• Beranda
  • Motivasi
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Opini
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Puisi
    • Langgam Cinta
    • Pertemuan Bahagia dan Sedih
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips - Trik
  • Who Am I

Bangun Pagi-pagi

 



Di suatu sore akhirnya aku kembali bertemu dengan teman sekamar ketika masih di Krapyak, ia cerita panjang lebar bahwa belum semua santri bisa kembali ke pondok sejak pandemi ini.


Ohh iya, lagi dipersiapkan sistemnya buat menghadapi Covid-19 ini mungkin, ujarku asal tebak. Akhirnya untuk sementara ia kost di dekat kampus karena tengah mengerjakan tugas akhir juga.


Ia pun cerita pengalamannya ngalor ngidul, yang tiba-tiba sebuah pertanyaan mendarat yang entah ditujukan pada siapa karena aku juga merasa tak bisa menjawabnya. Hahha

"Mbak kita ini dikasih ijazah-ijazah nggak sih dari pondok apa aku yang nggak tahu, kemarin tu aku ketemu teman sempat nginep. Anak pondokan juga lagi ngobrol-ngobrol tiba-tiba permisi untuk dzikiran. Aku pernah nginep juga dulu di pondoknya tiap hari mujahadah," celetuknya.


Begitulah pertanyaan yang menyelimuti hatinya, semenjak pandemi dan merasakan hidup di luar pesantren ia merasa kehausan spiritual. Siatuasi ini rasanya juga pernah kualami semenjak boyong dari pondok, memang cukup berat rasanya, hidup jauh dari guru dan jauh dari rutinitas harian di pesantren.


Aku pun bingung bagaimana harus mengomentari celetukannya itu, walhasil aku cuma cerita dari kisah yang pernah kudengar dari mbak-mbak pondok, kebetulan aku memang masuk lebih dulu daripada temanku ini. Bahwa suatu ketika ada seorang santri yang menyetorkn hafalannya pada Bu Nyai, ternyata tidak lancar dan sedikit mendapat pertanyaan-pertanyaan, kebetulan santri ini ternyata setiap harinya berpuasa. Bantinku Subhanallah sekalii, tak sanggup lah kalau aku.


Tanpa disangka justru Bu Nyai dawuh pada santri tersebut untuk menghentikan puasanya, "nek poso ndadekke koe ra lancar ra sah poso sek, wes nyekel Qur'an nomer siji Qur'ane sek," begitulah kira-kira dawuh Ibuk, biasa kami memanggil.


Hal serupa berkali-kali juga dikatakan para ustadz, "kalian itu statusnya sedang belajar, jadi nomor satu ya belajar, sek wajib sinau. Nek poso sunnah yo apek, tapi itu sunnah, yang wajib belajar. Kalau puasamu yang sunnah sampe mengganggu yang wajib yaitu belajar, dadi ora konsen meh sinau maka yang didahulukan yo sing wajib," begitulah kira2 dawuh para ustadz di Krapyak, setidaknya di komplek saya berada waktu itu. Bukan maksudnya belajar lebih bagus daripada puasa, keduanya tentu baik, tapi ini adalah menyangkut skala prioritas. Tentu saja jika bisa melaksanakan keduanya dengan baik itu lebih baik lagi, namun agaknya guru-guru kami paham dengan kondisi kami.😄


Tentu saja semua itu cukup mengagetkan ketika aku menjadi santri baru sekitar 6 tahun lalu, ini benar-benar pengalaman berbeda bagiku, setidaknya berbeda dari tempatku nyantri sebelumnya yang bahkan sampai mewajibkan mujahadah setiap hari.


Di Krapyak tuntutan wajib tahajud, dhuha, puasa senin kamis, dll hampir tidak ada. Aku rasanya seperti tidak di pesantren waktu itu. Tapi lama-lama ya merasa di pesantren karena tetap ada kewajiban ngaji dan ngaji. 


Di Krapyak porsi ngaji pengajian kitab relatif lebih banyak, hal ini berbeda ketika di pondok dulu yang rasanya waktu lebih banyak buat mujahadah. Awalnya aku berpikir mungkin karena pondok Krapyak letaknya di kota dan kebanyakan santrinya mahasiswa jadi agak longgar, dan itu bisa dipahami. 


Tapi ternyata perbedaan kultur itu bukan sepenuhnya disebabkan oleh letaknya Pondok Krapyak yang ada di kota pelajar Yogyakarta saja. Namun berbedaan filosofis dasar para Kiyainya yang mulai kupahami menjelang akhir-akhir masa di Pondok. 


