Mengenal Islamisme dan Tantangannya Bagi Kehidupan Bernegara


Dewasa ini kehidupan berdemokrasi bangsa kita tengah mengalami berbagai terpaan badai. Tanpa disadari dalam empat tahun terakhir ini isu identitas terlebih agama semakin mencuat ke permukaan. Berbagai perbedaan dalam berislam yang sudah terjadi beberapa ratus tahun lamanya sejak zaman Nabi Muhammad SAW kembali dimunculkan di permukaan seolah-olah sebagai sebuah problem, seperti hukum mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain, dimana sebenarnya sudah dibahas dan diselesaikan ulama-ulama terdahulu.

Seiring bertambahnya waktu, gelombang kehidupan religius di masyarakat yang semakin meningkat selain disyukuri mau tidak mau juga menjadi tantangan. Terlebih dengan meningkatnya arus informasi ini, berbagai argumen seperti berperang bersliweran dalam dunia maya untuk menduduki 'viral' . Masalahnya banyak yang menjadi viral justru bukanlah hal yang etis, kalau boleh dikatakan kliru, disini masyarakat dituntut untuk memiliki sikap kritis terhadap informasi.

Dalam kaitannya ini saya hendak mengeksplorasi terkait masyarakat kita yang terus meningkat dalam kehidupan beragamanya yang mana sumber pengetahuan dan informasinya banyak didapat dari dunia maya. Dalam dunia maya banyak dipahami berbagai hukum legal formal agama seperti ketentuan berjilbab, bersalaman dengan lawan jenis dan lainnya. Namun pemaparan yang tidak disertai metodologi pengambilan hukum dari suatu permasalah yang banyak terjadi di alam maya tersebut justru membuat agama semakin terlihat kaku dan tidak berpijak dari realitas. Sangat menarik bahwa gelombang ini, kita sebut islamisme dapat dengan mudah diterima masyarakat.

Dengan meningkatnya isu ini yang juga turut menggebrak panggung politik kita, maka saya hendak mengurai pengaruh islamisme hari ini dalam kehidupan bernegara, serta kaitannya dengan oligarki. Sudut pandang ini akan membantu kita mengetahui peluang gerakan moderat di tengah  islamisme yang semakin berkembang serta kaum oligarki yang semakin merongrong negeri.

Islamisme sudah lama berkembang di beberapa negara Timur Tengah, mereka adalah kelompok yang mengusung hukum islam formal untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Di Indonesia kelompok islamis telah berkembang dari zaman rezim Soeharto, dimana pemberontakan DITII yang diawali pada tahun 1953 di Aceh menjadi bukti bahwa keberadaan kelompok ini memang nyata. Lalu Apa bedanya islamisme dengan islam?

Islam adalah agama luhur yang diturunkan melalui perantara Nabi Muhammad Saw yang menerima wahyu dari Allah Swt melalui perantara malaikat Jibril. Islam membawa pemeluknya untuk memiliki ketinggian akhlak (akhlak al-karimah) sebagai manusia dan umat terbaik (insan kamil) yang diciptakan Tuhan di muka Bumi. 

Sampai sekarang, gerakan yang mengusung islamisme telah berkembang menjadi berbagai macam fikrah gerakan, rata-rata melalui gerakan politik dan sosial, sebut saja partai PKS yang dalam falsafah kepartaiannya mereka mengusung hukum formal islam untuk dijadikan hukum negara, juga gerakan 212, Muslim United dll yang keduanya juga mengkampanyekan pemberlakuan hukum legal formal  islam untuk diterapkan pada negara yang mayoritas muslim nan multikultural ini.


Gerakan Islamisme

Jika diperhatikan secara seksama sebenarnya gerakan islamisme seperti 212 dan Muslim United ini tidak hanya fenomena di Indonesia saja, melainkan juga di beberapa negara islam lain, seperti Mesir, Arab Saudi, Afganistan, Yaman dll. kita menyebut gerakan semacam 212 sebagai gerakan islamis dimana menurut Roald (2004) gerakan ini berusaha memperluas dan menerapkan islam melampaui apa yang umumnya dianggap sebagai wilayah privat demi untuk mempengaruhi wilayah publik, islamisme mengusung gagasan bahwa islam merupakan suatu sistem atau bangunan nilai, keyakinan, dan praktik yang lengkap melingkupi semua wilayah kehidupan.

