• Beranda
  • Motivasi
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Opini
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Puisi
    • Langgam Cinta
    • Pertemuan Bahagia dan Sedih
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips - Trik
  • Who Am I

Bangun Pagi-pagi



[MUTIARA HIKMAH] Dalam menjalani kehidupannya di dunia, manusia sering kali dihadapkan pada berbagai persoalan, entah itu menyangkut persoalan yang berhubungan dengan dirinya sendiri, keluarga atau lingkungan sekitarnya. Sehingga kita acap kali bingung dalam memutuskan suatu perkara. Terkadang Kita dihadapkan pada keharusan menfokuskan suatu pekerjaan demi mencapai tujuan, tetapi terkadang juga dihadapkan pada  keharusan  memutuskan berbagai perkara dengan cepat. Apalagi di jaman serba cepat seperti sekarang ini, arus informasi yang kian kencang juga telah memengaruhi gaya hidup dalam memutuskan berbagai hal. 

Ketika membuat suatu keputusan, setiap orang akan dipengaruhi oleh berbagai latar belakang yang membentuknya. Sehingga pengetahuan akan sangat memengaruhi keputusan yang dipilih. Berbagai hal yang harus diputuskan misalnya terkait keputusan dalam menentukan tindakan ekonomi. Selain tingkat pendidikan yang akan turut memengaruhi, lingkungan juga akan memainkan peran penting.

Orang yang tinggal di desa dan di kota juga akan berbeda dalam mengelola pendapatan ekonominya. Ibu rumah tangga yang tinggal di kota mungkin akan mengalokasikan dananya untuk membayar cicilan, investasi, bayar air dan kebersihan, serta membayar sekolah anak-anaknya dll. Namun bagi ibu rumah tangga yang tinggal di desa dia tidak perlu mengalokasikan dana utuk membayar air dan kebersihan karena biasanya di lingkungan pedesaan air tidak perlu membayar, masih banyak mata air memancar dll, tetapi biasanya ibu rumah tangga di pedesaan justru memerlukan alokasi dana untuk keperluan sosial yang  tidak sedikit, gotong royong kebersihan desa, iuran RT, dll adalah dana yang wajib dikeluarkan masyarakat desa. Itulah sedikit keputusan yang memengaruhi perilaku ekonomi masyarakat perkotaan dan pedesaan.

Hal-hal menyangkut keputusan setiap orang akan berbeda-beda memang, seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa hal tersebut tak lepas dari latar belakang, pendidikan, pengetahuan, ekonomi, lingkungan sosial dan politik yang melingkupinya. Hingga akan menjadi  baik jika kita dapat memutuskan suatu perkara dengan melihat mana yang lebih baik, baik untuk siapa dan mana yang untama dan melihat apakah hal itu hanya utama untuk dirinya sendiri atau juga untuk orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai yang ‘ashlah dan afdhol’. Menurut bahasa ashlah artinya lebih baik sedangkan afdhol ialah lebih utama. Sebagai seorang hamba kita tidak bisa memutuskan bahwa yang kita minta pada Allah swt akan terkabul. Karena hak mengabulkan adalah otoritas Sang pencipta. Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 216:

كتب عليكم ا القتا ل وهو كرهلكم وعس ان تكرهوا شيأ و هو خيرلكم وعسى أن تحبوا شيأ وهوشرلكم والله يعلم وأنتم لاتعلمون
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tiak.”

Sebagai seorang hamba kita boleh meminta apapun kepada Ilahi Rabbi namun sekali lagi hanya Allah yang akan memutuskan apakah doa kita akan dikabulkan atau tidak. Walaupun sudah beribadah dan berusaha terus menerus, tetap saja kita tidak bisa memaksakan doa yang kita panjatkan akan terkabul. Karena sesungguhnya hanya Ridho Allah yang akhirnya membuat doa menjadi terkabul.

Setelah berusaha, berikhtiar secara maksimal kita diperintahkan untuk berdoa, menyerahkanya kepada Yang Maha Tahu. Namun disamping itu kita tetap harus berdoa dan berkhusnudhon kepada Allah swt. Menjadi penting adalah selalu menjaga khusnudhon kepada Allah swt hingga akhirnya keputusan-keputusan yang kita ambil adalah atas petunjuk dari Allah swt.karena hanya Allah yang mengetahui mana yang lebih baik (Ashlah) untuk makhluknya.

Seperti halnya seorang dokter, ia akan memilihkan mana yang lebih baik untuk pasiennya karena tugas dokter adalah untuk memberikan keselamatan bukan untuk memuliakan pasien. Seorang dokter akhirnya akan memilihkan makanan yang lebih baik untuk pasiennya bukan yang asal enak. Bisa jadi dokter tersebut akan memberikan pasien makanan yang pahit namun memberikan dampak yang menyembuhkan bagi pasien,  hal itu semata-mata demi keselamatan sang pasien.

Kasus lain adalah bahwa sholat adalah yang lebih utama (afdhol) daripada tidur. Kita mendengar setiap hari pada kumandang adzan subuh “ sholat lebih baik dari pada tidur”.

Sholat adalah hal yang utama daripada tidur. Sholat malam khususnya memiliki banyak fadhilah bagi kehidupan kita baik di dunia maupun di akhirat. Namun hal itu dapat menjadi perkara lain bagi orang yang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Misalnya karena bekeja keras demi menghidupi keluarga, sehingga jika kurang tidur dapat mengganggu pekerjaan dan ibadah yang lain, maka lebih baik orang tersebut memilih  tidur. Walaupun jelas sholat tetap lebih utama (Afdhol).

Kita dapat menimbang dan memperhitungkan sendiri mana yang lebih utama dan lebih baik untuk dilakukan. Kiranya yang lebih baik akan kita utamakan. Dalam kitab Minhajul Abidin karangan Ulama besar Imam Al Ghazali mengemukakan tentang prinsip yang harus kita pegang, yaitu bahwa tidak mustahil barang yang baik itu juga disertai utama maka mintalah pada Allah swt untuk diberi keutamaan disertai kebaikan.

