• Beranda
  • Motivasi
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Opini
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Puisi
    • Langgam Cinta
    • Pertemuan Bahagia dan Sedih
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips - Trik
  • Who Am I

Bangun Pagi-pagi

 

Tulisan ini sudah ditulis sejak 2019 lalu, namun mengingat kondisi saat ini di tengah iklim persatuan yang sedang diuji, krisis yang membayangi, dan berbagai keputusasaan yang kita alami di tengah pandemi. Penulis merasa perlu untuk menerbitkan kembali, secuplik cerita pengalaman penulis merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung halaman di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sebagai pengingat bahwa persatuan selalu saja menyisakan kebahagiaan untuk semuanya. Selamat membaca..

Hari Sabtu pada Idul Fitri setahun yang lalu, tepatnya hari Kamis (8/6) 2019 lalu, saya beserta rombongan keluarga bersilaturahim ke beberapa sanak saudara yang berada di Desa Carikan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Desa ini terkenal dengan masyarakatnya yang majemuk dan mempunyai keyakinan agama yang berbeda-beda. Rombongan kami adalah saya, Bapak, Adek dan dua sepupu saya yang masih kecil-kecil sekitar 5 dan 7 tahun.

Sekitar pukul 13.00 WIB selepas dhuhur, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan dari Desa Kluwung menuju Desa Carikan di kecamatan Jumo. Kami tiba di rumah pertama yang dituju. Sebenarnya saya memang baru pertama kali kesini, biasanya memang hanya Bapak, Ibu, atau Paman, mengingat sudah keturunan keberapa dari kakak beradik Mbah putri.

Kami sempat makan, dan kedua sepupu saya main di kandang kambing. Maklum saja anak-anak memang senang dengan binatang. Kami melanjutkan ke rumah yang lain. Sebelumnya Ibu memang sudah banyak bercerita jika Mbah putri punya banyak saudara dari berbagai latar belakang, namun perbedaan seperti agama yang dipeluk tidak menjadi penghambat silaturahmi. Setiap kali ada acara di tampat kami, mereka (saudara Mbah putri) selalu turut datang, idul fitri pun juga turut sowan ke Mbah putri.

Tatapi memang baru pertama kali ini aku singgah di Budhe yang merupakan seorang Budha yang taat. Kami disambut sangat ramah dan sudah ditunggu-tunggu. Aku membatin:

“Ohh jadi disini to yang paman ngambil kitab Budha itu”

Sewaktu kecil aku memang pernah menemukan kitab Budha berbahasa Indonesia di rumah Mbah putri, aku pun sempat membacanya, rupanya yang membawa kitab tersebut adalah paman saya. Bukan karena ingin berpindah kepercayaan atau apa, sebagai seorang pemuda waktu itu cukup dimaklumi jika paman mempunyai rasa penasaran yang begitu besar. Begitupun denganku waktu itu.

Kami tetap melakukan sungkeman dan dua sepupu saya asyik makan permen. Setelah minum, makan dan banyak bercerita menjalin kembali silaturahim, kami pun bersiap pamit. Namun sebelum pamit sepupu saya kembali membuat tingkah. Mereka sibuk berebutan permen warna ungu yang akhirnya justru permen di toples kembali dituang dengan yg baru oleh pemilik rumah. Dua sepupu saya itu kegirangan dan mengisi kantong kantong celana mereka dengan banyak permen, sampai dibantu mengisinya juga oleh Budhe sampai penuh permen di kedua kantongnya.

Kami melanjutkan singgah ke rumah yang lain dengan berjalan kaki. Saya menyadari bahwa rupanya banyak juga Wihara di tempat ini. Nampaknya penganut Budha cukup banyak di Desa Carikan. Banyak Masjid dan Wihara berdiri berdampingan memperlihatkan harmoni kerukunan antara pemeluknya.

