Ilmu Dulu Sebelum Amal

 



Di suatu sore akhirnya aku kembali bertemu dengan teman sekamar ketika masih di Krapyak, ia cerita panjang lebar bahwa belum semua santri bisa kembali ke pondok sejak pandemi ini.


Ohh iya, lagi dipersiapkan sistemnya buat menghadapi Covid-19 ini mungkin, ujarku asal tebak. Akhirnya untuk sementara ia kost di dekat kampus karena tengah mengerjakan tugas akhir juga.


Ia pun cerita pengalamannya ngalor ngidul, yang tiba-tiba sebuah pertanyaan mendarat yang entah ditujukan pada siapa karena aku juga merasa tak bisa menjawabnya. Hahha

"Mbak kita ini dikasih ijazah-ijazah nggak sih dari pondok apa aku yang nggak tahu, kemarin tu aku ketemu teman sempat nginep. Anak pondokan juga lagi ngobrol-ngobrol tiba-tiba permisi untuk dzikiran. Aku pernah nginep juga dulu di pondoknya tiap hari mujahadah," celetuknya.


Begitulah pertanyaan yang menyelimuti hatinya, semenjak pandemi dan merasakan hidup di luar pesantren ia merasa kehausan spiritual. Siatuasi ini rasanya juga pernah kualami semenjak boyong dari pondok, memang cukup berat rasanya, hidup jauh dari guru dan jauh dari rutinitas harian di pesantren.


Aku pun bingung bagaimana harus mengomentari celetukannya itu, walhasil aku cuma cerita dari kisah yang pernah kudengar dari mbak-mbak pondok, kebetulan aku memang masuk lebih dulu daripada temanku ini. Bahwa suatu ketika ada seorang santri yang menyetorkn hafalannya pada Bu Nyai, ternyata tidak lancar dan sedikit mendapat pertanyaan-pertanyaan, kebetulan santri ini ternyata setiap harinya berpuasa. Bantinku Subhanallah sekalii, tak sanggup lah kalau aku.


Tanpa disangka justru Bu Nyai dawuh pada santri tersebut untuk menghentikan puasanya, "nek poso ndadekke koe ra lancar ra sah poso sek, wes nyekel Qur'an nomer siji Qur'ane sek," begitulah kira-kira dawuh Ibuk, biasa kami memanggil.


Hal serupa berkali-kali juga dikatakan para ustadz, "kalian itu statusnya sedang belajar, jadi nomor satu ya belajar, sek wajib sinau. Nek poso sunnah yo apek, tapi itu sunnah, yang wajib belajar. Kalau puasamu yang sunnah sampe mengganggu yang wajib yaitu belajar, dadi ora konsen meh sinau maka yang didahulukan yo sing wajib," begitulah kira2 dawuh para ustadz di Krapyak, setidaknya di komplek saya berada waktu itu. Bukan maksudnya belajar lebih bagus daripada puasa, keduanya tentu baik, tapi ini adalah menyangkut skala prioritas. Tentu saja jika bisa melaksanakan keduanya dengan baik itu lebih baik lagi, namun agaknya guru-guru kami paham dengan kondisi kami.😄


Tentu saja semua itu cukup mengagetkan ketika aku menjadi santri baru sekitar 6 tahun lalu, ini benar-benar pengalaman berbeda bagiku, setidaknya berbeda dari tempatku nyantri sebelumnya yang bahkan sampai mewajibkan mujahadah setiap hari.


Di Krapyak tuntutan wajib tahajud, dhuha, puasa senin kamis, dll hampir tidak ada. Aku rasanya seperti tidak di pesantren waktu itu. Tapi lama-lama ya merasa di pesantren karena tetap ada kewajiban ngaji dan ngaji. 


Di Krapyak porsi ngaji pengajian kitab relatif lebih banyak, hal ini berbeda ketika di pondok dulu yang rasanya waktu lebih banyak buat mujahadah. Awalnya aku berpikir mungkin karena pondok Krapyak letaknya di kota dan kebanyakan santrinya mahasiswa jadi agak longgar, dan itu bisa dipahami. 


