Merenungkan Tentang Kesiapan Menikah yang Tidak Jatuh dari Langit
Sejak
menginjak usia seperempat abad, pertanyaan ini terus berbisik dalam benak,
"Apa aneh jika di usia saya sekarang masih belum siap menikah?"
Pasalnya kalau mau dilihat dari lingkungan saya tentu saja sudah banyak yang
melangkah ke jenjang itu. Mulai dari teman-teman di kampung, rata-rata di usia
mendekati 20-an mereka sudah menikah, sekarang teman-teman masa SD sudah pada nggendong
anak.
Tentu
bukanlah hal yang bijak jika terus membandingkan diri dengan orang lain. Pernikahan
juga bukan sebuah perlombaan 17 Agustus. Tapi sejak selesai sekolah S1 mau
tidak mau saya melihat kenyataan teman-teman sudah ramai sebar undangan
pernikahannya. Teman-teman sekampus dan sepondok juga sudah banyak yang
memutuskan untuk menikah.
Entah,
apa karena saya dianggap sudah saatnya menikah atau bagaimana oleh para
orangtua, sehingga mereka mulai sibuk menjodoh-jodohkan. Masalahnya dari
beberapa orang yang dikenalkan belum ada yang krenteg di hati gitu. Itu
kayaknya para orangtuanya saja yang berkeinginan menjadikan saya menantunya,
tapi anak-anaknya sama sekali tidak peduli.
Sampai
saat ini saya masih terus merasa belum siap menikah, saya pun mulai mempertanyakan
kenormalan diri saya sendiri, saya sungguh merasa menjadi gadis yang aneh. Lalu
saya ceritakan kegelisahan tentang diri saya ini pada beberapa teman, sialnya
pikiran saya justru semakin budrek. Beberapa orang menyarankan saya
menerima perjodohan, dan beberapa orang membebaskan pilihan saya. “Perempuan
itu simple, cuma butuhnya yang pasti-pasti aja, jangan habiskan waktumu untuk
menabung kekecewaan,” begitulah salah satu kata pamungkas seorang teman yang
mau nggak mau juga membuat saya nggak bisa tidur. Hingga pertanyaan saya
kini mulai berkembang, pertanyaan saya sekarang adalah bagaimana menjemput
kesiapan menikah itu?
Kalau
persiapan ya tentu dilakukan, menua adalah hal pasti. Saya juga mengamini kata
Pak Fahruddin Faiz, “Sepahit-pahitnya orang menikah, lebih pahit lagi yang tidak
menikah.” Secara pribadi saya sendiri pernah bergumul tentang perkara menikah
ini, yaitu tepatnya setelah ngaji kitabnya Imam Al-Ghazali Kimyaus sa’adah.
Di kitab itu Imam Al-Ghazali menuliskan diantaranya tentang keuntungan menikah
dan tantangannya. Menurut Al-Ghazali diantara keuntungan menikah adalah kita
bisa fokus belajar dan mengabdi untuk ilmu karena sudah ada yang mengurusi
makan dan minum. Sedang tantangannya adalah di zaman sekarang mencari rezeki
yang halal itu sulit, karena semuanya sudah bercampur antara halal dan haram,
jadi banyak unsur yang syubhat. Duarr.. gimana loh..
Sebentar..
sebentar jangan kisruh dulu, Imam Al-Ghazali hidup sekitar tahun 450 – 505 H.
Beliau adalah seorang filsuf dan ulama besar, wajar jika salah satu harapannya
menikah adalah agar hidupnya bisa lebih fokus dengan dunia ilmu. Tanpa
mengesampingkan kesetaraan, di zaman itu pekerjaan domestik masih dikaitkan
dengan ranah perempuan saja, meski pandangan ini juga tetap lestari, pun di
hari ini. .
Sekarang
alasan tantangannya itu yang cukup bikin khawatir, coba di zaman para ulama
salaf sholeh saja mereka sudah khawatir dengan susahnya mencari rezeki yang
halal. Apalagi zaman kiwari kita-kita ini, ada proyek buat rebutan, naik
pangkat sikut-sikutan, sampai korupsi membudaya. Aihhh jaman wes akhir.
Dua
poin dari Imam Al-Ghazali itu cukup menjadi renungan saya apakah saya akan
menikah atau tidak. Dalam fikih hukum menikah bisa menjadi berbeda-beda, para
ulama zaman dulu banyak yang tidak menikah karena sibuk belajar. Ahh.. tapi
saya siapa, hanya seorang yang nggak jelas dan masih menyusahkan
orangtua. “Imam Nawawi nggak menikah menulis banyak karya, lha koe..”
ungkap Gus Baha dalam cuplikan pengajiannya yang saya temukan saat scrool
timeline Instagram.
