Substansi Makna Menutup Aurat dan Berjilbab Menurut Syekh Ash-Shobuni
Polemik
tentang jilbab dan aurat wanita memang tak ada habisnya. Di kala negara-negara
lain sudah sibuk berdebat tentang teknologi nano dan neorosains untuk mengungkap
otak manusia, bahkan juga berlomba-lomba mencari tempat kehidupan lain selain
di bumi, rupanya warga +62 ini masih asyik aja berkutat dengan masalah
aurat wanita.
Hari ini perempuan sudah menjadi lebih rapat dengan jilbabnya, ini tentu suatu kemajuan yang membanggakan. Kalau dilihat secara materialis berarti warga kita sudah makin membaik taraf hidupnya karena bisa beli kain atau baju yang lebih lebar. Lagipula industri fashion muslim yang makin berkembang juga makin leluasa memberikan pilihan kepada para muslimah untuk membeli jilbab seperti yang dikehendaki.
Berbeda dengan zaman dulu, zaman mbah-mbah kita yang jilbabnya masih hanya cukup untuk penutup rambut ala kadarnya, seringkali bagian leher juga masih kelihatan, model jilbab seperti itu sudah biasa pada masanya yang tentu saja tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat waktu itu, aspek ekonomi dan politik rupanya sangat mempengaruhi untuk dapat menggunakan jilbab secara merdeka. Lalu apakah Mbah-mbah kita jaman dulu itu bisa dibilang nggak sempurna menutup aurat karena masih kelihatan lehernya? Disini agaknya kita perlu memperdalam lagi makna berjilbab.
Berkaitan
dengan makna menutup aurat dan jilbab ini, kita bisa melihat perintah ini dalam
Alquran al-karim, surah An-Nur ayat 31;
وَقُلْ
لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ
اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ
اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ
بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ
التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ
الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ
بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا
اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ - ٣١
Dan
katakanlah kepada para perempuan yang beriman,
agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam)
mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua)
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua
kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.
Dari
ayat itu berbagai tafsir telah dikemukakan oleh para Mufasirin, salah satu yang
menarik adalah penjelasan makna jilbab dan manutup aurat dari Syekh Ash-Shabuni
dalam Tafsir Rawaiul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam, salah satu kitab
tafsif yang ditulis beliau dan banyak dikaji di pondok-pondok pesantren
di Indonesia, serta menjadi rujukan para ulama-ulama kontemporer.
Sebelumnya,
Syekh Ali Ash-Shabuni adalah ulama dan ahli tafsir terkemuka dari Suriyah,
beliau adalah putra dari seorang ulama besar Aleppo yaitu Syekh Jamil. Syekh Ash-Shabuni
juga merupakan penulis yang produktif, beliau diangkat sebagai Guru Besar Ilmu
Tafsir di Universitas Ummul Qurra Mekkah. Menurut beberapa cartatan beliau
lahir pada 1 Januari 1930 dan wafat di usia 91 tahun pada 6 Sya’ban 1442 H atau
bertepatan dengan 19 Maret 2021.
Aurat
sendiri memiliki makna yang harus ditutupi. Jenis-jenis aurat berbeda-beda
sesuai kondisi contohnya ketika suami bersama istri maka tidak ada aurat
baginya, namun ketika keluar dari rumah semua bagian tubuh wanita adalah aurat
kecuali wajah dan telapak tangan menurut pendapat jumhur ulama.
Dalam
Rawaiul Bayan, Syekh Ash-Shabuni menguraikan tafsir QS. An-Nuur ayat
30-31 dalam Bab الحجا ب والنرظ atau bisa
dimaknai “Ayat-ayat tentang jilbab dan pandangan”. Seperti metode tafsir
oleh Ash-Shabuni, beliau meletakkan
beberapa ayat yang masih berkaitan dalam satu pembahasan. Dalam penafsiran QS.
An-Nuur ayat 30-31, Syekh Ash-Shabuni merujuk pada ulama-ulama tafsir
sebelumnya. Seperti Imam Al-Qurtubi, Ibn Katsir, Aby Hayyam Andalusia, Al Lusi,
Zamakhsyari, At’Thabari, Ibn Arabi, Al-Maududi, dan Al-Jashass.
Dalam
QS. An-Nuur: 31 yang banyak mengalami perbedaan pendapat adalah pada kalimah
Maa dzoharo minha, sementara ini banyak yang menerjemahkan sebagai ‘kecuali
yang biasa tampak’. Dalam hal ini Syekh Ash-Shabuni seperti para ulama laiinya
yang mengiyakan bahwa yang dikecualikan adalah wajah dan telapak tangan.
Syekh
Ash-Shabuni menyebut dengan perhiasan wanita untuk menunjuk pada apa-apa yang
dimiliki perempuan yang dapat menarik perhatian lawan jenis. Pokok perhiasan
wanita menurut Ash-Shabuni adalah yang dibuat untuk mempercantik diri yang bentuknya
dapat berupa perhiasan atau pakaian.
از ينة: ما تتزين ب المر أة عادة عن الثياب والحلى وغير
ها مما يعبر عنه في ز ما ننا بلفظ (التجميل),
Seperti yang disebut mempercanik diri diantaranya adalah
menghias kuku dengan pacar atau pakaian
yang menarik perhatian. Disini Syekh Ash-Shobuni menekankan hal substansial
tentang menutup perhiasan tadi, yaitu dengan tidak menunjukan, dalam artian
baik memperlihatkan secara langsung atau menutupi dengan sesuatu yang lebih
mengundang perhatian, misalnya dengan pakaian atau hiasan wajah yang berlebihan.
Dalam Rawaiul Bayan Syeikh Al-Shobuni juga
mengutip ahli tafsir, Imam Al-Qurtubi yang menerangkan zinah atau aurat
perempuan tadi.
قال القرطبي في تفسيره: الزينة على قسمين خلقية ومكتسبة
فالخلقية: وجهها فإنه أصل
الزينة وجمال الخلقة ومعنى الحيوانية لما فيه من المنافع وطرق العلوم.
وأما الزينة المكتسبة: فهي
ما تحاول المرأة في تحسين خلقتها به كالثياب والحلي والكحل والخضاب.
Menurut Imam Al-Qurtubi zinah pada wanita memiliki dua
arti, yaitu; kholqiyah dan muktasabah. pertama, Kholqiyah
ialah perhiasan yang bentuknya sudah ditakdirkan atau sudah dijadikan sedemikian
rupa, contohnya adalah wajah yang merupakan pokoknya perhiasan. Kedua, Muktasabah
ialah perhiasan yang diupayakan dan diusahakan, contoh zinah muktasbah adalah
yang merubah sesuatu atau yang bertujuan merubah apa yang sudah ada yaitu
diantaranya seperti celak, pacar kuku, dan pakaian.
Tafsir Imam Al-Qurtubi tentang jilbab ini nampaknya kurang populer di kalangan umat islam, selama ini jilbab hanya dimaknai sebagai penutup aurat saja. Padahal lebih dari itu, rupanya riasan wajah dan pakaian juga dapat menjadi penyebab zinah, tak peduli itu pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita atau yang digunakan pada wanita berjilbab atau tidak.
Walaupun secara syariat kita sudah menutup aurat dengan benar namun menjadi poin penting juga memperhatikan apa yang kita kenakan. Memperhatikan akhlak dalam berpakaian menjadi penting, bahwa selain mencintai kerapian islam juga mencintai kesederhanaan untuk menghindarkan dari sikap sombong dan jumawa.
Wallahu a’lam.
Referensi:
Rawaiul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal Qur’an
0 komentar