Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri

Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga Mbah Putri dan Mbah Kakung dari pihak ibu. Dalam keluarga ibu, dulu semasa kecilnya yang biasa lebih banyak menemani anak-anaknya ya bapaknya (kakek saya), karena mbah putri harus mengajar dari pagi sampai sore hari.

Akhirnya yang biasa memasak di rumah ya Mbah Kakung, waktu itu Mbah Kakung kesehariannya adalah bertani. Jadi tentu saja waktunya lebih fleksibel dibanding istrinya yang harus bertugas mengajar di sekolah. Tapi masakan Mbah Kakung memang joss, tak heran jika cucu-cucunya suka sekali makan di tempat simbah. Sedari kecil saya pun biasa ikut mbah karena bapak dan ibu harus ke pasar, dan siang hari ibu baru pulang. Jadilah saya mengikuti Mbah Kakung ke sawah setiap hari.

Sambil menunggu Mbah Putri pulang, biasanya di sore hari Mbah Kakung sudah mulai memasak beberapa jenis sayuran yang dibawanya dari sawah. Mbah Putri memang biasa berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah dan pulang sore hari. Waktu itu belum ada angkot ke daerah sekolah tempatnya mengajar hingga memang harus berjalan kaki.

Yang lebih menakjubkan lagi setiap sore bakda ashar Mbah Putri masih menyempatkan untuk mengajar TPA yang waktu itu diadakan di rumah, tentu saja bersama Mbah Kskung juga. Kalau boleh dibilang, bersama-sama mereka menghidupkan syiar islam di kampung saya berasal, sebuah desa yang cukup jauh dari kabupaten kota Temanggung, Jawa Tengah.

Kalau cerita dari ibu, dulunya kampung kami memang lekat dengan masyarakatnya yang masih dengan kepercayaan nenek moyang atau kepercayaan leluhur. Sampai Mbah Putri tinggal di kampung setelah menikah dengan Mbah Kakung.

Sebenarnya mereka berdua adalah pendatang di kampung, tetapi karena orangtua Mbah Kakung mempunyai tanah disitu akhirnya Mbah Kakung diminta menetap di daerah itu. Sebagai santri ndalem yang sejak kecil membersamai keluarga Kiai, mbah putri pun tergugah untuk mengajarkan ilmu agama. 

Beberapa tahun tinggal di kampung, belum ada masjid berdiri hingga Mbah Kakung memutuskan mewakafkan sepetak tanah dari orangtuanya untuk dibangun langgar, bukan masjid karena memang tidak begitu luas. Akhirnya secara perlahan perjalanan syi'ar terus berkembang.

Seperti warga lainnya, mereka hidup normal-normal saja, setiap harinya mbah Kakung ke sawah, juga Mbah Putri setiap harinya memang mengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang cukup jauh dari rumah, terletak di desa dekat puncak gunung Sindoro. Setiap harinya Mbah Putri berjalan kaki untuk berangkat mengajar, hingga ada angkot yang menuju ke sekolah, Mbah Putri baru naik angkot.

Baca juga; Mbah Putri dan Jualannya

Mereka juga membuka majelis di rumahnya, anak-anak kecil sampai orang dewasa akhirnya ikut ngaji mbah kakung dan mbah putri. saya jadi ingat pertama kali belajar membaca al-Qur’an juga dengan mbah kakung, awalnya menggunakan metode ’Turutan' yg biasa juga mbah kakung gunakan untuk mengajari anak-anak lain.

Menceritakan perjalanan kehidupan mbah kakung, mbah putri dan syiar dakwahnya sepertinya akan menghabiskan berlembar-lembar halaman. Hidupnya dipenuhi dengan berbagai terpaan badai. Saya hanya biasa mendengar cerita dari ibuk, tirakat mbah kakung dan mbah putri tak main-main. Kata ibuk semasa masih muda dan anak-anaknya masih kecil, mbah kakung dan mbah putri hampir tak pernah absen shalat malam di tempat pemakaman para orangtua mereka, setiap hari kesehariannya dihidupkan dengan berbagai amalan.

Beruntungnya mbah kakung memang mewarisi cukup luas tanah dari orangtuanya, sehingga untuk masalah pangan ia bisa berbagi dengan warga sekitar. Sering sekali yang menjadi pengelola sawahnya adalah murid-muridnya para santri di pengajian sore.

Orang-orang kampung biasa menyebutnya 'derep' yaitu membantu memanen hasil pertanian dengan mendapatkan gabah (padi yang belum digiling). Selain dari warga sekitar, orang kampung di tempat sekolah mbah putri juga sering bertandang kerumah simbah. Herannya tak pernah mereka pulang dengan tangan kosong, setelah menceritakan masalah hidupnya pada mbah putri atau mbah kakung, meski persediaan beras telah menipis untuk mereka dan ke-8 anaknya, mbah putri biasanya tetap mengantongi orang yang datang dengan membawakan beras, beberapa juga ditambah pakaian dan jilbab selendang.

Sewaktu kecil saya pun biasa ikut mbah putri sehari-hari ketika mbah putri libur ngajar bisa dari pagi sampai sore di tempat mbah. Dari paginya ke kebon seharian, duduk di depan tungku sambil menunggu mbah kakung dan mbah putri memasak, sampai ikut bulek di pengajian sore hari, TPA sabean sore itu akhirnya dipegang Bulek setelah mbah kakung dan mbah putri semakin memasuki usia senja.

