Tulisan ini sudah ditulis sejak 2019 lalu, namun mengingat kondisi saat ini di tengah iklim persatuan yang sedang diuji, krisis yang membayangi, dan berbagai keputusasaan yang kita alami di tengah pandemi. Penulis merasa perlu untuk menerbitkan kembali, secuplik cerita pengalaman penulis merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung halaman di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sebagai pengingat bahwa persatuan selalu saja menyisakan kebahagiaan untuk semuanya. Selamat membaca..
Hari Sabtu pada Idul Fitri setahun yang lalu, tepatnya hari Kamis (8/6) 2019 lalu, saya beserta rombongan keluarga bersilaturahim ke
beberapa sanak saudara yang berada di Desa Carikan Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah. Desa ini terkenal dengan masyarakatnya yang majemuk dan mempunyai
keyakinan agama yang berbeda-beda. Rombongan kami adalah saya, Bapak, Adek dan
dua sepupu saya yang masih kecil-kecil sekitar 5 dan 7 tahun.
Sekitar
pukul 13.00 WIB selepas dhuhur, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan dari
Desa Kluwung menuju Desa Carikan di kecamatan Jumo. Kami tiba di rumah pertama
yang dituju. Sebenarnya saya memang baru pertama kali kesini, biasanya memang
hanya Bapak, Ibu, atau Paman, mengingat sudah keturunan keberapa dari kakak
beradik Mbah putri.
Kami
sempat makan, dan kedua sepupu saya main di kandang kambing. Maklum saja anak-anak
memang senang dengan binatang. Kami melanjutkan ke rumah yang lain. Sebelumnya
Ibu memang sudah banyak bercerita jika Mbah putri punya banyak saudara dari
berbagai latar belakang, namun perbedaan seperti agama yang dipeluk tidak
menjadi penghambat silaturahmi. Setiap kali ada acara di tampat kami, mereka
(saudara Mbah putri) selalu turut datang, idul fitri pun juga turut sowan ke
Mbah putri.
Tatapi
memang baru pertama kali ini aku singgah di Budhe yang merupakan seorang Budha
yang taat. Kami disambut sangat ramah dan sudah ditunggu-tunggu. Aku membatin:
“Ohh jadi
disini to yang paman ngambil kitab Budha itu”
Sewaktu
kecil aku memang pernah menemukan kitab Budha berbahasa Indonesia di rumah Mbah
putri, aku pun sempat membacanya, rupanya yang membawa kitab tersebut adalah paman
saya. Bukan karena ingin berpindah kepercayaan atau apa, sebagai seorang pemuda
waktu itu cukup dimaklumi jika paman mempunyai rasa penasaran yang begitu besar.
Begitupun denganku waktu itu.
Kami tetap melakukan sungkeman dan dua sepupu saya asyik makan
permen. Setelah minum, makan dan banyak bercerita menjalin kembali silaturahim,
kami pun bersiap pamit. Namun sebelum pamit sepupu saya kembali membuat
tingkah. Mereka sibuk berebutan permen warna ungu yang akhirnya justru permen
di toples kembali dituang dengan yg baru oleh pemilik rumah. Dua sepupu saya
itu kegirangan dan mengisi kantong kantong celana mereka dengan banyak permen,
sampai dibantu mengisinya juga oleh Budhe sampai penuh permen di kedua
kantongnya.
Kami melanjutkan singgah ke rumah yang lain dengan berjalan
kaki. Saya menyadari bahwa rupanya banyak juga Wihara di tempat ini. Nampaknya
penganut Budha cukup banyak di Desa Carikan. Banyak Masjid dan Wihara berdiri
berdampingan memperlihatkan harmoni kerukunan antara pemeluknya.
Akhirnya kami sampai di rumah tujuan, rumah kedua ini kembali menjadi target serbuan
dua sepupu saya karena punya banyak coklat. Dan kami kembali pamitan dengan
mengantongi banyak coklat. Hingga sepulang dari rumah yang terakhir saya baru
tahu dari Bapak kalau pemilik tumah yg terakhir justru seorang kristen yang
taat.Sebelumnya kami diantar oleh Budhe saya yg dari rumah pertama, namanya
Budhe Sukri. Beliau pun kini adalah seorang muslim karena menikah dengan
laki-laki muslim.
Banyak sekali yang saya dapatkan dari silaturahim kali ini.
Terlihat betapa naturalnya Bapak mengajari kami tentang arti toleransi sejak
kecil. Obrolan tetap terasa nikmat apalagi dengan sambutan pemilik rumah yang
sudah ikut merayakan segala atribut-atribut Idulfitri, dari anak-anaknya yang turut
mudik sampai segala macam makanan khas lebaran pun turut mereka masak. Walaupun
tak ikut merayakan tapi bagi kami kedua Budhe saya ini seperti benar-benar berniat
untuk menyambut keluarganya yang muslim.
Toh walaupun paman saya pernah membaca kitab Budha itu dia tetap
menjadi seorang Santri dan sholat 5 waktu. Rupanya memang yang namanya ‘Akidah’
tak akan luntur hanya karena membaca kitab agama lain apalagi hanya karena ikut
menjaga gereja ketika Natal. Akidah adalah sesuatu yang Kokoh dari dalam jiwa, hati,
fikir dan perbuatan.
“Maka sesungguhnya ia telah brpegang kepada bubul tali yang
kokoh” (Q.S. 31:22).
Syaikh Abdul Qadir al Jaelani mengatakan bahwa seorang pengesa memiliki kekuatan tauhid. Tidak ada lagi baginya yang disebut ayah, ibu, keluarga, teman, musuh, kekayaan, jabatan atau ketenangan bersama apapun, melainkan hanya ketergantungan di pintu Allah azza wa jalla dan anugerah-anugerah-Nya.