Akhirnya kami sampai di rumah tujuan,  rumah kedua ini kembali menjadi target serbuan dua sepupu saya karena punya banyak coklat. Dan kami kembali pamitan dengan mengantongi banyak coklat. Hingga sepulang dari rumah yang terakhir saya baru tahu dari Bapak kalau pemilik tumah yg terakhir justru seorang kristen yang taat.Sebelumnya kami diantar oleh Budhe saya yg dari rumah pertama, namanya Budhe Sukri. Beliau pun kini adalah seorang muslim karena menikah dengan laki-laki muslim.

Banyak sekali yang saya dapatkan dari silaturahim kali ini. Terlihat betapa naturalnya Bapak mengajari kami tentang arti toleransi sejak kecil. Obrolan tetap terasa nikmat apalagi dengan sambutan pemilik rumah yang sudah ikut merayakan segala atribut-atribut Idulfitri, dari anak-anaknya yang turut mudik sampai segala macam makanan khas lebaran pun turut mereka masak. Walaupun tak ikut merayakan tapi bagi kami kedua Budhe saya ini seperti benar-benar berniat untuk menyambut keluarganya yang muslim.

Toh walaupun paman saya pernah membaca kitab Budha itu dia tetap menjadi seorang Santri dan sholat 5 waktu. Rupanya memang yang namanya ‘Akidah’ tak akan luntur hanya karena membaca kitab agama lain apalagi hanya karena ikut menjaga gereja ketika Natal. Akidah adalah sesuatu yang Kokoh dari dalam jiwa, hati, fikir dan perbuatan.

“Maka sesungguhnya ia telah brpegang kepada bubul tali yang kokoh” (Q.S. 31:22).

Syaikh Abdul Qadir al Jaelani mengatakan bahwa seorang pengesa memiliki kekuatan tauhid. Tidak ada lagi baginya yang disebut ayah, ibu, keluarga, teman, musuh, kekayaan, jabatan atau ketenangan bersama apapun, melainkan hanya ketergantungan di pintu Allah azza wa jalla dan anugerah-anugerah-Nya.

Wrote by Umi Nurchayati

Jumlah perempuan di Indonesia diprediksi mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Begitu banyak dengan total penduduk yang menempati peringkat 4 di dunia. Ini menjadi peluang besar kiranya bahwa berbagai sisi kehidupan untuk diisi juga oleh perempuan. Kini perempuan juga sudah banyak berada di tampuk kekuasaan, tak sedikit yang menjadi pemimpin baik di perusahaan atau pemerintahan. Di kabinet Jokowi periode ke-2 aja ada 5 menteri perempuan.

Tak ubahnya laki-laki sebagai manusia perempuan juga memiliki kecerdasan, kebijaksanaan dan bestari. Kita kenal zaman dahulu ada Ratu Balqis yang memimpin kerajaan Saba’ sebuah negeri yang makmur di zaman Nabi Sulaiman As, kemudian kita juga mengenal Ibunda Sayyidah Khodijah, istri pertama Nabi Saw yang selalu setia dan menguatkan Nabi dalam proses kenabian dan kerasulannya. Sebagai seorang janda yang kaya raya Sayyidah Khodijah sebelum menikah dengan Muhammad telah menyukai perangai Muhammad yang jujur dalam berdagang hingga akhirnya beliau menjadi suaminya. 

Alkisah ketika Nabi mendapat wahyu pertama di Gua Hira beliau pulang kerumah dalam keadaan yang tak karuan, badannya menggigil terus menerus namun saat itu setelah membukakan pintu Sayyidah Khodijah tanpa bertanya apa-apa dan langsung menyelimuti beliau, sampai Nabi Saw tenang baru Khodijah bertanya. Sungguh betapa senangnya Nabi waktu itu ketika dilayani siti Khotdijah, wanita yang tenang dan penyayang.

