebagai seorang muslim kita mengetahui bahwa cinta paling utama haruslah untuk Sang Maha Cinta Pemilik Cinta (Allah Swt), lalu untuk kekasihNya, Rasulullah Saw baru seorang pasangan menempati urutan-urutan setelah-setelahnya, karena masih ada cinta untuk orangtua yang tak bisa dikalahkan olehmu. Kita harus menempatkan perasaan cinta kita di tempat yang tepat.

Rasa sakit di hati dan nyesek di dada memang tak ada obatnya tapi lupa tetap bisa dihilangkan. Tak jarang seorang kembali bahagia setelah menemukan seorang yang tepat lagi, bisa jadi justru lebih bahagia.

Pada akhirnya seseorang akan bahagia ketika bersama dengan orang yang sama dalam memandang kehidupan. Karena itulah yang akan menjadi modal untuk saling bekerjasama dimasa depan. Kesamaan dalam memandang kehidpan bukan terletak pada hobi, kegemaran atau watak yang sama, melainkan bentuknya bisa berbeda-beda namun menimbulkan kesalingan, saling support, saling bantu, saling mengasihi, dll.

Sebagai perempuan kita telah membayangkan masa depan seperti apa yang memang harus dilaluinya. Menjadi ibu adalah hal yang sangat mulia, tetapi menjadi diri sendiri adalah makna hidupnya. Karena hanya dengan bisa memaknai dirinya sendiri, perempuan juga akan membuat anaknya menemukan makna dirinya.

Aku melihat dan memperhatikan, ibuku adalah orang yang bekerjanya di rumah karena punya warung kelontong kecil-kecilan. Tapi saban minggu atau tiap bulan ia akan meminta izin pada Bapak untuk ikut pengajian, pertemuan ibu-ibu Muslimat, ziarah kubur dengan teman-temannya, atau mengunjungi kerabat dan teman lama. Kupikir ini adalah salah satu upaya untuk Ibu memaknai dirinya, dengan berkumpul bersama teman-temannya sambil bakulan.

Hingga ternyata menemukan makna menjadi diri sendiri harus diusahakan dan dikerjasamakan, tidak melulu mengikuti arus namun juga hanyut dan berlawan. Ibu beruntung selalu mengantogi izin dari Bapak untuk pergi sendiri beberapa saat bahkan sedikit ditambahi uang saku dari Bapak meski Ibu punya duit sendiri, kupikir ini salah satu bentuk sayang dan tanggungjawabnya Bapak. Bapak tetap mendukung Ibuk bepergian dan pulang dengan membawa sedikit jajanan serta rasa kebahagiaan yang kembali baru.

Akhir kata, ternyata selain kewajiban biologisnya untuk melahirkan dan menyusui, menjadi seorang ibu adalah untuk selamanya. Namun ibu tetaplah perempuan, manusia seutuhnya yang juga akan mencari tahu siapa dirinya. Hingga seorang perempuan yang mengenali dirinya, ia akan menemukan makna dirinya. Menggenggamnya sebagai value kehidupan yang tak akan mudah goyah. Ia yakin akan menemukan seseorang yang sama tentang cara memandang kehidupan, seorang yang tepat untuk dijatuhi cintanya untuk saling hidup berkesalingan di masa depan. Jadi sebelum jatuh, alangkah senangnya jika kita menemukan makna diri.
Wrote by Umi Nurchayati
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Wikipedia

Hasil penelusuran

Halaman

  • Beranda
  • Motivasi
  • KOLOM
  • PUISI
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips & Trik
  • Who Am I

Jejak

  • ►  2024 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2023 (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2022 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2021 (9)
    • ▼  November (1)
      • Merenungkan Tentang Kesiapan Menikah yang Tidak Ja...
    • ►  September (1)
      • Mengenal Islamisme dan Tantangannya Bagi Kehidupan...
    • ►  Agustus (1)
      • Kepingan Puzzle Dalam Percaturan Hati
    • ►  Juli (1)
      • Ustadz dari Ummul Qura Kaget Berdakwah di Indonesia
    • ►  Juni (1)
      • Suka Jalan-jalan ke Masjid, Jangan lupa Amalkan ini
    • ►  Mei (1)
      • Keistimewaan Masjid Al-Aqsha
    • ►  Februari (2)
      • Ilmu Dulu Sebelum Amal
      • Menemukan Makna Diri Sebagai Perempuan
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (13)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (18)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2015 (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (1)

Instagram

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Popular Posts

  • Rahasia Para Pendo’a
      Sejak kecil anak-anak selalu diajarkan berbagai macam doa, mulai dari doa bangun tidur, mau makan, selesai makan,masuk/keluar kamar mandi,...
  • Memahami Keadilan Gender Dalam Islam #CeritaPendek
    Dok: Komplek Q Esok itu Yana pergi bersama teman-temannya, kepergian mereka bukan untuk jalan-jalan biasa. Mereka menyusuri sudut kota...
  • Menepis Ketakutan Belajar
      Doa belajar رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـ...
  • Mengenal Perempuan
    Jumlah perempuan di Indonesia diprediksi mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Begitu banyak dengan total penduduk yang menempati peringkat 4...
  • Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri
    Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga ...
  • Review Buku: CRIME AND PUNISHMENT - FYODOR DOSTOEVSKY
      dok. pribadi Judul: Crime and Punishment ; Penulis: Fyodor Dostoevsky ; Penerbit: Wordsworth Classics ; Penerjemah dalam B. Inggris: C...
  • Menikah Bukan Untuk Lari dari Masalah
      Kamu lagi pusing ya..? "Yaudah nikah aja" Begitu tiba-tiba seseorang menjawabnya setelah kamu menceritakan problematika hidupmu....

Draft

  • coretan unc
  • Motivasi
  • Opini
  • Puisi
  • sebuah perjalanan
  • stories / notes
  • Tips & Trik

Mengenai Saya

Foto saya
Umi Nurchayati
Blog pribadi Umi Nurchayati @uminurchayatii | uminurchayatiii@gmail.com | "Dalam samudra luas, riak saja bukan"
Lihat profil lengkapku

Copyright © 2019 Bangun Pagi-pagi. Designed by OddThemes & Blogger Templates