Seringkali seorang hamba mengerti yang utama tetapi tidak mengerti yang lebih baik, karena hanya Allah swt yang mengerti mana yang lebih baik (ashlah). Dengan melihat kebesaran Allah dan firman-firman-Nya  maka kita menjadi tahu bahwa sebagai makhluk wajib berusaha terus menerus dan berdoa memohon petunjuk tanpa mengenal lelah. Sehingga sebagai seorang muslim, dibalik kepasrahannya karena menerima dan Ridho akan takdir Ilahi, juga tertindak langkah demi langkah berupa usaha dan doa hingga itulah langkah yang akan dilalui untuk menuju  tawakkal. Sehingga perilaku berputus asa dan lari dari tanggung jawab tidak mencerminkan sebagai seorang muslim yang baik.

Akhirnya jika menginginkan yang utama (afdhol) maka minntalah kebaikan (ashlah). Dengan begitu kita akan mendapatkan keduanya.[]
Wallahualam..
Wrote by Umi Nurchayati

dok: penulis
Memasuki revolusi industri 4.0 dunia menjadi semakin kompleks dengan segala kesibukannya. Peran teknologi semakin nyata membentuk perilaku manusia. Internet menjadi bagian dari kehidupan keseharian, meminjam istilah ‘internet of things’ kini semua komputer dan smartphone telah saling tersambung satu sama lain sehingga suatu pekerjaan dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan efisien. Seperti teknologi sensor untuk memantau aktifitas pekerja di pabrik sampai pegembangan artificial intelligence untuk memantau kebutuhan-kebutuhan kita, sehingga jangan kaget jika sedang asik berselancar di dunia maya lalu lewatlah iklan fashion yang rupanya juga sedang kita cari. 

Fenomena tersebut menggambarkan bahwa dunia semakin dituntut pada akses kecepatannya, terutama kecepatan informasi. Kini dengan sangat mudahnya suatu peristiwa di tempat A langsung bisa diketahui di tempat B dalam hanya hitungan detik. Begitu pula dalam informasi yang bersifat keilmuan seperti akademik dan ilmu agama. Kini pencarian informasi dan belajar di internet adalah jalan yang paling mudah dan murah. Seorang tak perlu kuliah jurnalisme untuk menjadi jurnalis, untuk eksis membahas politik juga tak perlu kuliah ilmu politik serta untuk dikatakan ustadz juga tak harus nyantri berlama-lama di pondok pesantren atau di institusi islam. Ya, itu semua berkat teknologi internet sehingga informasi apapun dapat dipelajari sendiri secara mandiri dan masif.

Tom Nichols dalam bukunya ‘The Death of Expertise’ (2017) mengungkap suatu fenomena mendesak tentang para ahli yang mulai kehilangan otoritasnya akibat peredaran informasi yang sangat banyak dan begitu cepat, internet tak lagi menjadi sarana demokrasi tetapi justru membutakan orang karena sebagian besar manusia semakin malas membaca, mencari dan mengkonfirmasi sebuah informasi yang didapatkan. Hal ini menjadi celah banyaknya berita bohong (fake news) untuk turut menyerang dan semakin memperkeruh keadaan.

Dalam dunia keilmuan keagamaan fenomena ini banyak digunakan untuk menyerang otoritas ulama, ustadz atau da’i. Beberapa orang hanya belajar dari internet tentang ilmu agama kemudian merasa sudah cukup ilmu sehingga berani berceramah. Tentu saja hal ini sangat berbahaya, karena tanpa keilmuan yang cukup dan matang seorang penceramah justru dapat menyesatkan atau membawa pada pemahaman yang keliru pada para jamaahnya dalam memahami agama. Hal ini menjadi tantangan bagi pegiat pesantren dan santri pada khususnya.

Selama ini Pesantren memang tak hanya sebagai lembaga keagamaan, pesantren terbukti telah menjadi kekuatan utama dalam mengusir penjajahan dari bumi pertiwi dan menghapus praktik kolonialisme, sehingga mengantarkan pada kemerdekaan bangsa. Namun kini pesantren kembali dihadapkan pada peran seperti itu lagi, tetapi dengan bentuk yang berbeda. Jika dahulu suatu bentuk penindasan dan penjajahan begitu terlihat nyata karena berwujud fisik, maka kini kolonialisme tersebut jika boleh dikata telah berubah bentuk menjadi informasi yang begitu banyak dan tidak terbendung. Seperti dikatakan Nichols bahwa informasi yang begitu banyak akan membuat manusia semakin bingung dan menjadikan ia lebih menyukai informasi yang ingin didengarnya saja sehingga menimbulkan sikap apatis dan tertutupnya sikap open minded. Maka penyebaran informasi yang benar amat penting untuk membendung bahaya-bahaya tersebut.

Namun seperti yang saya ingat, seorang Guru kita, ustadz Ja’far pernah mengatakan dalam Madrasah Diniyah kelas Khomis bahwa sebelum kita berbicara atau menyampaikan suatu ilmu, kita dituntut untuk mengetahui ilmunya. Hingga penyampaian ilmu tidak bisa dilakuan setengah-setengah tetapi menyeluruh dan utuh. Hal seperti itulah yang terkadang membuat santri yang sudah mondok bertahun-tahun pun kadang belum berani untuk tampil sebagai pendakwah, apalagi dunia pesantren juga telah menumbuhkan budaya Tawadlu yang kental. Tetapi hal seperti itu tidak berlaku untuk semua santri, banyak juga santri yang menjadi pendakwah seletah selesai mondok.

