Ustadz dari Ummul Qura Kaget Berdakwah di Indonesia

Saya beruntung sekali di bulan Ramadhan tahun ini, beberapa bulan yang lalu saya dapat mewawancarai seorang Ustadz yang sudah cukup lama melintang di Indonesia. Beliau adalah seorang Qari, pelantun bacaan al-Qur'an lulusan dari Universitas Ummul Qura Makkah.

Setelah selesai wawancara kami pun berdiskusi cukup banyak, kebetulan beliau sudah cukup lama tinggal di Indonesia jadi sudah cukup lancar berbahasa Indonesia. Walaupun aslinya berasal dari Madura namun beliau lahir dan besar di Makkah sehingga tidak menguasai bahasa Indonesia.

 Namun, semakin hari beliau merasa semakin harus bisa berbicara bahasa Indonesia lantaran diminta juga untuk berceramah. Awalnya beliau rutin menjadi imam dari masjid ke masjid, hampir seluruh penjuru Nusantara pernah beliau datangi.

 "Di semua tempat itu pasti ada ilmu, menghadapi masyarakat yang berbeda-beda dari jamaah itu membuat saya belajar banyak. Saya itu jarang bisa tidur di kamar, kebanyakan di jalan karena harus kesana-sini," ungkap beliau bercerita tentang perjalanan dakwahnya keliling Nusantara.

 Akhirnya saya bertanya bagaimana pendapatnya tentang dunia dakwah dan syiar islam di Indonesia. Beliau pun mulai bercerita yang sungguh saya dibuat kaget,

 "Saya tidak tahu ya, tapi masyarakat itu kan memang berbeda-beda. Kadang saya di suatu daerah yang masyarakatnya terbuka dan mau menerima perbedaan, tapi ada juga jamaah yang agak susah menerima perbedaan dalam memahami agama," lanjut beliau sambil mencontohkan para Sahabat Nabi dan ulama-ulama yang berbeda-beda pendapat.

Kemudian beliau pun mengungkapkan isi hatinya, bahwa anehnya di Indonesia adalah ketika ada pandangan yang berbeda tidak ditanyakan dulu ke orang yang tahu tapi justru langsung membuat pendapat sendiri. Menurut beliau ini sangat meresahkan, apalagi banyak sekali di Indonesia seorang yang dipanggil ustadz namun tidak jelas kapan belajar agamanya.

"Kalau di sana (Makkah) kita itu tidak bisa langsung kasih ceramah, yang boleh itu hanya syaikh yang bergelar profesor, doktor, dll, ada sertifikasinya. Tapi disini saya rasa aneh sekali, belajar agama tidak jelas dari mana sudah berceramah saja. Tapi saya belajar banyak dari ini," ungkap beliau yang juga sedang melanjutkan pendidikan studi Masternya.

Beliau pun mengungkapkan bahwa dalam belajar bahasa Indonesia lebih sering dengan mendengarkan ceramah dai-dai Indonesia, sekaligus untuk mengetahui model, retorika, dan gaya penyampaian seperti apa yang disukai masyarakat Indonesia. Video ceramah Ustadz Abdul Somad dan Gus Baha pun menemani aktivitas beliau setiap harinya.

Terakhir sebelum beliau hendak melanjutkan perjalanan syiarnya perjalanan menuju Provinsi Aceh, saya masih sempat bertanya mengenai cara memastikan seorang ustadz yang kita dengarkan itu layak dijadikan guru belajar keislaman. Beliau menjawab bahwa yang paling mudah adalah melihat dari karya tulisnya, "Guru-guru kita syaikh-syaikh kita itu menuliskan ilmunya dengan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan, coba ustadz Abdul Somad menulis, Gus Baha menulis, semuanya menulis, ulama-ulama dulu dan para Sahabat Nabi juga menulis, tapi kalau karya tulisnya juga tidak ada, langsung ngasih pendapat itu halal ini haram itu perlu dipertanyakan," tutupnya.

Menurut beliau seorang yang dapat menuliskan ilmunya, maka ia paham dengan yang disampaikannya dan mempunyai metode berpikir. Alhamdulillah, banyak sekali pelajaran dari obrolan dengan beliau yang akrab dipanggil Syaikh Abdul Basith atau Ustadz Basith.

 

Share:

0 komentar