Setelah
mengalami perenungan-perenungan pikiran dan batin, berkaca pula dari rasa kesepian
yang mulai merasuki masa dewasa ini. Saya pun memutuskan memilih untuk menikah.
Meskipun belum ada calonnya yang penting sudah diputuskan dulu, yang penting
saya sadar memilih memutuskan perkara ini. Berkumpul dengan keluarga,
menciptakan kehangatan untuk anak-anak sepertinya cukup menantang dan menarik. Mewujudkan
keluarga sakinah wamaslahah, membangun baiti jannati, sepertinya semua
orang berangan-angan begitu nggak sih ?
Dulu
dii masa sekolah SMK sebenarnya saya pernah punya cita-cita untuk menikah di
usia 24 tahun. Tapi ternyata rencana menikah bukanlah hal yang bisa diwujudkan
seperti masuk sekolah. Menikah bukan perkara yang sudah ada jadwalnya dan
terpampang. Jadwalnya tentu saja ada, tapi kita tidak bisa melihatnya karena
yaitu, perkara jodoh dan maut rahasia Ilahi.
Di
usia yang saya cita-citakan menikah saat masih SMK itu, realitanya saya malah
menjadi belum memikirkannya. Waktu itu masih
punya kewajiban belajar yang belum terselesaikan. Jadi ya urusan menikah belum
prioritas. Lagipula belum ada juga kisah-kisah perjodohan.
Hingga
waktu terus berlalu, saya sibuk mencari sesuap nasi demi bertahan hidup di
rantau. Dan pertanyaan itu membisik. Saya sebenarnya bukanlah orang yang
terbiasa dengan hubungan ‘pacaran’, bukan karena saya setuju indonesia tanpa
pacaran. Tapi ya bagi saya yang merasa mengalir saja dalam menjalani relasi
dengan siapapun, tidak menganggap penting-penting amat dengan istilah pacaran
atau semacamnya. Lagipula sejak SD Bapak selalu mengancam, “Ora usah
pacar-pacaran, ra sekolah nek pacar-pacaran,” dengan suara khasnya membuat
saya dan adek cukup merinding. Dengan prinsip yang saya pegang erat-erat itu,
teman-teman kampus saya para ukhtea selalu berkata, “Masyaallah
mik kamu keren ya bisa nggak pacaran, aku pengen kayak kamu,” dalam hati
saya cuma membagong.
Meski
begitu, pada dasarnya saya memang cukup supel dan suka bergaul dengan banyak
orang, baik perempuan atau laki-laki. Aktivitas sejak sekolah memang sudah cukup
padat, sampai menginjak kuliah saya menjadi cukup aktif di kampus. Namun karena
prinsip-prinsip saya sendiri itulah justru saya lebih banyak terjebak dan
menjadi korban friendzone serta ghosting berkedok sahabat. Naseb..
naseb.
Bahkan
sampai setelah lulus kuliah dan bekerja, saya merasa masih sering menjadi
korban hubungan nggak jelas. Sejak merasakan satu patah hati ke patah
hati yang lain, antara kasih tak sampai, kasih terbentur kondisi, kasih
terbentur sahabat, dan entah apalagi itulah, saya menjadi sok berteori tentang
cinta dan menikah ini.
Inilah
beberapa hasil bergumulan batin dan pikiran yang berhasil dirumuskan dari
rentetan patah hati ke patah hati yang lain. Beberapa diantaranya juga hadiah
karena menjadi tempat curhat para orang-orang yang juga patah hati lantaran putus
cinta dari kekasihnya setela lama menjalin hubungan dan berkomitmen.
Pertama,
sampai detik ini saya pikir orang yang menikah karena saling mencintai adalah
hak istimewa, privilese yang tidak dinikmati semua orang. Betapa banyak
orang menikah lantaran bukan karena saling cinta, melainkan karena faktor
ekonomi, desakan orangtua, atau faktor kepentingan seperti bisnis dan politik
misalnya. Di desa-desa perempuan dinikahkan juga bisa lantaran orangtuanya terlilit
hutang.
Selanjutnya,
bisa jadi cinta bukanlah unsur terpenting dari sebuah pernikahan. Kita melihat,
banyak orang yang menikah tidak diawali dengan rasa cinta dulu, bahkan saling nggak
kenal mulanya. Tapi langgeng-langgeng aja sampai kakek nenek. Cinta memang
bukan unsur nomor wahid dalam pernikahan. Lagipula ‘tresno jalaran soko
kulino’ bukanlah hal yang mustahil.