Sehingga yang perlu digaris bawahi sekarang adalah bukan perkara santri yang juga harus jadi pendakwah namun substansi dari dak’wah itu sendiri. kita mengingat pelajaran di Madrasah Diniyah bahwa ada beberapa macam dakwah yang dapat dilakukan yaitu dengan bil lisan (seruan) , bil hal (perbuatan), dan bil kalam (tulisan). Saya tidak hendak menguraikan satu persatu karena akan panjang nantinya.
Kembali lagi, dengan arus informasi yang sangat cepat tersebut menjadi refleksi para santri untuk cepat pula harus belajar dan belajar (tholabul ilmi). Tugas santri memang pada dasarnya adalah belajar. Hingga menyemai kembali kebudayaan yang adiluhung dalam islam yaitu belajar tersebut perlu selalu ditingkatkan untuk bekal ketika sudah keluar dari pesantren.

Santri juga harus mampu melihat realita dan fenomena, dimana ia harus mampu mengamati hingga bisa membaur namun tak melebur, artinya santri juga harus mampu membaur di segala segmen masyarakat sambil memegang erat nilai-nilai kesantrianya. Dengan begitu ia tak akan larut dalam fenomena namun bagaimana ia mampu bersyiar di tengah fenomena.

Hingga tak perlu lah kita terlalu kaku menilai model beribadah seseorang, bukan dengan mendikte itu salah atau benar namun bagaimana kita menyampaikan secara perlahan dan damai akan nilai-nlai yang kita anut, baik dengan seruan damai, melalui perbuatan atau tulisan. Sikap open minded untuk belajar dari berbagai penjuru, golongan dan sektor akan menjadikan santri lebih luas menjangkau area syiar nya.
Dengan hadirnya santri di berbagai sektor, baik pendidikan, ekonomi dan budaya tersebut diharapkan dapat membendung arus radikalisme dan intoleansi dan menyebarkan pada pemahaman Islam rahmatan lil alamin sesuai paham Ahlussunah al jama’ah untuk masyarakat luas, terlebih muslim kelas menengah perkotaan yang berjumlah cukup banyak. Sehingga kehausan sentuhan agama di tengah masyarakat urban dapat terobati pada jalan yang semestinya, dimana mayoritas islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang moderat, islam yang wasatha dan mengantarkan pada masyarakat madani (civil society)[]



Wrote by Umi Nurchayati
Mengajar menjadi aktivitas sehari-hari bagi Bapak Muslih Ilyas (60), Ustadz di PP. Al-Munawwir Komplek Q Krapyak, Yogyakarta. Mengajar juga menjadi aktivitas wajib untuk mengajarkan kepada santrinya betapa pentingnya arti sebuah kedisiplinan.
***
KH. Muslihe Ilyas bersama Istri
dok: almunawwirkomplekq.com

Bapak KH. Muslih Ilyas tak hanya dikenal sebagai ustadz yang menjunjung tinggi kedisiplinan, selain aktif mengajar di Komplek Q dan MTs Ali Maksum  beliau juga  aktif di berbagai organisasi regional dan nasional.

Sebutan Pak Muslih sudah tidak asing lagi di telinga santri PP. AlMunawwir khususnya di komplek Q. Bapak kelahiran Kediri, 3 Januari 1958 dengan nama lengkap Muslih Ilyas ini adalah seorang Ustadz di PP. Al-Munawwir Komplek Q, beliau mengajar setiap sore dengan kitab yang dikajinya adalah Minhajul Muslim. Bapak 8 anak ini juga aktif di dunia politik, yaitu pernah menjadi aktivis NU dan DPRD kota Yogyakarta.

Beliau mengawali karir di GP Ansor kota Yogyakarta setelah menamatkan dari bangku kuliahnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Suka). Menurut beliau Yogakarta adalah daerah yang strategis untuk membangun dan meningkatkan karir, mengingat daerahnya yang tak begitu luas, yang mana jumlah provinsi hanya terdiri dari 5 kabupaten dan menurut Pak Muslih bagi siapapun, yang terpenting adalah mau berbuat maka karirnya akan berkembang.

Ada kisah menarik ketika beliau diagkat sebagai sekretaris di GP Ansor. Waktu itu Sekretaris Ansor Drs. Mawardi diangkat menjadi dosen di daerah Kalimantan sehingga sekretaris I kosong, akhirnya beliau disurunh menjadi sekretaris I yang harusnya naik ke sekretaris II terlebih dahulu, beliau tak mau begitu saja menerima jabatan tersebut tanpa melalui mekanisme yang ditentukan. Akhirnya diadakanlah forum untuk memilih sekretaris I GP Ansor Yogyakarta.

Selanjutnya beliau mulai aktif di ranah politik dengan bergabung di partai Persatuan Pembangunan Bangsa (PPP) regional Yogyakarta. Menurutnya partai PPP memiliki beberapa jenis keistimewaan, seperti yang kita ketahui bahwa PPP adalah sebuah partai Islam. Anggota PPP terdiri dari berbagai ormas Islam, ada Muhammadiyah, NU, Syarikat Islam, Tarbiyah Islamiah dll. Sehingga dalam partai PPP persaingan tak hanya dari luar saja (eksternal) melainkan terdapat juga persaingan dari dalam para anggotanya yang terdiri dari berbagai ormas tersebut (intenal).

Di PPP Pak Muslih mengawali karir politiknya dengan menjabat sebagai Wakil Ketua Daerah Kota selama satu periode, sampai dua tahun di masa kepemerintahan Gus Dur, pak Muslih naik jabatan menjadi sekretaris 3 DPR Provinsi yaitu pada masa kepemimpinan Dr. Fauzi yang merupakan anak dari KH. AR. Fachruddin (Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah). Ahirnya sampai tiga kali pergantian kursi kepemimpinan di DPR Provinsi Yogyakarta, Pak Muslih tetap menjadi sekretarisnya.