العلم قبل العمل 

  • Ilmu sebelum amal


Begitulah mulai aku paham sedikit demi sedikit, hal itu juga mulai bisa aku internalisasikan dalam diri setelah berdiskusi cukup panjang dengan sesama alumni yang beda komplek, serta membaca buku biografinya Mbah Ali Maksum Allahuyarham, yg ditulis oleh sejarawan Ahmad Athoillah "KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren dan NU." Di buku itu Athoillah banyak menyebutkan kisah-kisah Mbah Ali di berbagai situasi, juga pemikiran-pemikiran beliau, yang bagiku begitu progresif dan maju. Ada sebuah kisah menarik yang hampir mirip dengan kisah santri yang didukani Bu Nyai tadi. 


Suatu hari seorang santri juga melakukan puasa ngrowot, yaitu puasa yang tidak makan nasi dan hanya makan umbi-umbian saja untuk sahur dan buka. Sontak santri tersebut juga didawuhi untuk menyudahi laku tirakat ngerowotnya oleh Mbah Ali. Mbah Ali mengatakan jika zaman sekarang sudah berbeda dari jaman dahulu, teknologi dan pengetahuan terus berkembang jadi santri harus memiliki gizi cukup agar mampu berpikir kedepan dan tidak ketinggalan. Kira-kira begitulah dikisahkan oleh Athoillah, aku sedikit lupa redaksinya karena sudah cukup lama bacanya. 


Ilmu menjadi dasar dan sandaran beramal, العلم قبل العمل begitulah dipegang erat dan menjadi dasar pengajaran di Krapyak. Tak heran jika di pondok ini aku tak menemukan laku tirakat atau ijazah yang dikhususkan, setidaknya begitu yang aku rasakan bersama teman-teman santri lain. 'Atau bisa jadi kami yang tidak mengetahui?'


Sesuatu yang sunnah tak berubah jadi wajib, guru-guru kami mengajarkan memaknai arti ijazah dan tirakat (riyadhoh) dengan lebih luas. "Semua bacaan yang baik, Al-Qur'an, sholawat, dzikir, semuanya bisa jadi wirid asalkan istiqomah diamalkan jangan sampai bolong," begitulah kata guru kami.


"Ohh jadi itu to,pantesan kita tak pernah disuruh baca ini itu berapa kali berapa kali, ya kecuali mujahadah yg malam jum'at atau nariyahan aja itu juga dilakukan berjamaah," temanku menimpali.


"Wahh keren yaa.. Ilmu sebelum amal, santri ki wajibe sinau," ulang temanku lagi.


Begitulah ijazah dari para Kiyai kami di Krapyak, selama menjadi santri memang tugasnya mengisi seluruh waktunya dengan ilmu. Setelah keluar diharapkan siap beramal dan sudah 'isi' begitulah harapan seorang ustadz di akhir pertemuan di kelas terakhir setahun lalu. Ya walaupun ternyata setelah boyong, santri mbeling seperti aku ini tetap masih terseok-seok. Huhuhu


Tulisan ini bukan untuk mengatakan laku tirakat tidak lebih baik. Semua pesantren memiliki coraknya sendiri-sendiri, yang menjadi dasar filosofisnya, membentuk kultur dan budaya pesantren yang berbeda-beda. Inilah yang menjadi unik dan saling melengkapi, mau belajar Qur'an disini, hadist disana, bahasa disana,  semuanya sama-sama untuk beramal makruf, menegakkan agama, dan bi ta'allum.


Wallahu 'Alam


 


Wrote by Umi Nurchayati

Bagi para perempuan yang saat ini sedang memasuki usia remaja akhir dan dewasa awal. Mungkin saat ini kita sedang mencari kesungguhan dalam sebuah hubungan (relationship), terlebih ketika hubungan yang menyangkut dengan masa depan, seperti pasangan hidup nantinya.

Saya berjelajah keliling Indonesia, banyak kejadian mulai hal remeh temeh dan receh sampai yang tidak remeh temeh saya perhatikan. Bagaimana perempuan membangun peranannya dalam masyarakat hampir semunya sama, perempuan tetaplah perempuan yang mempunyai naluri keibuan. Karena naluri inilah, seperti seorang ibu semua perempuan memiliki perasaan yang kuat dan dalam ketika bertemu seseorang yang ia kasihi. Begitu juga dengan laki-laki yang juga mempunyai naluri kebapakan, sama-sama akan memiliki naluri yang kuat untuk mencinta.

Namun dari sekian hal, beban biologis perempuan yaitu melahirkan keturunan membuatnya mempunyai peran yang besar dan dominan. Tak heran jika orang-orang menyebut ibu adalah tempat pertama pendidikan seorang anak, lalu keluarga. Bagaimana tidak, perempuan mengandung selama 9 bulan lebih diiringi rasa mual-mual yang bahkan membuatnya males makan tapi tetap harus makan demi bayi dalam perutnya, lalu melahirkan dalam perjuangan antara hidup dan mati, kemudian menyusui selama hampir dua tahun. Tentu saya itu bukan proses yang singkat, perjalanan cukup panjang yang tak sedikit menimbulkan goncangan pada tubuh dan jiwanya.

