Semakin hari rasanya hidup semakin ribet saja, apalagi sebagai seorang perempuan. Apa-apa yang
sejak kecil biasa dilakukan menjadi hal yang dilarang. Suatu hari yang cerah
tatkala pergi jalan-jalan di sebuah bendungan saya dibuat heran ketika tak
sengaja menjumpai seorang ibu melarang anak gadisnya yang masih balita bermain
mobil-mobilan, pun seorang bayi laki-laki yang tidak diperkenankan ayah ibunya
memilih celana berwarna pink.
Rasanya hal seperti itu tak pernah
kutemukan dalam masa kecilku, membatasi mainan hanya dengan
boneka. Semasa kecil, saya juga bermain helikopter yang dijalankan
dengan remote control dan mobil-mobilan, sampai
beranjak bermain Tamiya.
Saya hanya bertanya, kenapa dunia semakin ribet? Coba bayangkan
jika celana yang cukup dipakai sang bayi hanya ada warna pink, tentu akan mempersulit
diri bukan. Lebih tepatnya sejak kapan barang mainan dan warna
pakaian memiliki jenis kelamin?
Keanehan-keanehan menjadi semakin banyak saya jumpai seiring bertumbuh dewasa dan
bergaul dengan lingkungan yang semakin beragam.
1. Perempuan dan
Tubuh Perempuan
Menjadi perempuan menjadi cukup sulit dengan kondisi yang tidak
mendukungnya. Suatu ketika seorang teman diajak menikah oleh kekasihnya. Ia menanyakan
pada calon pasangannya tentang perbedan usia, kebetulan mereka hampir seumuran. "Aku sih nggak
masalah selisih umur berapa tahun yang penting masih masa subur belum lebih dari 30
tahun," ujar kekasih sang gadis.
Mendengar cerita itu aku mulai berpikir, ‘masa subur’ yang dimaksud
kekasih teman saya itu tentu terkait dengan masa reproduksi
atau memiliki keturunan. Ya, itu terserah dia karena
ia yang akan menikah. Tetapi dengan nada jawaban yang diberikan seolah-olah ia
mulai akan menentukan kapan memiliki momongan.
Pembaca tentu masih ingat dengan wawancara seleb Atta Halilintar yang
ingin memiliki 11 anak dari pernikahannya dengan Aurel. Pernyataan Atta waktu
itu menuai banyak kritik dari para aktivis perempuan. Bagaimana
tidak, karena tentu saja istrinya yang harus mengandung, melahirkan, dan
menyusui berkali-kali. Iya benar, ketiganya yaitu mengandung, melahirkan,
dan menyusui adalah kodrat perempuan. Tapi tidakkah laki-laki seperti Atta juga
berpikir memberikan hak menjawab urusan memiliki anak itu kepada istrinya yang
perempuan, dimana ia yang akan melahirkan dan menyusui. Atau paling
tidak, sebelum menjawab Atta bisa berdiskusi dulu dengan Aurel.
Kiranya menjadi perempuan adalah menjadi individu yang siap diatur.
Bahkan untuk tubuhnya sendiri perempuan benar-benar tak punya kuasa. Perempuan
selalu diikat oleh konstruksi dan imagi, yang keduanya menjadi
harus dipikirkan oleh perempuan ketika ingin mengekspresikan dirinya.
Betapa banyak iklan produk kecantikan hanya menjual tubuh perempuan,
diobral dengan definisi cantik sesuai imagi pemilik produk. Sampai di
mimbar-mimbar agama juga tak kalah hebat. Berapa banyak pemuka agama terus mengatur
apa yang harus dikenakan seorang perempuan. Anehnya sang pemilik produk dan
pemuka agama yang terus kita amini adalah laki-laki. Dan perempuan mengikuti
imagi itu.
Suatu ketika saya teringat kata-kata Simone de
Beauvoir, seorang filsuf perempuan asal Prancis.
Ia mengatakan bahwa dilahirkan sebagai perempuan bukanlah suatu
keajegan, melainkan adalah proses menjadi yang tidak pernah
usai. Sedang tubuh yang membuat konstruksi sosial sedemikian rupa bagi
perempuan adalah suatu kesatuan.“One is not born, but
rather becomes a woman,” begitu kata Beauvoir dalam karyanya yang terkenal,
‘The Second Sex’.