Saat ini suami dari Ibu Nur Aliyah ini mempunyai misi untuk mencari penerus sekretaris di DPR dari kalangan NU, untuk mewujudkan hal tersebut Pak Muslih sudah menyiapkan beberapa surat rekomendasi dari beberapa tokoh. Menurutnya seperti itulah gambaran di dunia politik, dimana tawar-menawar tak bisa dihindari.

Selain di dunia politik Pak Muslih juga sempat aktif di dunia dakwah, terbukti dengan keikutsertaannya dalam Lembaga Dakwa NU (LDNU) dan lembaga dakwah Tunas Melati (Muhammadiyah), yang mana lembaga ini hanya mengorganisir dari beberapa tutor yang mendaftar, seperti tutor untuk mengaji Al-Qur’an sampai mata pelajaran di sekolah.

Banyak kisah menarik dari perjalanan hidup seorang Muslih Ilyas, pernah suatu ketika sebelum beliau naik jabatan di PPP, pada Lajnah penetapan calon, semua orang berebut untuk mengajukan dirinya, atau dalam istilah politiknya boleh dikatakan seperti perebutan kursi jabatan. Ketika semua orang berambisi masuk tim, yang mana tim terpilih nantinya akan langsung naik ke tingkat Lantab, beliau tetap diam saja tak mempedulikan kekisruhan yang terjadi hingga pada akhirnya dalam sidang pleno malah terpilih dan ditetapkan sebagai DPR dari fraksi PPP bersamaan dengan Ibu Ny. Hj. Ida Fatimah Zainal (Pengasuh PP. Almunawwir Komplek R) dari fraksi PKB.

Sebelum terjun di dunia politik Pak Muslih memang sudah dibekali oleh KH. Ali As’ad, yang mana beliau adalah seorang guru yag penuh dedikasi. Menariknya dari tiga kali berturut-turut menjadi DPR pak Muslih belum pernah berorasi di depan umum dan tidak sepeserpun memakai uang selain uang gaji yang berhak ia dapatkan.


Kisah Selama Nyantri

Momen menjadi santri memang tidak dapat dilupakan bagi sebagian orang, tanpa kecuali seorang Muslih Ilyas. Beliau mengenang ketika mondok selama 15 tahun tanpa dibiayai oleh orang tua. Dimulai dari Nyantri di Lirboyo selama 6 tahun dan dilanjutkan di pondok Krapyak. Suatu ketika sehabis kecelakaan di pondok Lirboyo beliau disuruh sowan menghadap Kyai Mahrus, kemudian oleh Kyai Mahrus disuruh menemuai Kyai Pasuruan yang tak lain adalah mertuanya Ibu Nafis (Pengasuh Komplek Hindun Anisah PP. Ali Maksum) kemudian dititipkan kepada KH. Ali Maksum kala itu.  Dari situlah beliau mengenal Krapyak.

Selama di Krapyak Pak Muslih hidup dengan ikut menumpang sebagai tukang memasak (ikut ndalem). Selama beberapa bulan di Krapyak dengan hanya ikut mondok ia merasa waktunya banyak terbuang, mengingat pengajian hanya dilakukan sore, malam dan pagi hari. Sehingga ia memberanikan diri sowan kepada KH. Ali Maksum untuk sekolah lagi. 

“Meh melbu kelas piro?” tanya Kyai Ali,
“Kelas setunggal tsanawiyah” jawab pak Muslih kala itu. Kemudian Kyai Ali tidak menjawabnya.

Keesokannya ketika Pak Muslih bertemu lagi dengan Kyai Ali,

“wes koe entuk sekolah maneh tapi ora keno melbu kelas siji tsanawiyah”

Setelah berkata seperti itu, Kyai Ali memberikan beberapa tumpukan kitab pada pak Muslih dan menyuruhnya membaca sambil mengatakan dan menganjurkan pak Muslih untuk masuk kelas satu atau kelas dua Aliyah (setingkat SMA). Pak Muslih kala itu merasa mudah duduk di kelas satu karena pelajaran yang dikaji memang pernah dipelajari sebelumnya, mengingat di Lirboyo beliau juga belajar sampai Aliyah.

Akhirnya Pak Muslih berhasil menamatkan Pendidikan SMA nya di Madrasah Aliyah Krapyak dan melanjutkan pendidikannya di IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) setelah rehat sehabis lulus Aliyah dan dirasa banyak membuang-buang waktu jika hanya di Pondok. Akhirnya keputusan untuk kuliah diambil setelah memikirkan banyak pertimbangan. Diantara yang menjadi pertimbangan adalah biaya masuk kuliah yang waktu itu sebesar Rp. 35.000,-

Akhirnya diputuskan pak Muslih untuk pulang ke rumahnya di Kediri. Beliau  memberanikan diri meminta uang pada orang tuanya untuk mebayar kuliah, akan tetapi tidak semudah itu ia memutuskan untuk meminta uang, karena hidupnya memang sudah dibiayai oleh orang tuanya. Sebelumnya Pak Muslih mengatakan pada ibunya bahwa ia bermaksud meminta uang untuk kegiatan. Tanpa dirasa naluri seorang ibu memang sangat kuat. Malamnya Pak Muslih langsung dipanggil menghadap ibunya, dengan kondisi seperti itu ia akhirnya mengakui dengan sebenarnya apa maksud keperluannya meminta uang sebanyak itu. Akhirnya melihat tekad anaknya yang sudah kuat sang ibu memutuskan untuk merundingkan hal tersebut pada kakak-kakak Muslih Ilyas. Setelah dimusyawarahkan sekeluarga akhirnya semuanya ikut membantu membayar biaya pendaftaran masuk sebesar Rp. 35.000 tersebut.


            Masa Kuliah dan Dinamika Kampus

            Selama kuliah Muslih Ilyas termasuk mahasiswa yang mandiri, tak ada kiriman uang saku dari orangtua, semua kebutuhan ia mencari sendiri. Untuk memenuhi kebutuhannya selama kuliah ia memilih untuk bekerja part time yang kala itu ia mendapatkan tawaran dari Kyai Ali As’ad untuk membantunya mengetik.

