• Beranda
  • Motivasi
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Opini
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Puisi
    • Langgam Cinta
    • Pertemuan Bahagia dan Sedih
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips - Trik
  • Who Am I

Bangun Pagi-pagi


Beberapa hari ini aku disadarkan oleh banyak hal terkait dunia menulis yang sudah aku beranikan sejak awal kuliah dulu. Baru sekarang aku sadar bahwa selama ini tak patut sekali aku dikatakan sebagai penulis. Seperti Minke dalam ‘Anak Semua Bangsa’ yang diceramahi Kommer, aku merasa ceramah itu juga sebilah pedang yang ditujukan untuk orang sepertiku. Orang yang dengan sok tahu, sangat jauh dari Minke tapi menerima saja dijuluki penulis, padahal sebenarnya hanyalah tak lebih dari pemidato dalam tulisan. Selama ini aku tidaklah menulis, aku hanya berpidato, hanyalah berkhotbah. Dan kata Kommer, seburuk-buruk tulisan adalah tulisan yang berpidato.

Dibanding Minke, bisa dikatakan aku sangatlah telat menyadari kedunguanku. Aku sangat berterima kasih pada Kommer, pada Pram yang telah menulis karya besar itu. Aku diselamatkan dari tinggi hati dan tinggi angan serta menemukan kesadaran akan realita diriku sendiri yang menyedihkan.

Akan tetapi disamping itu aku sadar, tak elok jika aku menyesal telah menulis meski sebenarnya sedikit banyak aku sesalkan dari beberapa tulisanku. Aku mengagumi Pramoedya Ananta Toer, tetapi aku sangat payah, bahkan untuk memahami yang dimaksud Pram butuh waktu lebih dari 5 tahun sejak aku mengenal karya-karyanya. Sedari lama membaca karya Pram, tak kunjung sampai aku pahami maksud-maksudnya.

Selama ini justru aku lebih banyak menunjukan segala kebodohanku daripada kebijaksanaan. Aku menulis setengah-setengah, aku buta akan keseluruhan dan tidak jauh aku hanya berkhotbah. Beberapa tema aku tuliskan selama ini, itu pun hanya sangat sedikit yang aku ketahui. Dan aku sekarang menilai tentang tulisanku, di mana pasti juga bolong-bolong ketika aku buta akan masyarakat, kondisi sosial, realita. Aku sangat bodoh mengira memegang lilin, padahal dalam kegelapan itu aku meraba-raba tak tahu arah. Sungguh tak pantas diriku dalam kondisi seperi itu berani berkhotbah.

Beberapa bulan lalu entah tanpa sengaja atau ini sudah semestinya, bahwa adikku sendiri yang lebih bayak menunjukkan arah ini. Diawali menonton sekuel Game of Throne sampai Lord of Power yang baru-baru ini tayang. Adekku ternyata sudah mengagumi Eropa entah sejak kapan. Di matannya Eropa adalah cahaya, kurang lebih juga seperti Minke yang terpana dengan Eropa pada awalnya. Sementara aku, waktu itu sampai detik ini tak pernah menganggap Eropa unggul dalam keseluruhan. Semua bangsa memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Memiliki kebajikan dan kebiadabannya masing-masing. Seperti kesimpulan Minke dalam ‘Anak Semua Bangsa’.

Jelasnya mengenai sejarah aku masih kurang cakap. Jika seperti itu kondisinya tentulah tulisanku juga tak lebih dari catutan-catutan yang tidak utuh. Bahwa inilah yang kupahami akan apa yang dimaksud oleh para guru, memahami ilmu pengetahuan juga dibutuhkan ilmu pengetahuan. Waktu dulu aku mungkin belum bisa menikmati karya sastra, aku belum bisa mengerti keindahan rentetan peristiwa yang mengacak-acak sampai sanubari dan pikiran. Tak heran jika waktu itu aku tidak suka membaca karya sastra, semata-mata karena aku belum bisa mencerna keindahannya.

Selama ini aku hanya terus menjejali dengan pengetahuan-pengetahuan tapi sesungguhnya belum bisa juga aku mencernanya. Hanya menyuapi mulutku dengan penuh makanan tapi tidak bisa kuteruskan sampai kerongkongan dan masuk ke perut dan menyerap sari-sari nutrisinya. Aku mengira sedang berjalan di jalan kebajikan, ternyata aku hanya berjalan dari kebodohan satu ke kebodohan lainnya. Aku berjalan sampai hari ini dan masih saja bodoh. Aku murung tapi tak pantas juga aku bersedih, manusia memang hanyalah makhluk yang bodoh. Kembali lagi aku teringat kata Kommer bahwa tidak baik pula jika terus meratap, karena akan membuat kita berpandangan pesimis. Seperti dikatakan Pram, siapa yang menatap pada keceriaan saja ia gila, barangsiapa menatap pada kesedihan saja ia sakit. Hidup itu seimbang.

Aku disadarkan dari pandanganku yang pesimis, yang menganggap dunia adalah tempat manusia saling berperang dan penindasan, tak ada keceriaan hanya ada nestapa. Setelah cukup lama aku ratapi kesedihan, atas ketidakutuhan itu, aku hari ini mesti belajar memandang keceriaan.