Bagi gerakan islamis, mereka berusaha untuk membangun jaringan menyeluruh pada tataran politik, kedermawanan, dan semua bentuk aktivisme  Semua jaringan ini saling memperkuat antara satu dengan yang lain  dan mendorong keutamaan publik serta kesalehan pribadi. Jika diamati gerakan semacam 212, Hizbut Tahrir, Muslim United, dan gerakan Hijrah yang banyak merekrut para artis di Indonesia bisa jadi karena semangat dorongan akan islamisme ini.  

Dalam dunia islam kita tidak bisa menampik bahwa politik termasuk bagian penting dari islam. sehingga pembacaan terhadap islam bagi kalangan islamis perlu kita mengerti, jika dilihat dari akar sejarahnya islam memang melingkupi semua aspek kehidupan manusia. Rasulullah Muhammad sendiri diutus Tuhan untuk menyempurnakan tabiat manusia (menyempurnakan akhlak), dalam konteks sejarah, Muhammad dilahirkan di Mekkah al mukarromah dimana Arab saudi pada saat itu adalah sebuah suku (tribe) yang porak-poranda, tak berakhlak dan banyak pelanggaran kemanusiaan. Hingga diutusnya Muhammad adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.

Michael Hart menempatkan Rasul Muhammad Saw sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di dunia dalam bukunya ‘100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia’. Muhammad berhasil mendidik masyarakat Arab dari yang mulanya banyak terjadi penyimpangan dan  keterbelakangan atau dikenal dengan zaman jahiliyah menuju masyarakat yang berkembang secara kultur, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu ilmu pengetahuan terus berkembang dan banyak ilmuan-ilmuan bermunculan dari dunia muslim. Hingga lahir pula negara Madinah yang menjadi bangsa sejahtera dan beradab (baldah thayyibah).

Menengok sejarah kehidupan bermasyarakat pada masa Rasulullah Muhammad Saw, maka tak heran jika kaum islamis berusaha keras untuk membangkitkan kembali masyarakat madani seperti era abad pertengahan. Mereka berusaha untuk selalu memberi nafas-nafas islam dalam segala lini kehidupan. Namun sayangnya mereka abai, bahwa pembacaan islam yang tekstual yang dilakukan gerakan islamis tersebut tidak dapat diterapkan di jaman yang berbeda.

Dalam dunia politik, kalangan islamis ini mencoba menerapkan hukum islam dengan menggelorakan hukum syariah melalui perda-perda syariah. Pembacaan islam yang mereka anut telah menempatkan kata syariah sebagai label, menganggap yang tidak ada kata syariah adalah tidak syariah. Padahal dalam hukum islam umat muslim mengenal pinsip Maqashidul Syariah, dimana hukum menurut islam dibuat untuk menciptakan maslahah. Bagi kalangan moderat yang mengandung syariah (sesuai tuntunan agama islam) tidak hanya yang memuat kata syariah di dalamnya. Dalam islam diketahui bahwa yang syariah itu adalah yang memunculkan kemaslahatan bagi semua umat.


Pemahaman Keislaman dan Relasi Kuasa

Pertentangan tindakan dalam tubuh muslim seringkali dialami akibat pembacaan yang berbeda-beda terhadap islam itu sendiri. Sehingga perbedaan dalam dunia islam memang tak bisa dihindarkan. Masyarakat muslim akan bergantung pada pemahaman mana yang lebih dominan didapat dari lingkungannya untuk menerapkan prinsip-prinsip islam dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai warga negara indonesia yang mayoritas adalah muslim maka menjadi penting untuk melihat arah pergerakan kaum muslimin. Di indonesia terdapat kalangan islam modernis yang tengahan (wasathy) diantaranya diwakili oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dimana keduanya merupakan gerakan jamaah Islamiyah yang didirikan oleh ulama asli Nusantara yaitu KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan KH. Hasyim Asy’ari di Jombang, Jawa Timur.

Baru-baru ini gerakan islam yang lebih konservatif semakin banyak kita jumpai, diantaranya seperti Hizbut Tahrir yang merupakan organisasi transnasional. Di Indonesia kita kenal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Walaupun Muhammadiyah dan NU lahir lebih dulu di bumi Nusantara dan praktek muamalah dan ibadahnya menjadi mayoritas dianut muslim indonesia, namun tidak menutup kemungkinan bagi organisasi transnasional HTI mengambil jamaah kalangan islam tengahan ini. Hal itu bisa dikarenakan banyak hal. Umumnya kalangan modernis yang kokoh secara kultural ini tidak begitu memperkuat struktural sehingga terkadang penyampaian mereka dalam syiar dianggap kurang intens pada masyarakat bawah kalangan menengah perkotaan. Apalagi di era modern dan media sosial sekarang ini. konten-konten di internet banyak didominasi pengusung islamisme yang lebih mudah dikonsumsi umat muslim.