Kemudian,
menyitir lagunya Sal Priadi ‘Irama Laot Teduh,’ “Apa kau sudah siap? kapal ini
kan laju”. Lebih dari cinta, pernikahan adalah bagaikan sebuah kapal. Di kapal
itu dua insan berlayar menuju pulau. Tetapi mereka tetap individu
masing-masing, satunya bisa jadi nahkoda satunya yang pegang kompas. Peran ini
bisa bergantian, dan keduanya bisa berdebat akan melewati jalan yang mana.
Pernikahan bagaikan kapal yang masing-masing punya tempat yang ingin disinggahi
dulu, tapi tetap menaiki kapal yang satu.
Jadi
dua insan ini memang harus saling kompromi, berhenti dulu di pelabuhan, minum
es cendol kesukaan sang nahkoda, lalu berlayar lagi. Berhenti di pelabuhan
Makassar beli Coto Makassar kesukaan sang penunjuk arah, lalu lanjut berlayar
lagi. Begitu seterusnya sampai maut memisahkan, dan until Jannah. Baik
nahkoda atau penunjuk arah juga harus bersama-sama menjaga kapal tetep
seimbang. Sorry kapalnya belum secanggih kapal selam, masih kapal layar
yang mengandalkan angin ghes.
Ada
lagi hal lain, orang bisa bersatu menikah karena semua kondisi mendukung pada
saat itu. Diantara kondisi itu adalah; disaat itu kamu bertemu orang yang cocok
atas banyak hal, mulai dari pemikiran yang setara, aspek spiritual yang hampir
seimbang, aspek normatif yang dilihat secara sama, serta kondisi sosial dan
keluarga yang mendukung. Ya, semua kondisi yang tepat itu membuat dua insan
bisa bersatu. Dalam islam dikenal dengan konsep ‘sekufu’.
Kata
orang-orang, yang dinamakan jodoh ya gitu, apapun bisa dilalui. Agaknya
perkataan seorang filsuf ini juga bisa relevan dengan kondisi tersebut, Paulo
Coelho berkata 'Saat kamu menginginkan sesuatu, semesta akan bersatu padu
membantumu’. Makannya orang yang memang tulus berkeinginan akan cintanya ya
terbuka jalannya. Bahkan tak jarang rintangan yang awalnya seperti tidak
mungkin bisa juga ditundukkan. Meskipun kenyataannya Zainuddin tetap tidak bisa
bersatu dengan Hayati. Tapi cinta Hayati dan Zainuddin tetap hidup.
Kembali
ke topik kesiapan, daripada terus mempertanyakan 'Apa diri ini aneh jika belum
siap menikah’. Kini saya sudah punya jawabannya. Sebenarnya bukan karena belum
siap, tapi nggak ada yang ngajak siap. Wkkk.. hahaha canda coy 😆
Sebenarnya
bukan karena kamu belum berani atau belum siap menikah, setiap orang akan
menemui kesiapannya sendiri-sendiri dan berbeda-beda, yang tak jauh juga
dipengaruhi kondisi secara pribadinya dan lingkungan sosialnya. Lebih dari itu,
siap itu butuh kejelasan dan tambahan kesiapan dari orang lain. Katanya tidak
ada orang menikah dengan siap 100%, menurut saya kesiapan itu muncul karena
ketemu orang yang membuat hati berkata 'Oke, ayo sama dia’.
Ibaratnya
gini, dua sejoli pasti punya kayakinan masing-masing pada calon pasangannya.
Tapi keyakinan itu pasti belum 100% karena masih banyak pertanyaan-pertanyaan
lain yang tidak bisa diurai secara lisan. Katakanlah satunya siap 70% satunya
50%. Lalu akhirnya salah satu pihak mengajak Lets get married, maka
disaat itulah keyakinan bisa bertambah karena adanya keseriusan. Maka dari itu nyatanya
kesiapan bukanlah kerja seorang diri. Perlu pihak lain untuk menggapainya,
yaitu dengan syarat keyakinan dan keseriusan.
Yahh..
begitulah kontemplasi dan bualan saya akan dunia pernikahan. Teman-teman atau
siapapun tentu berhak untuk tidak setuju atau bahkan mengumpat-umpat pandangan
saya ini. Silakan saja, tulis di komentar, saya persilakan untuk di debat di akun media social
saya. Selamat menemukan jodoh jomb, moga segera bertemu orang yang tepat
lagi saling cinta.
0 komentar