seulas senyum di sunset merah Kokoda: Mencari Bambu dan Pucuk Sagu di Hutan Papua
Sudah
lama sejak 28 Juni 2017 lalu, saya dan 25 teman lainnya yang tergabung dalam
tim KKN UMY tinggal di Kampung Warmon ini, ya kami diterjunkan di Kampung
Warmon, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Papua Barat yang dihuni
oleh Suku Kokoda, yaitu salah satu suku muslim asli Papua. Konon penyebarannya
ialah melalui kerajaan Tidore di Maluku Selatan. Selain itu Suku Kokoda juga
menempati daerah lain yaitu Pulau Siwatori yang berada di Kabupaten Sorong
Selatan dan Ruvei yang berada di dekat Bandara Sorong.
Sudah
sebulan lamanya aku menyaksikan orang-orang Warmon setiap hari pulang pergi ke hutan,
mulai dari anak anak sampai Bapak-bapak dan Mama-mama. Baru setiba di posko
belakang dan ngecharge baterai kamera, terdengar teriakan suara Citra, salah
satu teman setimku,
“umiii..
ayoo ikut ke hutan”
“kapan
cik”
“ayoo
sekarang, cepetan banyak ni yg berangkat”
Awalnya
enggan sekali diajak ke hutan tapi akhirnya aku ikut juga. Berangkatlah kami
bertujuh dan rombongan warga kampung. Ada Alfian, Rani, Bapak Samir ketua RT.02
dan anaknya yaitu Faryal, dkk. Rawa depan rumah langsung kami susuri, belum ada
jalan yang terbentuk memang, hanya semak belukar sepanjang pandangan kami.
Namum kami terabas saja dan membuat lintasan baru yang akan merusak sedikit
semak-semak tersebut dan membentuk jalanan baru. Untung saja kami memakai sepatu
boot, kalau tidak berdarah-darah sudah kaki kami ini, banyak sekali
ranting-ranting dan dahan-dahan atau apapun, yah.. namanya juga semak belukar.
Tapi jangan ditanya anak-anak kecil Kokoda ini, mereka tetap piawai berjalan
bahkan lari tanpa alas kaki, padahal ini rawa loh, semak belukar. Hebat kan
mereka, anak-anak yang tangguh.
Setelah
menyeberangi rawa tibalah kami di jalan yang luas, sepertinya jalan yang baru
dibuka. Permukaan tanahnya rata dengan adanya batu-batu kecil dan pasir, lebar
jalannya seluas 3 meter, kalau panjangnya ahh.. jangan ditanya, sejauh mata
memandang ini hanya terlihat jalanan di tengah pepohonan dan rawa.
Gambar 1: Jalanan panjang yang dilewati rombongan untuk menuju hutan di daerah Disrik Mayamuk, Papua Barat. Dok: penulis |
Matahari sangat terik, situasi masih menunjukan waktu pagi sekitar pukul 10.00 WIT. Pemandangan di jalan ini sungguh indah, adanya tikungan di tengah-tengah rimbuan pohon terlihat begitu elok, tak lupa aku dan Cicik, panggilan akrab Citra sempatkan berfoto, anak-anak Kokoda juga ikutan. Seperti biasa anak Kokoda memang selalu unjuk kebolehan ketika ada kamera, mereka langsung atraksi saoto di air kaca sembari rombongan kami rehat sejenak.
“kakak..
kakakk”
Begitulang
mereka memanggil minta difoto, kubidik moment saoto mereka. Byurr.. mereka
menyebur dan tertawa. Bahagia memang sederhana, satu hal yang dapat dipelajari
dari anak-anak ini ialah dimanapun tempatnya mereka selalu bisa menemukan sisi
nyaman, enjoy saja. Setelah istirahat akhirnya kami mulai berjalan lagi setelah
Alfiyan dan Faryal mewarnai rambut Ginggi dengan bunga yang menimbulkan warna
merah dan kuning jika dikibaskan ke rambut.
Gambar 2: Faryal memulai atraksi saoto di rawa yang berada di pinggir jalan menuju hutan Dok: penulis |
Jalan
masih panjang tapi rasanya aku tak terasa lelah, adanya justru semangat untuk
cepat masuk hutan. Sudah terbayang dalam pikiranku jika hutan-hutan itu akan seperti
hutan hijau yang banyak semak dan tumbuhan liar layaknya yang sering kita lihat
di tivi (televisi). Waahhh seru ini pasti, pikirku. Akhirnya rombongan yang
terdiri dari Bapak Samir, Kahfi, Fathur, Bagas, Ginggi, Ade, Nafis, Eko, Citra,
Rani, Alfiyan, Faryal, aku, dan beberapa anak kecil Kokoda yang saya lupa
namanya kerena terlalu banyak anak seumuran mereka di kampung mulai masuk kawasan
hutan. Dari luarnya memang terlihat seperti kebun tapi rupanya ini hutan. Bisa
dilihat pohonnya yang menjulang tinggi-tinggi, semakin ke dalam semakin banyak
medan yang menantang. Mulanya kami di sambut lumpur berwarna cokelat seperti
tanah liat yang diairi, kemudian semakin kami jalan lumpur-lumpurnya pun seperti
ingin menelan kaki, harus memilih pijakan yang tepat agar tak tersedot lumpur.
Bapak Samir berjalan di paling depan mengarahkan kami, kemudian diurutkan
dengan Faryal, Alfiyan, Rani dan kami. Aku dan Citra berada di paling belakang.
Gambar 3: Lumpur dalam hutan yang menghisap kaki. Dok: penulis |
Perjalaan
penuh liku untuk masuk hutan, seingatku Ade dan Eko menggunakan parangnya untuk
membuka jalan, memotong ranting-ranting liar. Baru yang belakang mengikuti
jalan yang sudah dibukanya. Setelah satu jam kami terus melewati semak-semak
nan berlumpur, akhirnya rombongan menemukan pucuk sagu atau pohon sagu. Langsung
saja penebangan dimulai. Bapak Samir, Kahfi, Fathur, Bagas, Ginggi, Ade, Nafis
dan Eko ikut merobohkan pohon sagu. Sekitar setengah jam pohon sagu roboh..
“brukk....”
Kami
pun berhasil mendapatkan pucuk sagu atau dalam bahasa Kokoda di sebut Kani, rasa
pucuk sagu ini manis dan hampar. Rasanya memang sedikit aneh bagi lidah penyuka
rasa pedas dan manis seperti saya ini, tapi yakinlah rasanya benar benar alami.
Tags:
sebuah perjalanan
2 komentar
Ke kokoda lagi sudah, kitorang su rindu to
BalasHapusKapan kaka ke kokoda lagi. Kami su rindu ini
BalasHapus