Seorang perempuan yang tadinya hidup normal biasa saja bebas melakukan berbagai aktifitas, setelah menikah kini tengah melahirkan seorang bayi mungil nan lucu dengan penuh perjuangan, hal ini membuatnya rela melakukan apapun demi kehidupan sang buah hati.

Itulah diantara fase kehidupan yang dialami sebagian besar perempuan. Tak heran jika setelah dikarunia buah hati, perempuan akan lebih memperioritaskan anaknya. Meski belum sempat mandi dan skincare-an ia akan lebih dulu memandikan dan menjaga anaknya seharian sampai urusan dirinya untuk mandi harus dilakukan cepat kilat sebelum bayinya menangis lagi, ia pun kini tak sempat skincare-an yang njlimet 10 tahapan, mungkin ia meringkasnya menjadi 1 tahap saja.

Kehidupan 24 jamnya ia relakan untuk anak dan keluarganya. Meski ia bekerja di ranah publik atau mengurus pekerjaan domestik rumah tangganya, pikirannya akan selalu terpusat untuk sang anak. Karena kesibukan bekerja ia akan menitipkan pada seorang atau lambaga yang dipercayainya dan rela memompa ASI nya sejak dari subuh sebagai persediaan anaknya selama ditinggal bekerja. Bagi ibu yang karena 24 jam dirumah, ia akan menyediakan semua keperluan anaknya dengan tangan sendiri.

Itulah diantara usaha yang akan ditempuh seorang ibu untuk tumbuh kembang anaknya yang masih sangat belia. Rutinitas yang sudah jadi rasa tanggungjawab dan cinta kasih itu tak jarang membuatnya akan bertanya sebagai seorang diri, sebagai manusia yang utuh jiwa raga, dan alam berpikir, "hidupku ini sebenarnya mau apa?"

Begitulah sedikit gambaran masa depan yang kutangkap dari mengamati, dan sekarang di fase usia ini kita juga mempertanyakan hal yang sama, "hidupku ini mau apa sebenarnya?", dimana selayaknya juga ditanyakan ketika dibuai perasaan mencinta, ketika menjalin hubungan (relationship) dengan kekasih, seseorang yang direncanakan untuk membina masa depan bersama.

Mempunyai kekasih atau calon suami tak hanya akan diisi kesehariannya dengan jalan-jalan dan muter-muter atau sekedar bertanya kabar saja, sebuah sikap harus dimiliki keduanya. Relasi yang baik akan membuat keduanya menjadi lebih baik. Bukan berarti tanpa bentrok, perbedaan pendapat adalah hal wajar. Menjadi keharusan yaitu mengkomunikasikan dengan baik untuk saling paham.

Dalam berinteraksi setiap hari, lama-lama kita akan saling mengenal dan mengetahui kehidupan seperti apa yang diinginkan masing-masing pasangannya. Tak jarang ketika nilai kehidupan (values) yg dimiliki tak sejalan lagi, mereka memilih berpisah.

Ya, semakin hari, semakin dewasa kita memang cenderung memilih orang yang punya nilai sama dalam memandang kehidupan untuk menemani hingga tua dan hingga nanti. Tak jarang menjadi pelik ketika sudah lama menjalin relasi hubungan, sudah tumbuh rasa kasih sayang yang dalam tapi harus berpisah. Bisa jadi karena values keduanya sudah berbeda, atau karena tak kunjung mendapat restu keluarga. Perasaan cinta akhirnya bisa menjadi benci, namun juga bisa masih sayang.

Tak heran kita mendengar kabar seorang yang rela mengakhiri hidupnya karena ditinggal sang kekasih, atau seorang yang rela terus melajang dan mencinta meski tanpa memiliki. Dalam tahap inilah kedewasaan dan seni memahami cinta harus dimiliki.

Sebagai seorang muslim kita mengetahui bahwa cinta paling utama haruslah untuk Sang Maha Cinta Pemilik Cinta (Allah Swt), lalu untuk kekasihNya, Rasulullah Saw baru seorang pasangan menempati urutan-urutan setelah-setelahnya, karena masih ada cinta untuk orangtua yang tak bisa dikalahkan olehmu. Kita harus menempatkan perasaan cinta kita di tempat yang tepat.

Rasa sakit di hati dan nyesek di dada memang tak ada obatnya tapi lupa tetap bisa dihilangkan. Tak jarang seorang kembali bahagia setelah menemukan seorang yang tepat lagi, bisa jadi justru lebih bahagia.