Dalam mengarungi Tetralogi Pulau Buru Pram, tentulah tak heran kenapa karya ini disebut luar biasa. Dalam damai tersenyumlah Pram memandang anak sebangsanya mengagumi hasil jerih payahnya yang ditulis dengan tinta darah dan bermandikan keringat kebebasan. Keringat itu mengucur pada anak-anak zaman ini, menjadi  penerang dalam kegelapan bandang informasi.



Wrote by Umi Nurchayati

 

Flying around the tree, TMG, 02/15/2023

Dulu sekali saat belum ada perdagangan antar benua, manusia pastilah hidup dengan mengandalkan hasil bumi sekitarnya. Mengkonsumsi apa yang ada dan tak pernah membayangkan selainnya. Mereka hidup damai dengan kecukupan pangan yang disediakan oleh alam, ketika sumber pangan di sekitar habis maka mencari lagi tempat yang penuh kelimpahan. Manusia menjadi nomaden. Selanjutnya, ketika mulai mengenal cocok tanam, daerah tempat tinggal menjadi penting, bisa hidup berkelompok dan lahir pula kebudayaan baru dalam suatu daerah.

Karena memanglah manusia itu makhluk yang berkembang, dahaga keingintahuan tak pernah terselesaikan. Perdagangan antar daerah lalu antar benua dikenal. Orang-orang bisa makan dari hasil bumi daerah lain yang asing. Saling tukar menukar barang dan berkembang pula sistem perdagangan, menentukan alat sebagai nilai tukar dan menjadikannya lebih simple.

Sampai saat ini, hulu dari perdagangan seluruh benua mulai kita terka. Kemudahan memperoleh barang dari daerah lain tak kunjung menjadi pemuas. Tetap kurang sempurna, lalu waktu tunggu dipersingkat. Barangkali barang yang didatangkan dari Amerika bisa disihir sekejap langsung sampai ke Purwokerto. Sebuah sihir yang bisa diterima akal, yang datang dari mesin. 

Berkat sihir yang berkembang, buah dari revolusi industri dua abad lalu itulah sekarang orang-orang mulai gemar membandingkan, lebih mudah  memilih barang yang paling murah, lebih mudah melihat orang lain daripada dirinya sendiri, lebih mudah mendapatkan jawaban, dan lebih mudah mengalihkan pekerjaan pada sihir yang sangat ajaib itu. Hidup menjadi tinggal makan saja serta memutar otak agar sihir itu terus berkembang, meski akhirnya tak mampu lagi dipegangnya karena ia telah menyalak buas. Semua yang dilewati dilahapnya, mulut besarnya adalah modal besar yang siap menerkam yang lebih kecil. Yang kecil dimakan yang besar, yang besar dimakan yang lebih besar, yang lebih besar dimakan yang lebih besar lagi. Tapi tak ada yang paling besar.

Wrote by Umi Nurchayati
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Wikipedia

Hasil penelusuran

Halaman

  • Beranda
  • Motivasi
  • KOLOM
  • PUISI
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips & Trik
  • Who Am I

Jejak

  • ►  2024 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ▼  2023 (2)
    • ▼  Maret (1)
      • Memandang Keceriaan
    • ►  Februari (1)
      • Tak Ada yang Paling Besar
  • ►  2022 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (13)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (18)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2015 (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (1)

Instagram

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Popular Posts

  • Rahasia Para Pendo’a
      Sejak kecil anak-anak selalu diajarkan berbagai macam doa, mulai dari doa bangun tidur, mau makan, selesai makan,masuk/keluar kamar mandi,...
  • Memahami Keadilan Gender Dalam Islam #CeritaPendek
    Dok: Komplek Q Esok itu Yana pergi bersama teman-temannya, kepergian mereka bukan untuk jalan-jalan biasa. Mereka menyusuri sudut kota...
  • Menepis Ketakutan Belajar
      Doa belajar رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـ...
  • Mengenal Perempuan
    Jumlah perempuan di Indonesia diprediksi mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Begitu banyak dengan total penduduk yang menempati peringkat 4...
  • Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri
    Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga ...
  • Review Buku: CRIME AND PUNISHMENT - FYODOR DOSTOEVSKY
      dok. pribadi Judul: Crime and Punishment ; Penulis: Fyodor Dostoevsky ; Penerbit: Wordsworth Classics ; Penerjemah dalam B. Inggris: C...
  • Menikah Bukan Untuk Lari dari Masalah
      Kamu lagi pusing ya..? "Yaudah nikah aja" Begitu tiba-tiba seseorang menjawabnya setelah kamu menceritakan problematika hidupmu....

Draft

  • coretan unc
  • Motivasi
  • Opini
  • Puisi
  • sebuah perjalanan
  • stories / notes
  • Tips & Trik

Mengenai Saya

Foto saya
Umi Nurchayati
Blog pribadi Umi Nurchayati @uminurchayatii | uminurchayatiii@gmail.com | "Dalam samudra luas, riak saja bukan"
Lihat profil lengkapku

Copyright © 2019 Bangun Pagi-pagi. Designed by OddThemes & Blogger Templates