“cobo ketikno Mukaddimah iki” kata Kyai Ali As’ad
Tanpa berbekal kemampuan mengetik, Muslih Ilyas mengiyakan tawara tersebut, sampai ia kebingungan tanpa sepengetahuan Kyai Ali As’ad. Keesokannya ia ditana Kyai Ali,

“Piye wes entuk piro?, ra entuk-entuk?” tanya Kyai Ali As’ad

Seiring berjalannya waktu dengan kesungguhan dan kerajinan seorang Muslih Ilyas, ia bisa mengetik secara lancar. Sampai muncul target berapa harus mengetik setiap harinya. Menjalani aktvitas seperti itu setiap harinya mengakibatkan ngajinya di pondok keteteran, akhirnya ia memikirkan hal tersebut. Uang yang didapat dari mengetik ini memang mencukupi untuk biaya kuliahnya akan tetapi ia tak bisa ikut pengajian di Pondok, disisi lain timbul keresahan lain yang dipikirkannya, bagaimana ketika ia kembali lagi ke Pondok malah tak bisa kuliah. Pikiran itu menghantui hari-harinya selama di tempat Kyai Ali as’ad, sampai akhirnya ia putuskan untuk kembali ke Krapyak.

Rejeki memang bisa datang dari mana saja, Do’a seorang Muslih Ilyas untuk tetap bisa menyelesaian kuliah dan pondoknya diperlancar. Di pondok ia membantu memasarkan Kamus Almunawwir karangan KH. M Warson Munawwir (Pengasuh PP Almunawwir Komplek Q), sehingga ia mendapatkan komisi dari hasil penjualannya. Terhitung setiap penjualan satu kamus ia mendapatkan keuntungan sebesar 10.000 rupiah. Muslih Ilyas memasarkan kamus Almunawwir di sebaian besar Pondok Pesantren di Jawa Timur, mulai dari Pasuruan, Jombang, Gontor, Tulung Agung sampai Trenggalek. Dengan pendapatan itulah ia memenuhi kebutuhan kuliahnya, penghasilannya kini sisa jika hanya untuk biaya kuliahnya. Akhirnya dari uang itu ia membeli sepeda ontel. Meski dalam kesehariannya ia sering menggunakan sepeda motor milik Kyai Ali Maksum.

Awalnya ia hanya disuruh mengantar Kyai Ali sampai tempat dimana ia dijemput supirnya. Perlu diketahui bahwa Kyai Ali Maksum menjadi DPR di usia yang sangat muda sehingga beliau merasa malu ketika dijemput supirnya di Pondok, oleh Karena itu ia menyuruh Pak Muslih untuk mengantarkannya sampai di tempat dimana dia bertemu dengan supirnya. Karena keseringannya  menjemput dan mengantar Kyai Ali dengan sepeda motor milik Kyai Ali maka ia membawanya sekalian berangkat ke kampus.

Sejak kecil Pak Muslih memang sudah belajar memanfaatkan waktunya sebaik mungkin, ia tak mau membuag-buang banyak waktu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Oleh sebab itu ia selalu menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan dan aktivitas. Menurutnya, usia anak harus dipaksa, tidak bisa hanya mengandalkan kemauan, dengan begitu kebiasaan memaksimalkan waktu dengan sebaik mungkin akan tumbuh.

Disiplin Waktu

Pak Muslih masih sangat mengenang wejangan dari Kyai Ali As’ad :

“Le jangan pernah menyembunyikan identitasmu, dimana saja tampakan identitas sebenarnya. Jika kamu bisa disiplin maka orang lain akan menyesuaikanmu, bukan kamu yang menyesuaikan dengan orang lain”


            Dengan kesungguhannya, pak Muslih memang sangat mengamalkan wejangan-wejangan dari para Guru-gurunya. Terlebih ia selalu merasa tak punya keahlian tertentu yang bisa mendorong karirnya. Sebab itulah ia sangat mengandalkan disiplin, karena disiplin akan mendorong kepercayaan seseorang. Ketika kita sudah mendapatkan kepercayaan dari orang lain maka akan memudahkan berbagai urusan. Pak Muslih mencontohkan, bagaimana ia sangat dipercaya ketika meminta rekomendasi dan tanda tangan orang-orang penting.

            Selain itu, pak Muslih menceritakan bagaimana seorang guru yang sudah ditunggu lama oleh murid-muridnya di kelas dan dengan seenaknya ia datang terlambat. Seperti itu akan berakibat wajar kenapa para murid juga akan menyepelekan disiplin waktu, karena tak lain tokoh yang menjadi panutannya juga tidak bersikap disiplin.

Pernah suatu ketika di hari Jum’at Pak Muslih mengadakan perjalanan dengan seorang tokoh Golkar bernama Pak Joss. Pak Joss adalah seorang Kristian yang taat, melihat Pak Muslih selalu menggunakan Peci ia menyuruh Pak Muslih sholat Jum’at terlebih dahulu.

“Pak Muslih silakan sholat Jum’at dulu” kata Pak Joss,

“jadi gini Pak Joss, kita sebagai umat Islam memang wajib untuk sholat Jum’at akan tetapi ketika dalam perjalanan jauh seperti ini kita diberi toleransi untuk tidak ikut sholat Jum’at” jawab Pak Muslih waktu itu,

“ohh.. tidak apa-apa Pak, Bapak sholat dulu saja nanti kita tunggu di restoran itu” ungkap Pak Joss,

Begitulah buah dari kedisiplinan, orang lain tak terkecuali Pak Joss begitu percaya pada Pak Muslih bahwa dengan Pak Muslih sholat Jum’at tetap akan bisa sampai tempat tujuan di watu yang tepat.