Beauvoir seolah-olah ingin mengatakan bahwa tanpa tubuh perempuan itu menjadi tidak ada. Beauvoir sang
feminis eksistensial itu meyakini bahwa esensi tak mungkin mendahului
eksistensi. Tentu saja pandangan Beauvoir yang bernuansa materialis itu akan
ditampik oleh para spiritualis, karena manusia sejatinya tidak hanya tubuh,
masih ada dimensi roh yang mengikat menjadi satu kesatuan dengan tubuh.
2. Upaya
Memenjarakan Perempuan
Sebagai seorang perempuan muslim saya mencoba
merenung, kenapa doktrin-doktrin agama dari para pemuka agama justru banyak
membuat perempuan kehilangan dirinya. Ia melebur menjadi seperti yang
dikehendaki para pemuka agama. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah karena
tubuhnya, sehingga perempuan dipandang semakin tertutup menjadi semakin baik. Pandangan seperti ini ingin mengatakan bahwa semakin tidak
terlihat maka seorang perempuan itu semakin
baik dan shalihah.
Inilah hal yang membuat peranan perempuan
dalam kehidupan bermasyarakat semakin dihilangkan. Tentu saja
selain peran biologisnya untuk melahirkan dan menyusui. Tanpa
disadari, penafsiran teks agama seperti ini justru menjauhkan dari maksud
ajaran agama yang murni karena hanya melihat perempuan sebagai objek dengan
memandang fisiknya saja dan sebagai pabrik produksi keturunan saja. Padahal manusia baik
laki-laki atau perempuan sekaligus adalah makhluk intelektual dan spiritual. Pandangan
tersebut jelas mengesampingkan potensi intelektual dan spiritual seorang
perempuan.
Kalau kita mau melihat saja sesungguhnya
teks yang mengatakan demikian membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam. Di sisi lain Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kepada laki-laki beriman untuk
menjaga pandangannya (QS. An-Nuur:30). Di sinilah perintah menjaga pandangan (ghadhul bashar) turun, sehingga
menjaga pandangan tidak hanya dengan menundukkan pandangan, tetapi yang
lebih penting adalah menjaga pikiran dan hati dari hal-hal yang tidak
sepantasnya. Selayaknya itu dilakukan baik oleh laki-laki
atau perempuan.
3.
Zaman Nabi yang
Memerdekakan Perempuan
Di sisi lain saya menemukan dimensi berbeda. Selama ini saya pelajari bahwa
agama yang saya yakini yaitu Islam adalah agama yang sangat
revolusioner. Saya mengamini itu karena tatkala masih kanak-kanak dalam
madrasah diniyah di kampung selalu dikisahkan kisah kehidupan Ibunda Sayyidah
Khadijah r.a dan Kanjeng Nabi Muhammad saw yang sangat harmonis dan inspiratif.
Ibunda Khadijah adalah pengusaha besar dan Kanjeng Nabi Saw turut menjual
dagangannya sebelum diangkat menjadi Nabi.
Dalam literatur sejarah, bahkan para perempuan di zaman Nabi Saw tidak kalah keren
tampil di ruang publik. Sebut saja Sayyidah Aisyah r.a (Istri Nabi)
yang menjadi guru para Sahabat selepas Nabi wafat. Ada juga para perempuan
dalam periode awal islam yang mewakafkan harta dan jiwanya demi islam,
diantaranya adalah Nusaibah binti Ka'ab, Qaribah binti Mu'awwidz, Asma binti
'Amr bin Adi Ra, dan Salma binti Qais. Belum lagi para perempuan di zaman Nabi
yang justru menjadi tulang punggung keluarga, seperti Zainab ats-Tsaqafiyah
istri Abdullah bin Mas'ud.
Ibn Hajar Al-Asqalani, seorang masyhur ahli hadis dalam karyanya Fath
al-Bari memberikan keterangan bahwa Zainab ats-Tsaqafiah adalah istri dari
Sahabat Nabi Saw yaitu Abdullah bin Mas’ud. Zainab adalah sahabat perempuan
Nabi yang kaya raya yang berasal dari keluarga terpandang yaitu Bani Tsaqif. Diketahui bahwa Zainab memiliki usaha rumahan
yang cukup lancar sehingga ia menghidupi keluarganya, bahkan juga mengasuh
beberapa anak yatim di rumahnya.
Jika di zaman Nabi perempuan dianggap sumber
fitnah dan harus mengurung diri. Bukankah Zainab dan para perempuan lain zaman
itu sudah dilarang pergi-pergi, apalagi bekerja?
*Pernah dimuat dalam Alif.id dengan judul yang sama, berikut