Tapi ternyata perbedaan kultur itu bukan sepenuhnya disebabkan oleh letaknya Pondok Krapyak yang ada di kota pelajar Yogyakarta saja. Namun berbedaan filosofis dasar para Kiyainya yang mulai kupahami menjelang akhir-akhir masa di Pondok. 


العلم قبل العمل 

  • Ilmu sebelum amal


Begitulah mulai aku paham sedikit demi sedikit, hal itu juga mulai bisa aku internalisasikan dalam diri setelah berdiskusi cukup panjang dengan sesama alumni yang beda komplek, serta membaca buku biografinya Mbah Ali Maksum Allahuyarham, yg ditulis oleh sejarawan Ahmad Athoillah "KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren dan NU." Di buku itu Athoillah banyak menyebutkan kisah-kisah Mbah Ali di berbagai situasi, juga pemikiran-pemikiran beliau, yang bagiku begitu progresif dan maju. Ada sebuah kisah menarik yang hampir mirip dengan kisah santri yang didukani Bu Nyai tadi. 


Suatu hari seorang santri juga melakukan puasa ngrowot, yaitu puasa yang tidak makan nasi dan hanya makan umbi-umbian saja untuk sahur dan buka. Sontak santri tersebut juga didawuhi untuk menyudahi laku tirakat ngerowotnya oleh Mbah Ali. Mbah Ali mengatakan jika zaman sekarang sudah berbeda dari jaman dahulu, teknologi dan pengetahuan terus berkembang jadi santri harus memiliki gizi cukup agar mampu berpikir kedepan dan tidak ketinggalan. Kira-kira begitulah dikisahkan oleh Athoillah, aku sedikit lupa redaksinya karena sudah cukup lama bacanya. 


Ilmu menjadi dasar dan sandaran beramal, العلم قبل العمل begitulah dipegang erat dan menjadi dasar pengajaran di Krapyak. Tak heran jika di pondok ini aku tak menemukan laku tirakat atau ijazah yang dikhususkan, setidaknya begitu yang aku rasakan bersama teman-teman santri lain. 'Atau bisa jadi kami yang tidak mengetahui?'


Sesuatu yang sunnah tak berubah jadi wajib, guru-guru kami mengajarkan memaknai arti ijazah dan tirakat (riyadhoh) dengan lebih luas. "Semua bacaan yang baik, Al-Qur'an, sholawat, dzikir, semuanya bisa jadi wirid asalkan istiqomah diamalkan jangan sampai bolong," begitulah kata guru kami.


"Ohh jadi itu to,pantesan kita tak pernah disuruh baca ini itu berapa kali berapa kali, ya kecuali mujahadah yg malam jum'at atau nariyahan aja itu juga dilakukan berjamaah," temanku menimpali.


"Wahh keren yaa.. Ilmu sebelum amal, santri ki wajibe sinau," ulang temanku lagi.


Begitulah ijazah dari para Kiyai kami di Krapyak, selama menjadi santri memang tugasnya mengisi seluruh waktunya dengan ilmu. Setelah keluar diharapkan siap beramal dan sudah 'isi' begitulah harapan seorang ustadz di akhir pertemuan di kelas terakhir setahun lalu. Ya walaupun ternyata setelah boyong, santri mbeling seperti aku ini tetap masih terseok-seok. Huhuhu


Tulisan ini bukan untuk mengatakan laku tirakat tidak lebih baik. Semua pesantren memiliki coraknya sendiri-sendiri, yang menjadi dasar filosofisnya, membentuk kultur dan budaya pesantren yang berbeda-beda. Inilah yang menjadi unik dan saling melengkapi, mau belajar Qur'an disini, hadist disana, bahasa disana,  semuanya sama-sama untuk beramal makruf, menegakkan agama, dan bi ta'allum.


Wallahu 'Alam


 


Tags:

Share:

0 komentar