Selain Sayyidah Khodijah ada pula istri Nabi yang lain yaitu Sayyidah Aisyah yang meriwayatkan banyak sekali hadist. Sebagai orang yang tinggal dan membersamai Nabi Saw tentu saja Aisyah banyak meriwayatkan hadist. Ada yg menyebutkan bahwa Aisyah meriwayatkan hadist terbanyak setelah Abu Huraira. Namun dalam berbagai kajian, pamor Aisyah selalu kalah dengan Imam Bukhori, Imam Muslim, imam Nasa’i dll. Menurut para cendikiawan hal ini tak lain bisa jadi karena politik lepentingan pengetahuan, wanita menjadi tersubordinasi. Kita juga mengenal guru Imam Syafi’i juga diantaranya perempuan yaitu Sayyidah Nafisah.

Di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh emansipasi wanita yaitu Raden ajeng Kartini. Kartini adalah satu satunya santri putri Kyai Sholeh Darat yang juga Guru KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdhotul Ulama) dua organisasi islam arus utama di Indonesia. 

Waktu itu Kartini meminta izin kepada gurunya Kyai Sholeh Darat untuk memaknai Al-Qur’an memakai bahasa jawa (arab jawa/pegon) hal itu mengingat bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengerti makna Al-Qur’an jika menggunakan bahasa Arab. Cara raden ajeng Kartini ini tentu saja adalah langkah yg revolusioner, sampai beliau juga menuliskan bukunya yang terkenal yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang sesungguhnya kalimat itu diambil dari Al-Qur’an yaitu kata ‘minadhulumati ilanur’ dalam surah al-Baqarah ayat 257.

Itulah sedikit cerita tentang peranan yang luar biasa peranan perempuan-perempuan hebat yang kita kenal. Kini sebagai seorang perempuan yang hidup di zaman revolusi industri yang ke empat atau dikenal era digital 4.0 para perempuan memiliki tantangan-tantangan yang beragam mulai dari urusan rumah tangga, sosial masyarakat, organisasi, kepemimpinan, sampai godaan diskonan belanja online harbolnas. Namun dibalik segala godaan dan iming-iming belanja murah itu perempuan harus selalu siap akan peranannya bersama laki-laki, untuk menjadi wasilah dalam rangka membangun peradaban . 

Hingga akhirnya jumlah perempuan yang lebih dari separonya penduduk di Indonesia ini selain menjadi pendidik yang hukumnya wajib juga harus ada dalam segala bidang, dalam segala titik kehidupan, dengan tak lain tak bukan untuk mencapai semua itu adalah dengan ilmu. Pun laki-laki, perempuan juga harus haus belajar, haus hal-hal baru, dan haus pengetahuan. kembali kita refleksikan perempuan yang mewarisi sikap kelembutan dan pengabdian sayyidah Khodijah, kecerdasan sayyidah Aisyah, sikap kepemimpinan Ratu Balqis, dan sikap pendidik sekaligus pembelajar raden ajeng Kartini, dan masih banyak lagi.[]


Wrote by Umi Nurchayati

Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga Mbah Putri dan Mbah Kakung dari pihak ibu. Dalam keluarga ibu, dulu semasa kecilnya yang biasa lebih banyak menemani anak-anaknya ya bapaknya (kakek saya), karena mbah putri harus mengajar dari pagi sampai sore hari.

Akhirnya yang biasa memasak di rumah ya Mbah Kakung, waktu itu Mbah Kakung kesehariannya adalah bertani. Jadi tentu saja waktunya lebih fleksibel dibanding istrinya yang harus bertugas mengajar di sekolah. Tapi masakan Mbah Kakung memang joss, tak heran jika cucu-cucunya suka sekali makan di tempat simbah. Sedari kecil saya pun biasa ikut mbah karena bapak dan ibu harus ke pasar, dan siang hari ibu baru pulang. Jadilah saya mengikuti Mbah Kakung ke sawah setiap hari.

Sambil menunggu Mbah Putri pulang, biasanya di sore hari Mbah Kakung sudah mulai memasak beberapa jenis sayuran yang dibawanya dari sawah. Mbah Putri memang biasa berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah dan pulang sore hari. Waktu itu belum ada angkot ke daerah sekolah tempatnya mengajar hingga memang harus berjalan kaki.

