Inilah Tantangan Santri Masa Kini..


dok: penulis
Memasuki revolusi industri 4.0 dunia menjadi semakin kompleks dengan segala kesibukannya. Peran teknologi semakin nyata membentuk perilaku manusia. Internet menjadi bagian dari kehidupan keseharian, meminjam istilah ‘internet of things’ kini semua komputer dan smartphone telah saling tersambung satu sama lain sehingga suatu pekerjaan dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan efisien. Seperti teknologi sensor untuk memantau aktifitas pekerja di pabrik sampai pegembangan artificial intelligence untuk memantau kebutuhan-kebutuhan kita, sehingga jangan kaget jika sedang asik berselancar di dunia maya lalu lewatlah iklan fashion yang rupanya juga sedang kita cari. 

Fenomena tersebut menggambarkan bahwa dunia semakin dituntut pada akses kecepatannya, terutama kecepatan informasi. Kini dengan sangat mudahnya suatu peristiwa di tempat A langsung bisa diketahui di tempat B dalam hanya hitungan detik. Begitu pula dalam informasi yang bersifat keilmuan seperti akademik dan ilmu agama. Kini pencarian informasi dan belajar di internet adalah jalan yang paling mudah dan murah. Seorang tak perlu kuliah jurnalisme untuk menjadi jurnalis, untuk eksis membahas politik juga tak perlu kuliah ilmu politik serta untuk dikatakan ustadz juga tak harus nyantri berlama-lama di pondok pesantren atau di institusi islam. Ya, itu semua berkat teknologi internet sehingga informasi apapun dapat dipelajari sendiri secara mandiri dan masif.

Tom Nichols dalam bukunya ‘The Death of Expertise’ (2017) mengungkap suatu fenomena mendesak tentang para ahli yang mulai kehilangan otoritasnya akibat peredaran informasi yang sangat banyak dan begitu cepat, internet tak lagi menjadi sarana demokrasi tetapi justru membutakan orang karena sebagian besar manusia semakin malas membaca, mencari dan mengkonfirmasi sebuah informasi yang didapatkan. Hal ini menjadi celah banyaknya berita bohong (fake news) untuk turut menyerang dan semakin memperkeruh keadaan.

Dalam dunia keilmuan keagamaan fenomena ini banyak digunakan untuk menyerang otoritas ulama, ustadz atau da’i. Beberapa orang hanya belajar dari internet tentang ilmu agama kemudian merasa sudah cukup ilmu sehingga berani berceramah. Tentu saja hal ini sangat berbahaya, karena tanpa keilmuan yang cukup dan matang seorang penceramah justru dapat menyesatkan atau membawa pada pemahaman yang keliru pada para jamaahnya dalam memahami agama. Hal ini menjadi tantangan bagi pegiat pesantren dan santri pada khususnya.

Selama ini Pesantren memang tak hanya sebagai lembaga keagamaan, pesantren terbukti telah menjadi kekuatan utama dalam mengusir penjajahan dari bumi pertiwi dan menghapus praktik kolonialisme, sehingga mengantarkan pada kemerdekaan bangsa. Namun kini pesantren kembali dihadapkan pada peran seperti itu lagi, tetapi dengan bentuk yang berbeda. Jika dahulu suatu bentuk penindasan dan penjajahan begitu terlihat nyata karena berwujud fisik, maka kini kolonialisme tersebut jika boleh dikata telah berubah bentuk menjadi informasi yang begitu banyak dan tidak terbendung. Seperti dikatakan Nichols bahwa informasi yang begitu banyak akan membuat manusia semakin bingung dan menjadikan ia lebih menyukai informasi yang ingin didengarnya saja sehingga menimbulkan sikap apatis dan tertutupnya sikap open minded. Maka penyebaran informasi yang benar amat penting untuk membendung bahaya-bahaya tersebut.

Namun seperti yang saya ingat, seorang Guru kita, ustadz Ja’far pernah mengatakan dalam Madrasah Diniyah kelas Khomis bahwa sebelum kita berbicara atau menyampaikan suatu ilmu, kita dituntut untuk mengetahui ilmunya. Hingga penyampaian ilmu tidak bisa dilakuan setengah-setengah tetapi menyeluruh dan utuh. Hal seperti itulah yang terkadang membuat santri yang sudah mondok bertahun-tahun pun kadang belum berani untuk tampil sebagai pendakwah, apalagi dunia pesantren juga telah menumbuhkan budaya Tawadlu yang kental. Tetapi hal seperti itu tidak berlaku untuk semua santri, banyak juga santri yang menjadi pendakwah seletah selesai mondok.

Sehingga yang perlu digaris bawahi sekarang adalah bukan perkara santri yang juga harus jadi pendakwah namun substansi dari dak’wah itu sendiri. kita mengingat pelajaran di Madrasah Diniyah bahwa ada beberapa macam dakwah yang dapat dilakukan yaitu dengan bil lisan (seruan) , bil hal (perbuatan), dan bil kalam (tulisan). Saya tidak hendak menguraikan satu persatu karena akan panjang nantinya.
Kembali lagi, dengan arus informasi yang sangat cepat tersebut menjadi refleksi para santri untuk cepat pula harus belajar dan belajar (tholabul ilmi). Tugas santri memang pada dasarnya adalah belajar. Hingga menyemai kembali kebudayaan yang adiluhung dalam islam yaitu belajar tersebut perlu selalu ditingkatkan untuk bekal ketika sudah keluar dari pesantren.

Santri juga harus mampu melihat realita dan fenomena, dimana ia harus mampu mengamati hingga bisa membaur namun tak melebur, artinya santri juga harus mampu membaur di segala segmen masyarakat sambil memegang erat nilai-nilai kesantrianya. Dengan begitu ia tak akan larut dalam fenomena namun bagaimana ia mampu bersyiar di tengah fenomena.

Hingga tak perlu lah kita terlalu kaku menilai model beribadah seseorang, bukan dengan mendikte itu salah atau benar namun bagaimana kita menyampaikan secara perlahan dan damai akan nilai-nlai yang kita anut, baik dengan seruan damai, melalui perbuatan atau tulisan. Sikap open minded untuk belajar dari berbagai penjuru, golongan dan sektor akan menjadikan santri lebih luas menjangkau area syiar nya.
Dengan hadirnya santri di berbagai sektor, baik pendidikan, ekonomi dan budaya tersebut diharapkan dapat membendung arus radikalisme dan intoleansi dan menyebarkan pada pemahaman Islam rahmatan lil alamin sesuai paham Ahlussunah al jama’ah untuk masyarakat luas, terlebih muslim kelas menengah perkotaan yang berjumlah cukup banyak. Sehingga kehausan sentuhan agama di tengah masyarakat urban dapat terobati pada jalan yang semestinya, dimana mayoritas islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang moderat, islam yang wasatha dan mengantarkan pada masyarakat madani (civil society)[]



Tags:

Share:

0 komentar