***

REFERENCE
Wawancara yang dilakukan oleh Nila Putri pada 18 Februari 2017.
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah El-Muna Edisi 1 dan diterbitkan kembali oleh website almunawwirkomplekq.com dengan judul Ustadz Muslih Ilyas "Tampakkan Identitas".









Wrote by Umi Nurchayati

[2] Mengharap Ridho   
Dikatakan manusia hanya perlu untuk menerima ketentuan dari-Nya.Setelah menjinakan hawa nafsu lalu berusaha mendekat.
Ridho-Nya menjadi modal utama, Selalu ingin dekat, taqarrub pada Sang Maha Welas,menjadi modal utama untuk siap berada di pegunungan yang amat tinggi,untuk siap berada di padang pasir yang begitu panas menyengat disertai hujan berdebu,untuk siap di belahan bumi manapun,sekaligus siap di titik apapun.
Menjadi survive, begitulah termasuk diantara ciri-ciri bertakwa yang dikatakan dalam Minhajul Abidin yang ditulis setelah karya masterpiecenya Ihya Ulumuddin oleh Imam Al-Ghazali.
Mungkin bagaikan mengikuti arus…
Tapi jangan samakan menggapai Ridho dengan hanya bersimpah dan pasrah tanpa disertai usaha. Berusaha untuk selalu berupaya, mengupayakan yang terbaik dari apa yang bisa dilakukan dalam diri, dan selalu memotivasi diri walau disamping berbagai keterbatasan. Dikatakaan oleh Maslow dalah teori kebutuhannya (a Hierarchy of Needs), seorang bayi pun sudah merasakan kebutuhan motivasi itu, dengan menangis, impuls ke arah pertumbuhan lalu menuju ke arah potensi-potensi manusia.
Motivasi menjadi pembatas untuk tidak menyerah dan menumbuhkan ke arah survive. Motivasi juga membawa pada rasa ingin berjuang dan tidak menyerah.
Sehingga dalam kepasrahan seorang mukmin menjadi selalu tertindak langkah demi langkah, perbuatan demi perbuatan dari usaha terbaik. Itulah langkah yang akan dilalui untuk menuju tawakal.
Tak akan ada yang tahu bentuknya Tawakal seseorang, menjadi penting adalah selalu mengingat bahwa di atas langit masih ada langit.
Dan dalam keterbatasan mata memandang masih ada alam malakut yang menembus batas mata telanjang.
Jadi mana tahu yang seperti apa lebih mendapat Ridho-Nya. 
Wrote by Umi Nurchayati

Karunia Manusia
Disebutkan sebagai Khalifah dimuka bumi, menjadi sosok pilihan hingga malaikat pun bersujud
Tabiatnya menjadi sempurna dengan dikaruniai akal.
Manusia dan Akal, dan Nafsu yang dominan.
Menjadi sering lupa pada akal karena nafsu lebih diikuti,
Mulai mengingat kembali Sang Pencipta dikala kesempitan menghimpit.
Sungguh itulah cobaan
Berbagai macam bentuk cobaan silih berganti menimpa,
disebutkan diantara tiga yaitu harta, tahta dan wanita.
Ujian juga berupa segala hal yang menghalang-halangi untuk lebih baik,
Juga hal-hal yang menyenangkan.
Makan menjadi sangat enak karena nafsu makan,
Bicara menjadi nikmat bertutur pada banyak manusia lain,
hingga ngelantur dan akhirnya ngawur akibat terlalu sering.
Nafsu memang begitu jika dituruti, merasa nikmat namun hakikatnya kosong,
Merasa sudah maksimal memeranginya namun ternyata belum.
Al-Ghazali sang Imam besar itu mengatakan jika nafsu tak dapat dibunuh, tapi bisa dikawal,
nafsu tak akan pernah mati, tapi bisa dijinakan dengan latihan rutin dan terus menerus.
Mengekang segala kenikmatan semu, demi memelihara akal.
Akibat nafsu pula muncul prasangka,
merasa telah berusaha maksimal. Padahal belum
Hingga Tuhan belum memberikan apa yang di mau,
Mungkin karena jiwa yang belum siap.
Takut jadi takabur, jumawa atau sifat tercela lainnya semakin meninggi,
Atau takdir memang berkata lain.

Disisi lain pula..
Bagian 2

Bantul, ditulis pada 30 Desember 2018 

Wrote by Umi Nurchayati


Judul buku (terjm)        : Generation M: Generasi Muda Muslim dan Cara Mereka Membentuk Dunia
Judul Asli                     : Generation M: Young Muslim Changing the World
Pengarang                     : Shelina Janmohamed
Penerjemah                   : Yusa Tripeni
Penerbit                        : Bentang Pustaka
Tahun Terbit                 : 2017
Tebal Halaman             : 375 halaman

Sinopsis Buku

Buku ini menceritakan dan mengulas tentang suatu fenomena perubahan pada generasi muda muslim kini. Ditulis oleh Shelina Janmohammed, Vice President Ogilvy Noor yaitu perusahaan konsultan branding berskala internasional dan yang pertama di dunia. Lewat buku ini Janmohammed menceritakan pengalamannya tentang dunia pemuda muslim yang disebutnya Generasi muda muslim sebagai generasi yang percaya pada iman dan modernitas.
Dalam buku ini Janmohammed juga mengulas latar belakang kemunculan generasi M, semangat generasi M untuk mengubah dunia menjadi lebi baik, memerangi terorisme dan mengampanyekan islam itu damai dan dapat berjalan beriringan dengan dunia modern tanpa kehilangan nilia-nilai keislaman.
Anda akan menemukan banyak istilah baru seperti halal lifestile, halalfood, muslim hipster dll. Buku ini menjadi lebih menarik dengan pemaparan lugas yang dibangun Janmohammed akan fenomena baru ini berkaitan dengan budaya konsumerisme. Buku ini mewakili apa yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang, khususnya di Indonesia dan dunia.

