Memandang Keceriaan


Beberapa hari ini aku disadarkan oleh banyak hal terkait dunia menulis yang sudah aku beranikan sejak awal kuliah dulu. Baru sekarang aku sadar bahwa selama ini tak patut sekali aku dikatakan sebagai penulis. Seperti Minke dalam ‘Anak Semua Bangsa’ yang diceramahi Kommer, aku merasa ceramah itu juga sebilah pedang yang ditujukan untuk orang sepertiku. Orang yang dengan sok tahu, sangat jauh dari Minke tapi menerima saja dijuluki penulis, padahal sebenarnya hanyalah tak lebih dari pemidato dalam tulisan. Selama ini aku tidaklah menulis, aku hanya berpidato, hanyalah berkhotbah. Dan kata Kommer, seburuk-buruk tulisan adalah tulisan yang berpidato.

Dibanding Minke, bisa dikatakan aku sangatlah telat menyadari kedunguanku. Aku sangat berterima kasih pada Kommer, pada Pram yang telah menulis karya besar itu. Aku diselamatkan dari tinggi hati dan tinggi angan serta menemukan kesadaran akan realita diriku sendiri yang menyedihkan.

Akan tetapi disamping itu aku sadar, tak elok jika aku menyesal telah menulis meski sebenarnya sedikit banyak aku sesalkan dari beberapa tulisanku. Aku mengagumi Pramoedya Ananta Toer, tetapi aku sangat payah, bahkan untuk memahami yang dimaksud Pram butuh waktu lebih dari 5 tahun sejak aku mengenal karya-karyanya. Sedari lama membaca karya Pram, tak kunjung sampai aku pahami maksud-maksudnya.

Selama ini justru aku lebih banyak menunjukan segala kebodohanku daripada kebijaksanaan. Aku menulis setengah-setengah, aku buta akan keseluruhan dan tidak jauh aku hanya berkhotbah. Beberapa tema aku tuliskan selama ini, itu pun hanya sangat sedikit yang aku ketahui. Dan aku sekarang menilai tentang tulisanku, di mana pasti juga bolong-bolong ketika aku buta akan masyarakat, kondisi sosial, realita. Aku sangat bodoh mengira memegang lilin, padahal dalam kegelapan itu aku meraba-raba tak tahu arah. Sungguh tak pantas diriku dalam kondisi seperi itu berani berkhotbah.

Beberapa bulan lalu entah tanpa sengaja atau ini sudah semestinya, bahwa adikku sendiri yang lebih bayak menunjukkan arah ini. Diawali menonton sekuel Game of Throne sampai Lord of Power yang baru-baru ini tayang. Adekku ternyata sudah mengagumi Eropa entah sejak kapan. Di matannya Eropa adalah cahaya, kurang lebih juga seperti Minke yang terpana dengan Eropa pada awalnya. Sementara aku, waktu itu sampai detik ini tak pernah menganggap Eropa unggul dalam keseluruhan. Semua bangsa memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Memiliki kebajikan dan kebiadabannya masing-masing. Seperti kesimpulan Minke dalam ‘Anak Semua Bangsa’.

Jelasnya mengenai sejarah aku masih kurang cakap. Jika seperti itu kondisinya tentulah tulisanku juga tak lebih dari catutan-catutan yang tidak utuh. Bahwa inilah yang kupahami akan apa yang dimaksud oleh para guru, memahami ilmu pengetahuan juga dibutuhkan ilmu pengetahuan. Waktu dulu aku mungkin belum bisa menikmati karya sastra, aku belum bisa mengerti keindahan rentetan peristiwa yang mengacak-acak sampai sanubari dan pikiran. Tak heran jika waktu itu aku tidak suka membaca karya sastra, semata-mata karena aku belum bisa mencerna keindahannya.

Selama ini aku hanya terus menjejali dengan pengetahuan-pengetahuan tapi sesungguhnya belum bisa juga aku mencernanya. Hanya menyuapi mulutku dengan penuh makanan tapi tidak bisa kuteruskan sampai kerongkongan dan masuk ke perut dan menyerap sari-sari nutrisinya. Aku mengira sedang berjalan di jalan kebajikan, ternyata aku hanya berjalan dari kebodohan satu ke kebodohan lainnya. Aku berjalan sampai hari ini dan masih saja bodoh. Aku murung tapi tak pantas juga aku bersedih, manusia memang hanyalah makhluk yang bodoh. Kembali lagi aku teringat kata Kommer bahwa tidak baik pula jika terus meratap, karena akan membuat kita berpandangan pesimis. Seperti dikatakan Pram, siapa yang menatap pada keceriaan saja ia gila, barangsiapa menatap pada kesedihan saja ia sakit. Hidup itu seimbang.

Aku disadarkan dari pandanganku yang pesimis, yang menganggap dunia adalah tempat manusia saling berperang dan penindasan, tak ada keceriaan hanya ada nestapa. Setelah cukup lama aku ratapi kesedihan, atas ketidakutuhan itu, aku hari ini mesti belajar memandang keceriaan.

Dalam mengarungi Tetralogi Pulau Buru Pram, tentulah tak heran kenapa karya ini disebut luar biasa. Dalam damai tersenyumlah Pram memandang anak sebangsanya mengagumi hasil jerih payahnya yang ditulis dengan tinta darah dan bermandikan keringat kebebasan. Keringat itu mengucur pada anak-anak zaman ini, menjadi  penerang dalam kegelapan bandang informasi.



Share:

0 komentar