Yang lebih menakjubkan lagi setiap sore bakda ashar Mbah Putri masih menyempatkan untuk mengajar TPA yang waktu itu diadakan di rumah, tentu saja bersama Mbah Kskung juga. Kalau boleh dibilang, bersama-sama mereka menghidupkan syiar islam di kampung saya berasal, sebuah desa yang cukup jauh dari kabupaten kota Temanggung, Jawa Tengah.

Kalau cerita dari ibu, dulunya kampung kami memang lekat dengan masyarakatnya yang masih dengan kepercayaan nenek moyang atau kepercayaan leluhur. Sampai Mbah Putri tinggal di kampung setelah menikah dengan Mbah Kakung.

Sebenarnya mereka berdua adalah pendatang di kampung, tetapi karena orangtua Mbah Kakung mempunyai tanah disitu akhirnya Mbah Kakung diminta menetap di daerah itu. Sebagai santri ndalem yang sejak kecil membersamai keluarga Kiai, mbah putri pun tergugah untuk mengajarkan ilmu agama. 

Beberapa tahun tinggal di kampung, belum ada masjid berdiri hingga Mbah Kakung memutuskan mewakafkan sepetak tanah dari orangtuanya untuk dibangun langgar, bukan masjid karena memang tidak begitu luas. Akhirnya secara perlahan perjalanan syi'ar terus berkembang.

Seperti warga lainnya, mereka hidup normal-normal saja, setiap harinya mbah Kakung ke sawah, juga Mbah Putri setiap harinya memang mengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang cukup jauh dari rumah, terletak di desa dekat puncak gunung Sindoro. Setiap harinya Mbah Putri berjalan kaki untuk berangkat mengajar, hingga ada angkot yang menuju ke sekolah, Mbah Putri baru naik angkot.

Baca juga; Mbah Putri dan Jualannya

Mereka juga membuka majelis di rumahnya, anak-anak kecil sampai orang dewasa akhirnya ikut ngaji mbah kakung dan mbah putri. saya jadi ingat pertama kali belajar membaca al-Qur’an juga dengan mbah kakung, awalnya menggunakan metode ’Turutan' yg biasa juga mbah kakung gunakan untuk mengajari anak-anak lain.

Menceritakan perjalanan kehidupan mbah kakung, mbah putri dan syiar dakwahnya sepertinya akan menghabiskan berlembar-lembar halaman. Hidupnya dipenuhi dengan berbagai terpaan badai. Saya hanya biasa mendengar cerita dari ibuk, tirakat mbah kakung dan mbah putri tak main-main. Kata ibuk semasa masih muda dan anak-anaknya masih kecil, mbah kakung dan mbah putri hampir tak pernah absen shalat malam di tempat pemakaman para orangtua mereka, setiap hari kesehariannya dihidupkan dengan berbagai amalan.

Beruntungnya mbah kakung memang mewarisi cukup luas tanah dari orangtuanya, sehingga untuk masalah pangan ia bisa berbagi dengan warga sekitar. Sering sekali yang menjadi pengelola sawahnya adalah murid-muridnya para santri di pengajian sore.

Orang-orang kampung biasa menyebutnya 'derep' yaitu membantu memanen hasil pertanian dengan mendapatkan gabah (padi yang belum digiling). Selain dari warga sekitar, orang kampung di tempat sekolah mbah putri juga sering bertandang kerumah simbah. Herannya tak pernah mereka pulang dengan tangan kosong, setelah menceritakan masalah hidupnya pada mbah putri atau mbah kakung, meski persediaan beras telah menipis untuk mereka dan ke-8 anaknya, mbah putri biasanya tetap mengantongi orang yang datang dengan membawakan beras, beberapa juga ditambah pakaian dan jilbab selendang.

Sewaktu kecil saya pun biasa ikut mbah putri sehari-hari ketika mbah putri libur ngajar bisa dari pagi sampai sore di tempat mbah. Dari paginya ke kebon seharian, duduk di depan tungku sambil menunggu mbah kakung dan mbah putri memasak, sampai ikut bulek di pengajian sore hari, TPA sabean sore itu akhirnya dipegang Bulek setelah mbah kakung dan mbah putri semakin memasuki usia senja.