Pada akhirnya seseorang akan bahagia ketika bersama dengan orang yang sama dalam memandang kehidupan. Karena itulah yang akan menjadi modal untuk saling bekerjasama dimasa depan. Kesamaan dalam memandang kehidpan bukan terletak pada hobi, kegemaran atau watak yang sama, melainkan bentuknya bisa berbeda-beda namun menimbulkan kesalingan, saling support, saling bantu, saling mengasihi, dll.

Sebagai perempuan kita telah membayangkan masa depan seperti apa yang memang harus dilaluinya. Menjadi ibu adalah hal yang sangat mulia, tetapi menjadi diri sendiri adalah makna hidupnya. Karena hanya dengan bisa memaknai dirinya sendiri, perempuan juga akan membuat anaknya menemukan makna dirinya.

Aku melihat dan memperhatikan, ibuku adalah orang yang bekerjanya di rumah karena punya warung kelontong kecil-kecilan. Tapi saban minggu atau tiap bulan ia akan meminta izin pada Bapak untuk ikut pengajian, pertemuan ibu-ibu Muslimat, ziarah kubur dengan teman-temannya, atau mengunjungi kerabat dan teman lama. Kupikir ini adalah salah satu upaya untuk Ibu memaknai dirinya, dengan berkumpul bersama teman-temannya sambil bakulan.

Hingga ternyata menemukan makna menjadi diri sendiri harus diusahakan dan dikerjasamakan, tidak melulu mengikuti arus namun juga hanyut dan berlawan. Ibu beruntung selalu mengantogi izin dari Bapak untuk pergi sendiri beberapa saat bahkan sedikit ditambahi uang saku dari Bapak meski Ibu punya duit sendiri, kupikir ini salah satu bentuk sayang dan tanggungjawabnya Bapak. Bapak tetap mendukung Ibuk bepergian dan pulang dengan membawa sedikit jajanan serta rasa kebahagiaan yang kembali baru.

Akhir kata, ternyata selain kewajiban biologisnya untuk melahirkan dan menyusui, menjadi seorang ibu adalah untuk selamanya. Namun ibu tetaplah perempuan, manusia seutuhnya yang juga akan mencari tahu siapa dirinya. Hingga seorang perempuan yang mengenali dirinya, ia akan menemukan makna dirinya. Menggenggamnya sebagai value kehidupan yang tak akan mudah goyah. Ia yakin akan menemukan seseorang yang sama tentang cara memandang kehidupan, seorang yang tepat untuk dijatuhi cintanya untuk saling hidup berkesalingan di masa depan. Jadi sebelum jatuh, alangkah senangnya jika kita menemukan makna diri.
Wrote by Umi Nurchayati
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Wikipedia

Hasil penelusuran

Halaman

  • Beranda
  • Motivasi
  • KOLOM
  • PUISI
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips & Trik
  • Who Am I

Jejak

  • ►  2024 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2023 (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2022 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2021 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ▼  Februari (2)
      • Ilmu Dulu Sebelum Amal
      • Menemukan Makna Diri Sebagai Perempuan
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (13)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (18)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2015 (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (1)

Instagram

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Popular Posts

  • Rahasia Para Pendo’a
      Sejak kecil anak-anak selalu diajarkan berbagai macam doa, mulai dari doa bangun tidur, mau makan, selesai makan,masuk/keluar kamar mandi,...
  • Memahami Keadilan Gender Dalam Islam #CeritaPendek
    Dok: Komplek Q Esok itu Yana pergi bersama teman-temannya, kepergian mereka bukan untuk jalan-jalan biasa. Mereka menyusuri sudut kota...
  • Menepis Ketakutan Belajar
      Doa belajar رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـ...
  • Mengenal Perempuan
    Jumlah perempuan di Indonesia diprediksi mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Begitu banyak dengan total penduduk yang menempati peringkat 4...
  • Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri
    Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga ...
  • Review Buku: CRIME AND PUNISHMENT - FYODOR DOSTOEVSKY
      dok. pribadi Judul: Crime and Punishment ; Penulis: Fyodor Dostoevsky ; Penerbit: Wordsworth Classics ; Penerjemah dalam B. Inggris: C...
  • Menikah Bukan Untuk Lari dari Masalah
      Kamu lagi pusing ya..? "Yaudah nikah aja" Begitu tiba-tiba seseorang menjawabnya setelah kamu menceritakan problematika hidupmu....

Draft

  • coretan unc
  • Motivasi
  • Opini
  • Puisi
  • sebuah perjalanan
  • stories / notes
  • Tips & Trik

Mengenai Saya

Foto saya
Umi Nurchayati
Blog pribadi Umi Nurchayati @uminurchayatii | uminurchayatiii@gmail.com | "Dalam samudra luas, riak saja bukan"
Lihat profil lengkapku

Copyright © 2019 Bangun Pagi-pagi. Designed by OddThemes & Blogger Templates