Di tubuh NU sendiri juga terjadi hal serupa, umumnya NU yang banyak memusatkan pengajarannya pada pondok pesantren mengalami masalah tersendiri. Pemahaman Aswaja yang digaungkan dalam pembelajaran berbasis NU seringkali berlangsung lama, artinya pemahaman islam Aswaja , yang tawassuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh berlangsung lama untuk meresap pada diri sanubari  peserta didik atau santri yang belajar di lembaga NU. Pemahaman Aswaja baru dapat dirasakan peserta didik ketika sudah lama belajar sampai bertahun-tahun.

Begitu juga yang terjadi di lingkup Muhammadiyah, pelajaran Kemuhammadiyahan atau AIK yang wajib diselenggarakan oleh seluruh sekolah Muhammadiyah dan perguruan tinggi Muhammadiyah cukup lama dapat dipahami oleh para peserta didik. Hanya yang terbiasa di sekolah kader Muhammadiyah saja yang akan lebih mudah paham.

Hal itu mungkin saja karena pemahaman Aswaja an-Nahdliyah di tubuh NU dan Kemuhammadiyahan tidak bersifat doktrinal, pemahaman Aswaja lebih diarahkan bertahap, dari mulai bab Tauhid, Syariah seperti menyempurnakan bersuci dan ibadah mahdhoh lalu naik ke pemahaman ilmu Akhlak serta spiritualitas. Semua pembelajaran ini dilakukan bertahap, peserta didik tidak akan langsung disodori urusan politik ketika belum melewati pembelajaran Tauhid dan Syariah.

Hal ini berbeda pada seseorang yang baru saja mendalami islam dan menyebut dirinya berhijrah. Umumnya mereka yang mengikuti hijrah akan lebih vokal menyuarakan nilai-nilai yang dianut yang didapatkan dari ustadz-ustadz yang mengisi kajian. Walaupun baru beberapa bulan berhijrah mereka sudah lebih pintar menyuarakan nilai-nilainya, tidak takut-takut dan berani. Hal ini dikarenakan apa yang mereka dapat bersifat doktrinal dan searah. Umumnya para ustadz/ motivator hijrah langsung menyampaikan topik yang agak berat bagi jamaahnya, walaupun tergolong baru. Topik-topik yang diangkat umumnya adalah tentang memperbaiki diri, menutup aurat, mencari jodoh, bahagia dunia akhirat, hingga politik islam. Fenomena hijrah akhirnya menjadi trend masyarakat urban perkotaan.

Sebenarnya bukan hal yang perlu dipermasalahkan menyampaikan tema-tema di atas karena juga merupakan tema yang perlu dimengerti umat muslim. Namun sayangnya menjadi rancu jika tidak dilihat konteks para pendengar/ jamaahnya terlebih dahulu. Coba bayangkan saja jika orang yang baru muncul semangat  (ghirah) berislam nya lalu langsung disuguhi tentang politik islam, apalagi jika penyampaiannya diperlihatkan dengan seolah-olah umat islam sekarang sedang ‘terdzolimi’ sehingga butuh bersatu dan berjamaah untuk melawan kristenisasi, yahudi, dan zionis.

Penyampaian yang seperti itu tentu saja amat berbahaya. Dengan ghirah yang sedang meletup-letup bisa jadi mereka dapat kehilangan daya kritis hingga semua dipukul rata, langsung membenci non muslim, menghukumi sesuatu dengan sebatas pada halal-haram, dll. Inilah kecenderungan yang dapat menyebabkan tindakan yang kaku dan sangat konservatif. Umumnya setelah mengikuti beberapa motivasi hijrah, mereka akan lebih lantang menyuarakan nilai-nilai baru yang didapatkannya, baik melalui gaya berbusana yang mulai berubah atau melalui akun-akun media sosial. Hingga terdengar nyaring suara-suara mereka dengan ajakan-ajakannya untuk kembali pada ajaran Tauhid, kembali  pada islam yang kaffah, tentu saja dengan definisi menurut mereka.

Dalam dunia ilmu pengetahuan dimana tradisi berpikir ialah jantungnya, maka menyuarakan nilai-nilai yang dianut secara masif akan berbahaya tanpa didukung oleh argumen-argumen, khazanah pengetahuan, dan kajian mendalam karena apa yang disampaikan menjadi tidak bulat dan utuh melainkan hanya potongan-potongan saja.

