Sebuah Kebimbangan dan Usaha Menerka Arah Takdir


 “Jangan bosan berdoa, kalau belum terkabul hari ini maka nanti, kalau belum nanti bisa jadi akan terkabul pada anak cucu. Doa itu terus dan tak ada hentinya mengalir,” begitu kurang lebihnya Ibu pernah berucap.

Semasa muda Ibu juga sempat berganti-ganti profesi. Sebelum mapan bakulan seperti sekarang, semasa mudanya ibu pernah ngelakoni sebagai guru TK cukup lama. Tapi Ibu pensiun dini, ia tak melanjutkan karirnya sebagai pendidik.

Belakangan alasan yang cukup masuk akal aku dengar dari Ibu. Sebagai Ibu muda waktu itu, ia sangatlah idealis, ia ingin mengasuh anaknya secara mandiri, ingin 24 jamnya untuk buah hatinya. Bahkan ia enggan menitipkan ke orangtuanya sendiri.

Itu pilihan yang dibuat Ibu, walhasil sebagai anaknya maka sejak kecil aku benar-benar diasuh secara penuh oleh Ibu, belajar apapun untuk kali pertamanya adalah dari Ibu. Sampai Adikku lahir saat aku baru berumur sekitar 2,5 tahun. Maka sejak saat itu, Ibu sedikit kuwalahan mungkin, aku menjadi semakin sering ikut Mbah Kakung ke sawah dan ikut Mbah Putri mengajar dan keliling kampung-kampung untuk Sima’an Qur’an.

Merenungi ucapan Ibu, aku semakin penasaran pada sejarah. Sejarah adanya aku, sejarah Ibu, sejarah Bapak, Sejarah Mbah-Mbah, sejarah Buyut-buyut, dan seterusnya. Aku kembali menengok ke belakang, mencari tahu darah yang mengalir dalam urat-urat nadiku, ada doa apa yang terselip di dalamnya, ada harapan apa yang dititipkan padanya.

Tentu saja setiap dari kita bisa memutuskan dan merencanakan peta kehidupan kita sendiri, kelak mau seperti apa dan bagaimana menjalani hidup.

Tapi aku sedang berada di dalam sangkar tanda tanya. Aku yang merasa tak cukup berbakat di berbagai bidang, hal-hal yang ku pikir bisa aku kuasai lebih baik lagi, hal-hal yang ku pikir bisa aku jalankan dengan nyaman. Ternyata apa yang aku pikir bisa dan dapat dilakukan, belum tentu membawa pada ketentraman hati.

Bergelut memantapkan pada suatu pekerjaan sebagai jalan pengabdian di dunia tak ubahnya seperti mencari pasangan jiwa yang masih melayang-layang dan saling bersahutan. Cukup bising dengan ditambah rasa manis yang ditawarkan impian, rasa pahit yang dibawa oleh realita, dan rasa hampar karena jiwa kita sendiri yang bingung, atau memang belum melihat mau dimana ia bertengger.

Terkadang suatu hal dirasa cocok, ternyata tak membawa pada perbaikan, dirasa tidak pas tapi membawa pada ketentraman. Kemauan jiwa, akal, dan hati sering susah ditebak. Sebagai satu kesatuan kita mencoba menyatupadukan ketiganya, mencari titik dan orbit yang seimbang pada posisinya masing-masing.

Mungkin inilah yang kini aku sebut dengan menerka arah takdir yang telah diberikan Tuhan untuk kita jalani. Memahaminya dibutuhkan keilmuan dan keluhuran jiwa itu sendiri.

Jelas diri ini masih di tataran bawah, bahkan mengenali jiwa sendiri masih kewalahan. Mencoba menemukannya, aku menapak tilas, melihat sejarah. Aku mulai menelisik lagi dan mendengarkan dengan baik dalam setiap hal yang disampaikan pada acara keluarga.

Aku kini mencari tahu, darah yang dipompa oleh jantung dalam setiap detiknya ini, dititipkan untaian apa, harapan apa sebenarnya. Atau justru, hanya dibiarkan mengalir saja sebagai teman menyesapi penderitaan dunia.

Apapun itu, yang menjadi jelas adalah, bahwa tanpa memandang dilahirkan dalam keluarga yang bagaimanapun, setiap insan yang dilahirkan di Bumi telah dititipkan tempat masing-masing untuk berjuang, dikatakan manusia sebagai pemimpin di Bumi, pasti disertai juga dengan tugas-tugasnya.


*Gamping, 20/1/2022


Share:

0 komentar