Kelebihan Buku:
-          Sangat menarik karena mengupas fenomena dan budaya terkini
-          Ulasan yang inspiratif
-          Memahami muslim milenials

Kekurangan Buku:
-          Banyak bercerita fenomena, pembaca mungkin akan lelah mengikutinya
-          Banyak istilah baru yang mungkin akan sulit dimengerti orang awam
-          Bukan buku analisis kritis


Wrote by Umi Nurchayati

Sudah lama sejak 28 Juni 2017 lalu, saya dan 25 teman lainnya yang tergabung dalam tim KKN UMY tinggal di Kampung Warmon ini, ya kami diterjunkan di Kampung Warmon, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Papua Barat yang dihuni oleh Suku Kokoda, yaitu salah satu suku muslim asli Papua. Konon penyebarannya ialah melalui kerajaan Tidore di Maluku Selatan. Selain itu Suku Kokoda juga menempati daerah lain yaitu Pulau Siwatori yang berada di Kabupaten Sorong Selatan dan Ruvei yang berada di dekat Bandara Sorong.
Sudah sebulan lamanya aku menyaksikan orang-orang Warmon setiap hari pulang pergi ke hutan, mulai dari anak anak sampai Bapak-bapak dan Mama-mama. Baru setiba di posko belakang dan ngecharge baterai kamera, terdengar teriakan suara Citra, salah satu teman setimku,
“umiii.. ayoo ikut ke hutan”
“kapan cik”
“ayoo sekarang, cepetan banyak ni yg berangkat”
Awalnya enggan sekali diajak ke hutan tapi akhirnya aku ikut juga. Berangkatlah kami bertujuh dan rombongan warga kampung. Ada Alfian, Rani, Bapak Samir ketua RT.02 dan anaknya yaitu Faryal, dkk. Rawa depan rumah langsung kami susuri, belum ada jalan yang terbentuk memang, hanya semak belukar sepanjang pandangan kami. Namum kami terabas saja dan membuat lintasan baru yang akan merusak sedikit semak-semak tersebut dan membentuk jalanan baru. Untung saja kami memakai sepatu boot, kalau tidak berdarah-darah sudah kaki kami ini, banyak sekali ranting-ranting dan dahan-dahan atau apapun, yah.. namanya juga semak belukar. Tapi jangan ditanya anak-anak kecil Kokoda ini, mereka tetap piawai berjalan bahkan lari tanpa alas kaki, padahal ini rawa loh, semak belukar. Hebat kan mereka, anak-anak yang tangguh.
Setelah menyeberangi rawa tibalah kami di jalan yang luas, sepertinya jalan yang baru dibuka. Permukaan tanahnya rata dengan adanya batu-batu kecil dan pasir, lebar jalannya seluas 3 meter, kalau panjangnya ahh.. jangan ditanya, sejauh mata memandang ini hanya terlihat jalanan di tengah pepohonan dan rawa.

Gambar 1: Jalanan panjang yang dilewati rombongan untuk menuju hutan di daerah Disrik Mayamuk, Papua Barat.
Dok: penulis

Matahari sangat terik, situasi masih menunjukan waktu pagi sekitar pukul 10.00 WIT. Pemandangan di jalan ini sungguh indah, adanya tikungan di tengah-tengah rimbuan pohon terlihat begitu elok, tak lupa aku dan Cicik, panggilan akrab Citra sempatkan berfoto, anak-anak Kokoda juga ikutan. Seperti biasa anak Kokoda memang selalu unjuk kebolehan ketika ada kamera, mereka langsung atraksi saoto di air kaca sembari rombongan kami rehat sejenak.

“kakak.. kakakk”
Begitulang mereka memanggil minta difoto, kubidik moment saoto mereka. Byurr.. mereka menyebur dan tertawa. Bahagia memang sederhana, satu hal yang dapat dipelajari dari anak-anak ini ialah dimanapun tempatnya mereka selalu bisa menemukan sisi nyaman, enjoy saja. Setelah istirahat akhirnya kami mulai berjalan lagi setelah Alfiyan dan Faryal mewarnai rambut Ginggi dengan bunga yang menimbulkan warna merah dan kuning jika dikibaskan ke rambut.


Gambar 2: Faryal memulai atraksi saoto di rawa yang berada di pinggir jalan menuju hutan
Dok: penulis

Jalan masih panjang tapi rasanya aku tak terasa lelah, adanya justru semangat untuk cepat masuk hutan. Sudah terbayang dalam pikiranku jika hutan-hutan itu akan seperti hutan hijau yang banyak semak dan tumbuhan liar layaknya yang sering kita lihat di tivi (televisi). Waahhh seru ini pasti, pikirku. Akhirnya rombongan yang terdiri dari Bapak Samir, Kahfi, Fathur, Bagas, Ginggi, Ade, Nafis, Eko, Citra, Rani, Alfiyan, Faryal, aku, dan beberapa anak kecil Kokoda yang saya lupa namanya kerena terlalu banyak anak seumuran mereka di kampung mulai masuk kawasan hutan. Dari luarnya memang terlihat seperti kebun tapi rupanya ini hutan. Bisa dilihat pohonnya yang menjulang tinggi-tinggi, semakin ke dalam semakin banyak medan yang menantang. Mulanya kami di sambut lumpur berwarna cokelat seperti tanah liat yang diairi, kemudian semakin kami jalan lumpur-lumpurnya pun seperti ingin menelan kaki, harus memilih pijakan yang tepat agar tak tersedot lumpur. Bapak Samir berjalan di paling depan mengarahkan kami, kemudian diurutkan dengan Faryal, Alfiyan, Rani dan kami. Aku dan Citra berada di paling belakang. 

