Islam, Syariah dan Negara
Dikutip secara langsung
dari Buku Islam & Negara Sekular – Menegosiasikan Masa Depan Syariah
Oleh :
Abdullahi Ahmed An-Na’im (Profesor Charles Howard Candler Bidang Hukum di Emory
law school. Atlanta, AS)
Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im Doc: Iaw.emory.edu |
Sebagai sebuah Institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas
yang bisa merasakan, memercayai, atau menindak. Manusia lah yang selalu
bertindak atas nama Negara, menggunakan kekuasaan atau enjalankannya melalui
organ-organnya. Jadi kapanpun manusia membuat keputusan tentang persoalan
kebijakan, mengusulkan atau membuat rancangan undang-undang yang dianggap
mewujudkan prinsip-prinsip islam, hal ini dengan sendirinya mencerminkan
perspektif pribadi manusia itu atas persoalan tersebut, dan sama sekali bukan
perspektif negara sebagai sebuah entitas yang otonom. Lebih dari itu, ketika
usulan kebijakan atau undang-undang itu dibuat atas nama partaipolitik atau
organisasi, posisi-posisi seperti itu juga diambil oleh manusia pemimpin yang
berbicara atau bertindak untuk entitas itu. Benar bahwa sikap spesifik pada
persoalan-persoalan kebijakan dan perundang-undangan bisa dinegosiasikan di
antara aktor-aktor yang kritis, tapi hasilnya tetap saja produk dari penilaian
individual seorang manusia, dan pilihan yang diterima dan dilaksanakan pun
berdasarkan sebuah pandangan disepakati oleh para aktor itu.
Sebagai contoh, keputusan untuk memberi sanksi hukum bagi tindakan
mengonsumsi minuan beralkohol sebagai kjahatan hadd (pidana) yang didefinisikan
oleh syariah sesungguhnya merupakan pandangan pelaku politik individual setelah
menilai semua jenis pertimbangan praktis, dan bahasa yang digunakan dalam
menyusun rancangan undang-undang dan langkah-langkah yang diambil dalam
mewujudkannya juga merupakan hasil keputusan dan pilihan manusia. Maksudnya
persoalan disini adalah bahwa keseluruhan proses formulasi dan implementasi
kebijakan dan perundang undangan publik untuk kepada kesalahan atau kekeliruan
manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa melanggar kehendak
Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persoalan kebijakan dan
perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di
kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti
itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka (hal. 29).
Tags:
coretan unc
0 komentar