Sampai umur 80 tahun mbah kakung masih dipercaya menjadi imam masjid. Sebuah masjid yang akhirnya dibangun dari tanah wakafnya lagi. Mereka bersua adalah sosok pendatang yang menjadi disegani masyarakat karena kemurahannya juga ilmu-ilmunya, mbah kakung dan mbah putri memang tak pernah memegang uang, tapi untuk urusan pangan banyak warga kampung bisa mendapatkannya ketika main ke rumah.

Tak hanya sering berbagi beras, mbah kakung dan mbah putri memang sudah menyantuni anak-anak yatim dari kalangan kelarga untuk disekolahkan, setidaknya sampai tingkat SLTP beberapa anak menamatkan. Salah satunya yang saya ingat mbah kakung tak melepas anak asuhnya begitu saja setelah keluar dari bangku sekolah, biasanya mbah kakung juga akan mengajarinya drengan ilmu-ilmu pertukangan yang memang sedikit ia kuasai. Salah satu anak asuhnya kini sampai tua adalah seorang tukang yang cukup dikenal di desa, beberapa proyek pembagunan desa juga diamanahkan padanya.

Mendengar kisah perjalanan mereka dari ibu membuat saya berpikir sekaligus malu. Betapa gigihnya perjuangan mbah kakung dan mbah putri, yang tentu saja tidak mudah. Selain kerelaannya berbagi, berbagai hujatan juga datang dari yang tidak menyukainya. Kata Ibu, beberapa tanamannya seringkali diganggu hingga gagal panen, dan masih banyak lagi hal yang tentu tidak bisa saya ceritakan. Yang pasti memori indah kebersamaan dengan mbah putri dan mbah kung masih saya ingat betul, bisa menyaksikan kehidupan mereka dan mengikuti setiap kegiatan mereka menurutku adalah sebuah privilege, yang tiada dua. 

Mbah putri selalu mengajakku ikut simaan Qur’an dimana-mana juga tadarusan setiap bulan ramadhan. Biasanya di sore hari mbah putri akan membuat kolak atau makanan ringan untuk dibawa ke masjid, katanya biar yang ngaji senang dan nggak ngantuk. Kini selepas mbah putri ditimbali Gusti Allah, yang membawa makanan untuk orang-orang ngaji di masjid dilakukan bergilir, nyatanya mbah putri tak minta orang-orang untuk mengikutinya, ia sadar keadaan setiap orang di kampung. Namun lakunya telah menjadi teladan, yang menghidupkan kebaikan-kebaikan lain dari tangan-tangan lain. Sampai umurnya menginjak 70 tahun setelah pensiun dari mengajarnya dan sebelum sakit mbah putri juga masih aktif di berbagai kegiatan.

Melihat kehidupan mbah kakung dan mbah putri saya bisa memetik berbagai keteladan hidup, salah satunya teladan kehidupan berkeluarga. Mbah putri dan mbah kakung selalu berbagi tugas, antara urusan domestik seperti memasak, mencuci, dan urusan publik yaitu mengajar.

Baca juga; Menikahlah Jika Memang Kamu Siap Menikah

Ditengah kesibukan keduanya, anak-anaknya tetap bertumbuh dengan baik. Beberapa langsung dititipkan di pondok ketika sudah mulai menginjak usia remaja. Seperti ibu saya, yang menuturkan dirinya biasa disangoni telur untuk berangkat ke pondok. Waktu itu mbah kakung juga beternak ayam dan kambing. Selain itu bayaran untuk di pondok juga masih bisa memakai bahan-bahan pangan. Selain teladan berumah tangga, kita belajar bahwa sebuah kegiatan yang luhur juga memang seharusnya diawali dan disertai laku mulia. Untuk mengajak orang-orang sholat jum’at saja tak hanya dengan ‘nggendong' dan membersamai warga setiap harinya, membantu yang kesusahan, dan mendengar keluh kesah orang yang datang, tapi juga dengan tirakat doa yang Subhanallah sekali, tak ada henti. 