Gairah hijrah ini muncul dalam masyarakat muslim kelas menengah yang berpenghasilan tetap dan bisa memenuhi kebutuhan ekonominya. Maka menjadi wajar jika gairah hijrah ini muncul, kebutuhan jiwa dan spiritual mengantarkan muslim kelas menengah untuk memberi siraman pada jiwa-jiwa mereka. Sebagai umat muslim kalangan kelas menengah ini bisa dibilang haus akan sentuhan rohani. Hal ini pun menjadi celah bagi gerakan islam transnasional untuk mengisi kekosongan ini. sehingga menjadi wajar jika justru kelas-kelas mapan yang mengalami fenomena hijrah.

Namun seperti disebutkan bahwa islamisme telah berhasil mendorong umat muslim perkotaan berkumpul dan membentuk sebagai gerakan. Seperti gerakan 212 yang sempat heboh kembali menjelang Pemilu 2019 lalu itu. Baru-baru ini gerakan dari muara 212 juga kembali berkumpul dengan mengadakan Muslim United yang diselenggarakan di Yogyakarta di tahun 2018 dan 2019.

Sebenarnya gerakan islamis ini cukup beragam macamnya, selain hizbut tahrir, ada ikhwanul muslimin, dan tarbiyah atau salafi. Tetapi diantara semuanya hanya HTI yang menentang penolakan terhadap demokrasi. Itulah yang menyebabkan organisasi ini resmi dibubarkan pada 2017 lalu. Beberapa negara lain sudah lama melarang adanya organisasi ini di negaranya, seperti Malaysia, Arab Saudi, Turki, Rusia, Jerman, Mesir, Suriah, dan beberapa negara lain.

Hal ini karena dimungkinkannya ideologi hizbut tahrir akan mengubah tatanan negara yang sudah mapan dengan solusi khilafahnya, dimana tidak ada kajian empiris sebagai sebuah solusi di dalamnya. Padahal saat ini setiap negara sedang mengalami tantangan-tantangan yang berbagai macam dari dalam dan luar negeri. Yang jika merumuskan kembali konsep bernegara justru akan membawa pada sebuah kemunduran dan kemungkinan peperangan serta konflik sosial lainnya.

Tentu saja eksisnya keberadaan HTI di Nusantara bukan tanpa sebab, selain karena getolnya Felix Siauw dan kawan-kawannya yang terus kampanye khilafah, saya kira dibelakang itu ada kekuatan yang menyokongnya selain dari kekuatan luar negeri sebagai organisasi transnasional. Foucault, seorang filsuf Prancis abad 20 menyebut bahwa pengetahuan dan kekuasaan selalu memiliki korelasi.Menurut Foucault tidak ada pengetahuan yang berdiri sendiri tanpa adanya kekuasaan, dan tidak ada praktik kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan.

Menggunakan teori Foucault diatas, kita mungkin akan menebak-nebak kenapa islamisme semakin berkembang ditengah bahaya nyata praktik oligarki yang sedang merongrong ibu Pertiwi. Dari pemilu 2019 lalu kita mengetahui bahwa kedua calon Presiden disokong oleh beberapa pengusaha tambang. Laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) telah menyebut bahwa bisnis tambang adalah penyokong terbesar dana kampanye. Maka tak heran jika setelah berkuasa banyak yang bagi-bagi kursi.

Itulah sebenarnya yang lebih membahayakan, praktik kekuasaan yang disokong oligarki akan menyengsarakan rakyat sendiri. Apalagi ketika masyarakat dengan praktik-praktik formalisme islam maka niscaya bahaya praktik oligarki akan terabaikan. Mereka akan bebas menjarah seisi kekayaan bumi pertiwi. Terlebih karena mengusung formalisme islam maka gerakan islamisme akan menjadi mudah digunakan oleh seseorang atau kelompok demi kekuasaan.

Sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa islam adalah agama yang luhur yang mengantarkan pada kesempurnaan akhlak. Berbeda dengan islamisme, yang mana hanya menggunakan islam sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.

Kini, selayaknya sebagai masyarakat mayoritas, umat muslim kembali renungkan untuk menyadari bahaya praktik bagi-bagi kekuasaan atas relasi siapa yang bermodal yang berkuasa. Hingga merebut tafsir kemerdekaan sesuai cita-cita luhur para pendahulu adalah perjuagan seluruh masyarakat hari ini.[].


Tags:

Share:

0 komentar