Gambar 3: Lumpur dalam hutan yang menghisap kaki.
Dok: penulis
Perjalaan penuh liku untuk masuk hutan, seingatku Ade dan Eko menggunakan parangnya untuk membuka jalan, memotong ranting-ranting liar. Baru yang belakang mengikuti jalan yang sudah dibukanya. Setelah satu jam kami terus melewati semak-semak nan berlumpur, akhirnya rombongan menemukan pucuk sagu atau pohon sagu. Langsung saja penebangan dimulai. Bapak Samir, Kahfi, Fathur, Bagas, Ginggi, Ade, Nafis dan Eko ikut merobohkan pohon sagu. Sekitar setengah jam pohon sagu roboh..
“brukk....”

Kami pun berhasil mendapatkan pucuk sagu atau dalam bahasa Kokoda di sebut Kani, rasa pucuk sagu ini manis dan hampar. Rasanya memang sedikit aneh bagi lidah penyuka rasa pedas dan manis seperti saya ini, tapi yakinlah rasanya benar benar alami. 

Gambar 4: Kahfi bersama dua orang anak Kokoda berpose dengan membawa Kani (pucuk sagu) yang berhasil didapatkan.
Dok: penulis

“wuuuu...woooo”
            Menggayungkan tangannya, Alfiyan mengajari kami cara mengusir nyamuk di hutan. Tak habis pikir memang jika ternyata di hutan ini aja nyamuk barangkali berada, menjadi derita bagi teman-teman saya yang memakai baju lengan pendek. Dengan menyalakan api menggunakan daun-daunan dan ranting-ranting bak anak pramuka, akhirnya asap dari kepulan api itu bisa mengusir nyamuk, walau tak begitu luas menjangkau. Asyik sekali memang mengusir nyamuk sambil beryel yel dan menggerakkan tangan.
“wuuuu.. wooooo... wouuuuuw".
Ohh ya, rencananya rombongan kami juga akan mencari bambu untuk dibuat topeni dan sisir, begitu kata Bapak Samir pemimpin rombongan kali ini. Rupanya tadi anak-anak putra dan Bapak Samir sudah menebang bambu sembari aku, Citra, Alfiyan, dan Faryal asik makan kani. 

Gambar 5: Bapak Samri yang memimpin rombongan perjalanan ke hutan kali ini.
dok: penulis

Akhirnya dalam perjalanan pulang kami membawa bambu, mereka berjalan dengan menggendong bambu di pundaknya. Teman saya Eko tak luput menyia-nyiakan kesempatan itu untuk diambil video. Masih menapaki jalan berlumpur itu, kami pun pulang.
Bahagia sekali rasanya perjalanan ke hutan untuk pertama kali ini, tak hanya tentang melewati rintangan, tak hanya tentang berjalan kaki berkilo kilo meter, tapi tentang bagaimana mensyukuri tanah Papua dan menikmati apa-apa yang ada di depanmu. Kami belajar semua itu dari penduduk Kampung Warmon, adanya sagu, nikmati sagu. adanya lumpur, nikmati saja lumpur itu sampai membuatmu nyaman. Begitulah tanah Papua tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi, begitulah kata Edi Kondologit dalam lirik lagunya.


Wrote by Umi Nurchayati
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Wikipedia

Hasil penelusuran

Halaman

  • Beranda
  • Motivasi
  • KOLOM
  • PUISI
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips & Trik
  • Who Am I

Jejak

  • ►  2024 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2023 (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2022 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (13)
    • ▼  Agustus (1)
      • MENEMPATKAN YANG ASHLAH DAN YANG AFDHOL DALAM KEH...
    • ►  Juli (1)
      • Inilah Tantangan Santri Masa Kini..
    • ►  Mei (1)
      • Jalan Hidup KH. Muslih Ilyas “Menampakkan Identit...
    • ►  April (2)
      • MENJADI TAWAKAL [2] Mengharap Ridho
      • MENJADI TAWAKAL [1] Karunia Manusia
    • ►  Maret (3)
      • RESENSI BUKU #001
      • seulas senyum di sunset merah Kokoda: Mencari Bamb...
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (18)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2015 (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (1)

Instagram

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Popular Posts

  • Rahasia Para Pendo’a
      Sejak kecil anak-anak selalu diajarkan berbagai macam doa, mulai dari doa bangun tidur, mau makan, selesai makan,masuk/keluar kamar mandi,...
  • Memahami Keadilan Gender Dalam Islam #CeritaPendek
    Dok: Komplek Q Esok itu Yana pergi bersama teman-temannya, kepergian mereka bukan untuk jalan-jalan biasa. Mereka menyusuri sudut kota...
  • Menepis Ketakutan Belajar
      Doa belajar رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـ...
  • Mengenal Perempuan
    Jumlah perempuan di Indonesia diprediksi mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Begitu banyak dengan total penduduk yang menempati peringkat 4...
  • Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri
    Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga ...
  • Review Buku: CRIME AND PUNISHMENT - FYODOR DOSTOEVSKY
      dok. pribadi Judul: Crime and Punishment ; Penulis: Fyodor Dostoevsky ; Penerbit: Wordsworth Classics ; Penerjemah dalam B. Inggris: C...
  • Menikah Bukan Untuk Lari dari Masalah
      Kamu lagi pusing ya..? "Yaudah nikah aja" Begitu tiba-tiba seseorang menjawabnya setelah kamu menceritakan problematika hidupmu....

Draft

  • coretan unc
  • Motivasi
  • Opini
  • Puisi
  • sebuah perjalanan
  • stories / notes
  • Tips & Trik

Mengenai Saya

Foto saya
Umi Nurchayati
Blog pribadi Umi Nurchayati @uminurchayatii | uminurchayatiii@gmail.com | "Dalam samudra luas, riak saja bukan"
Lihat profil lengkapku

Copyright © 2019 Bangun Pagi-pagi. Designed by OddThemes & Blogger Templates