Sampai umur 80 tahun mbah kakung masih dipercaya menjadi imam masjid. Sebuah masjid yang akhirnya dibangun dari tanah wakafnya lagi. Mereka bersua adalah sosok pendatang yang menjadi disegani masyarakat karena kemurahannya juga ilmu-ilmunya, mbah kakung dan mbah putri memang tak pernah memegang uang, tapi untuk urusan pangan banyak warga kampung bisa mendapatkannya ketika main ke rumah.

Tak hanya sering berbagi beras, mbah kakung dan mbah putri memang sudah menyantuni anak-anak yatim dari kalangan kelarga untuk disekolahkan, setidaknya sampai tingkat SLTP beberapa anak menamatkan. Salah satunya yang saya ingat mbah kakung tak melepas anak asuhnya begitu saja setelah keluar dari bangku sekolah, biasanya mbah kakung juga akan mengajarinya drengan ilmu-ilmu pertukangan yang memang sedikit ia kuasai. Salah satu anak asuhnya kini sampai tua adalah seorang tukang yang cukup dikenal di desa, beberapa proyek pembagunan desa juga diamanahkan padanya.

Mendengar kisah perjalanan mereka dari ibu membuat saya berpikir sekaligus malu. Betapa gigihnya perjuangan mbah kakung dan mbah putri, yang tentu saja tidak mudah. Selain kerelaannya berbagi, berbagai hujatan juga datang dari yang tidak menyukainya. Kata Ibu, beberapa tanamannya seringkali diganggu hingga gagal panen, dan masih banyak lagi hal yang tentu tidak bisa saya ceritakan. Yang pasti memori indah kebersamaan dengan mbah putri dan mbah kung masih saya ingat betul, bisa menyaksikan kehidupan mereka dan mengikuti setiap kegiatan mereka menurutku adalah sebuah privilege, yang tiada dua. 

Mbah putri selalu mengajakku ikut simaan Qur’an dimana-mana juga tadarusan setiap bulan ramadhan. Biasanya di sore hari mbah putri akan membuat kolak atau makanan ringan untuk dibawa ke masjid, katanya biar yang ngaji senang dan nggak ngantuk. Kini selepas mbah putri ditimbali Gusti Allah, yang membawa makanan untuk orang-orang ngaji di masjid dilakukan bergilir, nyatanya mbah putri tak minta orang-orang untuk mengikutinya, ia sadar keadaan setiap orang di kampung. Namun lakunya telah menjadi teladan, yang menghidupkan kebaikan-kebaikan lain dari tangan-tangan lain. Sampai umurnya menginjak 70 tahun setelah pensiun dari mengajarnya dan sebelum sakit mbah putri juga masih aktif di berbagai kegiatan.

Melihat kehidupan mbah kakung dan mbah putri saya bisa memetik berbagai keteladan hidup, salah satunya teladan kehidupan berkeluarga. Mbah putri dan mbah kakung selalu berbagi tugas, antara urusan domestik seperti memasak, mencuci, dan urusan publik yaitu mengajar.

Baca juga; Menikahlah Jika Memang Kamu Siap Menikah

Ditengah kesibukan keduanya, anak-anaknya tetap bertumbuh dengan baik. Beberapa langsung dititipkan di pondok ketika sudah mulai menginjak usia remaja. Seperti ibu saya, yang menuturkan dirinya biasa disangoni telur untuk berangkat ke pondok. Waktu itu mbah kakung juga beternak ayam dan kambing. Selain itu bayaran untuk di pondok juga masih bisa memakai bahan-bahan pangan. Selain teladan berumah tangga, kita belajar bahwa sebuah kegiatan yang luhur juga memang seharusnya diawali dan disertai laku mulia. Untuk mengajak orang-orang sholat jum’at saja tak hanya dengan ‘nggendong' dan membersamai warga setiap harinya, membantu yang kesusahan, dan mendengar keluh kesah orang yang datang, tapi juga dengan tirakat doa yang Subhanallah sekali, tak ada henti. 

Kata ibu, dari mbah, kalau punya keinginan itu juga harus ditirakati, diriyadhohi. Sebuah amalan sangat penting untuk kita dapat merayu Gusti Allah hingga hajat-hajat yang dimohon dikabulkan. Begitu terus walau belum dikabulkan.

Kini mbah putri telah pergi dipanggil Gusti Allah sejak 2018 lalu dan disusul mbah kakung pada akhir 2019 lalu. Namun tentu saja banyak jejak ditinggalkan mereka berdua, syiar dakwah yang dihidupkan di pelosok kampung, menjadi penerang yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Semoga meski tak dikenal di Bumi mbah putri dan mbah kakung dikenal di langit.

Tanpa terasa saya menulis ini juga menghabiskan berlembar-lembar tisu. Memori bersama mereka berdua tak bisa membohongi diri untuk terus menitikkan air mata. Kini medan syiar di jaman simbah, jaman orangtua kita, dan jaman kita juga jaman anak cucu kita kelak terus akan berubah. Menjadi tantangan bagi setiap generasi, menemukan upaya terbaik harus terus dilakukan untuk bisa meneladani simbah, bersyiar dengan cinta dan kasih sayang, seperti diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Semoga Mbah Putri dan Mbah Kakung diparingi jembar kubur, selalu mendapat rahmat dateng Gusti Allah. Akhirul kalam saya mohon doanya untuk Mbah Kakung dan Mbah Putri, dua sosok kiai kampung yang tanpa lelah berjuang selama hidupnya, Bapak H. Achmad Kunut dan Ibu Hj. Sarijah, Alfatihah..

Share:

0 komentar