Kata ibu, dari mbah, kalau punya keinginan itu juga harus ditirakati, diriyadhohi. Sebuah amalan sangat penting untuk kita dapat merayu Gusti Allah hingga hajat-hajat yang dimohon dikabulkan. Begitu terus walau belum dikabulkan.

Kini mbah putri telah pergi dipanggil Gusti Allah sejak 2018 lalu dan disusul mbah kakung pada akhir 2019 lalu. Namun tentu saja banyak jejak ditinggalkan mereka berdua, syiar dakwah yang dihidupkan di pelosok kampung, menjadi penerang yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Semoga meski tak dikenal di Bumi mbah putri dan mbah kakung dikenal di langit.

Tanpa terasa saya menulis ini juga menghabiskan berlembar-lembar tisu. Memori bersama mereka berdua tak bisa membohongi diri untuk terus menitikkan air mata. Kini medan syiar di jaman simbah, jaman orangtua kita, dan jaman kita juga jaman anak cucu kita kelak terus akan berubah. Menjadi tantangan bagi setiap generasi, menemukan upaya terbaik harus terus dilakukan untuk bisa meneladani simbah, bersyiar dengan cinta dan kasih sayang, seperti diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Semoga Mbah Putri dan Mbah Kakung diparingi jembar kubur, selalu mendapat rahmat dateng Gusti Allah. Akhirul kalam saya mohon doanya untuk Mbah Kakung dan Mbah Putri, dua sosok kiai kampung yang tanpa lelah berjuang selama hidupnya, Bapak H. Achmad Kunut dan Ibu Hj. Sarijah, Alfatihah..

Wrote by Umi Nurchayati
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Wikipedia

Hasil penelusuran

Halaman

  • Beranda
  • Motivasi
  • KOLOM
  • PUISI
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips & Trik
  • Who Am I

Jejak

  • ►  2024 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2023 (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2022 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2020 (11)
    • ▼  November (3)
      • Budaya Idul Fitri di Temanggung yang Begitu Asyik
      • Mengenal Perempuan
      • Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (13)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (18)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2015 (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (1)

Instagram

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Popular Posts

  • Rahasia Para Pendo’a
      Sejak kecil anak-anak selalu diajarkan berbagai macam doa, mulai dari doa bangun tidur, mau makan, selesai makan,masuk/keluar kamar mandi,...
  • Memahami Keadilan Gender Dalam Islam #CeritaPendek
    Dok: Komplek Q Esok itu Yana pergi bersama teman-temannya, kepergian mereka bukan untuk jalan-jalan biasa. Mereka menyusuri sudut kota...
  • Menepis Ketakutan Belajar
      Doa belajar رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـ...
  • Mengenal Perempuan
    Jumlah perempuan di Indonesia diprediksi mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Begitu banyak dengan total penduduk yang menempati peringkat 4...
  • Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri
    Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga ...
  • Review Buku: CRIME AND PUNISHMENT - FYODOR DOSTOEVSKY
      dok. pribadi Judul: Crime and Punishment ; Penulis: Fyodor Dostoevsky ; Penerbit: Wordsworth Classics ; Penerjemah dalam B. Inggris: C...
  • Menikah Bukan Untuk Lari dari Masalah
      Kamu lagi pusing ya..? "Yaudah nikah aja" Begitu tiba-tiba seseorang menjawabnya setelah kamu menceritakan problematika hidupmu....

Draft

  • coretan unc
  • Motivasi
  • Opini
  • Puisi
  • sebuah perjalanan
  • stories / notes
  • Tips & Trik

Mengenai Saya

Foto saya
Umi Nurchayati
Blog pribadi Umi Nurchayati @uminurchayatii | uminurchayatiii@gmail.com | "Dalam samudra luas, riak saja bukan"
Lihat profil lengkapku

Copyright © 2019 Bangun Pagi-pagi. Designed by OddThemes & Blogger Templates