Literasi Keuangan Masyarakat Perdesaan



Pada seminggu yang lalu aku pulang ke rumah di kampung halaman tempatku menghabiskan masa kecil, yaitu di sebuah desa sekitar satu jam dari kota Temanggung. Lama memang aku tidak pulang ke rumah, frekuensi kepulanganku ke kampung halaman bisa dihitung jari paling hanya 3 atau empat kali dalam setahun. Maklum sebagai seorang santri di sebuah pesantren di Jogja membuatku sulit untuk mendapatkan ijin apalagi untuk hal-hal yang tidak begitu penting, walaupun cukup sering juga aku main pulang aja.

Kali ini aku tidak dijemput Bapak sehingga harus jalan kaki atau naik ojek. Aku memilih berjalan kaki sambil mengenang masa SMP yang setiap hari harus jalan dengan total sekitar 2km untuk pulang-pergi sekolah. Berjalan satu kilometer rupanya tak cukup membuatku lelah, mungkin karena lama tak berjalan kaki jadi enteng saja rasanya. Sambil kuamati keadaan desaku kini, aku melewati balai desa yang masih sama sebelum kepulanganku setahun kemarin dan juga rumah-rumah penduduk yang masih belum ada perubahan. Masih ada saja rumah berpagar reyot, dan terbesit pertanyaan kemana warga desa ini mengalokasikan dana desa?

Sesampainya di rumah aku disambut Ibu, seperti biasa beliau baru saja pulang dari pasar. kemudian Ibu langsung memulai interogasinya, bertaya semua faktor dalam hidupku tapi hanya sampai di permukaan saja. Seperti biasa ia akan membiarkan anaknya menentukan pilihannya sendiri. tapi tak lupa Ibu selalu saja mendoktrinku dengan berbagai kata-kata super yang sangat mujarab untuk membuatku selalu berjuang. Sampai ibu memulai ceritanya ketika aku bermaksud meminta uang, kata Ibu aku harus irit dan segera dapatkan pekerjaan. Maklum memang aku baru saja diwisuda tanggal 2 Februari lalu, sebagai seorang ‘Fresh Graduate’ aku memang berinisiatif untuk mecari kerja di Jogja karena aku masih harus melanjutkan studi di pesantren.

Kata ibu ekonomi perdesaan lagi ajlok, hasil bumi melimpah tapi tak cukup untuk menyekolahkan anak sehingga harus cari utang sana-sini, bahkan ada beberapa yang sampai sangat kesulitan untuk makan saja. Miris sekali aku mendengarnya, apalagi mendengar lanjutan cerita Ibu bahwa seorang tetangga juga sampai ada yang pergi leluar negeri demi membayar hutang pada rentenir. Katanya, daripada pusing ditagih setiap hari mending kabur saja, anak-anaknya pun ditinggal dan bapaknya juga kerja, padahal punya banyak lahan tapi habis dibabat, entah bagaimana persisnya aku juga kurang tahu, hanya mendengan slentiran dari tetangga-tetangga saja.

Yang kusadari adalah rentenir bermuka koperasi di desa-desa, bermodal tawaran pinjaman tanpa agunan dan selembar izin badan hukum mereka dengan bebasnya berkeliaran di perdesaan. Mereka bak penipu ulung, tawaran kreditnya sangat menggiurkan, bisa dibayar seadanya katanya. Tapi giliran peminjam tak bisa bayar mereka marah-marah.

Masyarakat miskin desa yang tak melek keuangan pun tergiur oleh tawaran yang aji mumpung itu, wajar saja mereka memang tak punya akses untuk pinjam ke lembaga resmi, sangat sulit bagi mereka mendapatkan pinjaman dari perbankan karena agunan-pun tak punya, uang yang ingin dipinjam juga tak banyak, sekitar 500 ribu sampai 1 jutaan. Hingga koperasi-koperasi yang rajin ke desa inilah yang akhirnya menjai solusi bagi mereka. 

Tapi tanpa disadari koperasi yang bergerilya ini tak menunjukan wajah koperasinya sama sekali, ketika si peminjam sudah menyelesaikan pinjamannya mereka akan kembali menawari pinjaman lagi-dan lagi, begitulah seterusnya. Koperasi itu akan menjaga peminjam agar selalu pinjam karena dengan begitu keuantungan akan didapat. Tapi itu hanya berlaku ketika peminjam lancar membayar cicilan, ketika cicilan mandeg mereka akan mulai bengas, sikap yang tadinya bak malaikat penyelamat dengan unggah-ungguh bosonya yang amat tinggi berubah 180 derjat. Sikap lembutnya hilang sudah entah kemana, diganti dengan cacian-cacian pada si miskin yang berhutang, miris sekali jika melihatnya.

Sebagai warga miskin harus bagaimana, mereka terhitung tak punya aset ketika berhadapan dengan dunia perbankan, padahal mereka punya rumah, sawah, dan binatang ternak. Namun jaman sekarang, pengakuan bisa dilakukan oleh saiapa aja, sehingga pengakuan legal berbentuk selembar sertifikat lah yang lebih dipercaya lembaga keuangan. Akan tetapi pengadaan sertifikat tak mampu digapai dengan mudah oleh masyarakat, karena harus berurusan dengan segala kejlimetan dan biaya yang tak bisa dibilang sedikit. Hingga penipu ulung seperti tadi menjadi pilihan. Bahkan bagi rentenir berwajah koperasi ini, yang tak dapat disebut agunan pun disa dijadikan agunan, yaitu seperti akta kelahiran. Ohh apa maksudnya semua ini, yang katanya ada pembagian sertifikat gratis belum menyentuh sampai kampungku.

Akhirnya untuk melunasi utang warga miskin perdesaan hanya punya pilihan menjual tanah yang sepetak, pergi ke luar negeri untuk jadi TKI, atau di rumah saja tapi harus sakit krena jadi pikiran. Di desa yang tak jauh dari ibukota dibanding yang diluar jawa, kok rasanya literasi keuangan yang diagungkan di dunia akademik maupun pemerintahan belum menyentuh masyarakat terdekat, masyarakat desa masih belum mampu memilih lembaga keuangan yang baik. Bagaimana dengan yang sangat jauh dari pusat kota? Apa mungkin mereka lalai sudah melompat kemana-mana tapi yang dekat malah lupa atau lupa semua. Seperi ungkapan gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di sebrang lautan tampak.

Tags:

Share:

0 komentar