PESANTREN: THOLABUL ILMI (Rutinitas Yang Membentuk Budaya Dan Kultur)
Gambar : Salah satu bentuk
pengajian di Pesantren adalah Bandongan, dimana santri hanya mendengarkan penjelasan
Guru (Ustadz) sambil memaknai (mengartikan) kitab kuning
Dok: penulis |
Dunia
sekarang memang sudah mengalami transformasi yang sangat
cepat. Sebagai seorang santri yang juga
belajar di sebuah perguruan tinggi,
saya menjadi sangat merasakan perbedaan dinamika didalam dan diluar pesantren.
Didalam pesantren kita biasa dihadapkan pada pendidikan akhlak yang adiluhung
itu, diluar pesantren kita
mencoba menerapkannya, salah satunya
adalah 'tawadhu'.
Biasanya nilai ‘tawadhu’
ini dipegang erat-erat oleh para santri, bahkan tak jarang mereka sering
menyembunyikan identitas atau pengetahuan dan ilmu-ilmunya ketika situasi
diluar sibuk memperdebatkan suatu hal perihal agama. Ia baru akan tampil ketika diminta atau ketika situasinya memang mencekam. Begitulah,
santri selalu rendah hati, tak jarang
teman teman saya yang hafidhoh-hafidhoh penghapal Qur'an itu tak kelihatan
hafidhohnya jika dilihat sekilas.
Sekarang ini memang sebutan
islami telah sedikit berubah, suatu hal dianggap islami seringkali dilihat dari
penampillan yang kasat mata. Sebagai santri mungkin kami tak kelihatan islami di era post truth sekarang ini. Selain
dari penampilan yang biasa saja, santri juga biasa saja ketika bergaul di luar pesantren.
Mereka yang berada disekeliling
hanya akan menyadari kesantriannya
ketika dihadapkan pada situasi-situasi.
Perbedaannya tentu saja
pada tindakan (action) yang diambil santri itu,
seorang santri selalu mempertimbangkan apa-apa yang dia perbuat, apakah baik
ataukah tidak. Baiknya tidak hanya untuk dirinya saja melainkan juga memikirkan
kebaikan untuk lingkungannya dan orang sekitar. Mereka akan lebih hati-hati baik dalam berbicara atau dalam bertindak, apalagi jika melibatkan orang
banyak.
Prinsip
kehati-hatian dalam berbicara ini yang nampaknya sekarang sudah susah amat
ditemui di jaman ini. Bagaimanapun, sekarang memang jamannya demokrasi,
kebebasan berpendapat sudah dijamin, hak berpendapat juga sudah tak lagi
dikebiri. Ini memang kemajuan demokrasi yang bagus untuk urusan perbaikan
bangsa karena
dengan begitu siapapun bisa memberi kritik pada penguasa agar kedepannya lebih
baik lagi.
Tapi bagaimana jika
kebebasan berpendapat ini
digunakan dalam hal beragama.
Nampaknya malah justru dapat meningkatkan
tensi keagamaan itu sendiri. Kini agama dibawa-bawa di ruang publik dengan
recehnya, apalagi di dunia daring. Begitu
tumbuh subur perdebatam soal agama.
Sekarang kita
dihadapkan pada fenomena yang ‘ngaji bab thoharoh saja belum khatam, sudah
berani mendakwah.’ Tentu saja dengan menyampaikan suatu hal yang tidak disertai
ilmu dapat menimbulkan bahaya yang lebih luas bukan.
Sebenarnya jika kita
lihat, semangat umat islam sekarang untuk belajar agama ini sangat
membahagiakan. Ini berarti ada suatu peningkatan kesadaran umat.
Lihat saja dulu dijaman tahun 90an, disuruh ngaji saja mungkin sering bolos-bolosan.
Pamitnya TPA tapi perginya ke lapangan main
layangan. Namun
sekarang lihatlah, hampir setiap kajian-kajian agama penuh sesak, apalagi jika ustad atau
ustadzahnya banyak punya followers di Instagram.jamaahnya pasti akan banyak pula.
Tentu saja ghiroh
yang muncul ini sangat baik dan membahagiakan. Dan kini ialah tugas para 'ngelmu'
yaitu agamawan dan ulama untuk membimbingnya ke
jalan taqwa. Sehingga sebuah kajian dapat benar-benar mengisi relung hati jamaahnya dengan kedamaian hati, bukan membawa pada kepentingan-kepentingan duniawi yang berunsur politik.
Semangat kajian tinggi
yang dimiliki banyak milenials
sekarang ini rupanya kadang juga berlainan dengan para santri. Lihat saja di pesantren
saya, ketika ada jam ngaji selepas ashar para santri malah sibuk bersiap-siap
pergi keluar pondok,
entah ada yang untuk mencari makan atau urusan urusan lain. Memang mengaji sore
ini tidak wajib tapi jika kalian berada di pesantren dan tidak ikut mengaji, maka
siap-siap
saja dapat ganjarannya. Mungkin itulah yang mengilhami para santri ini memilih
pergi daripada kena ta'zir (hukuman), lha orang ngak wajib juga kok ngaji sore itu, begitulah pikirnya.
Dalam kondisi yang
seperti ini saya pelajari bahwa seorang santri setidaknya telah memiliki identitasnya
dalam beragama. Sehingga ia sudah tidak disibukan lagi dengan pencarian-pencarian
identitas keagamaan. Bagi santri, beragama sudah masuk dalam sendi-sendi
kehidupannya setiap hari dalam aktivitas apapun yang dikerjakannya. Benarlah jika
Gus Dur menyebut “Pesantren sebagai Subkultur.” Bahwa pesantren tak hanya
sebagai tempat belajar agama, namun pesantren juga sebagai pembentuk jati diri
dan kebudayaan.
Kegiatan di
dunia pesantren begitu padat, terlebih setelah dari ba’da maghrib sampai
larut malam pun para santri masih diharuskan mengikuti jadwal ngaji, apalagi
pagi sebelum subuh juga harus bangun untuk bersiap sholat subuh berjamaah.
Sebagai mahasiswa juga di perguruan tinggi sekitar Jogja, saya yakin para santri
ini sangat lelah jika mau dikata. Setelah
beraktivitas seharian diluar, begitu pulang mereka tak bisa langsung merebahkan
diri di kasur empuk, karena kegiatan-kegiatan
di pesantren selalu menunggu.
Kesehariannya
sudah full bruk belajar berbagai literatur klasik dan modern dari berbagai kitab, mulai dari kitab
tauhid, fikih, ahlak, nahwu sharaf, balaghoh dll. Ini saja baru di pesantren
yang tidak begitu ketat kegiatannya, karena diisi kaum-kaum mahasiswa, apalagi
jika di pesantren yang khusus nyantri saja (Salaf)
atau di sebuah boarding school yang menggabungkan sekolah umum dan pesantren. Dapat
saya pastikan 24 jam full
mereka tak lepas dari bela Islam,
yaitu belajar (tholabul ilmi).
***
Tulisan ini pernah dimuat dalam https://islami.co/author/umi-nurchayati/ dengan beberapa penyuntingan.
Tags:
Opini
0 komentar