• Beranda
  • Motivasi
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Opini
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Puisi
    • Langgam Cinta
    • Pertemuan Bahagia dan Sedih
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips - Trik
  • Who Am I

Bangun Pagi-pagi



Pada seminggu yang lalu aku pulang ke rumah di kampung halaman tempatku menghabiskan masa kecil, yaitu di sebuah desa sekitar satu jam dari kota Temanggung. Lama memang aku tidak pulang ke rumah, frekuensi kepulanganku ke kampung halaman bisa dihitung jari paling hanya 3 atau empat kali dalam setahun. Maklum sebagai seorang santri di sebuah pesantren di Jogja membuatku sulit untuk mendapatkan ijin apalagi untuk hal-hal yang tidak begitu penting, walaupun cukup sering juga aku main pulang aja.

Kali ini aku tidak dijemput Bapak sehingga harus jalan kaki atau naik ojek. Aku memilih berjalan kaki sambil mengenang masa SMP yang setiap hari harus jalan dengan total sekitar 2km untuk pulang-pergi sekolah. Berjalan satu kilometer rupanya tak cukup membuatku lelah, mungkin karena lama tak berjalan kaki jadi enteng saja rasanya. Sambil kuamati keadaan desaku kini, aku melewati balai desa yang masih sama sebelum kepulanganku setahun kemarin dan juga rumah-rumah penduduk yang masih belum ada perubahan. Masih ada saja rumah berpagar reyot, dan terbesit pertanyaan kemana warga desa ini mengalokasikan dana desa?

Sesampainya di rumah aku disambut Ibu, seperti biasa beliau baru saja pulang dari pasar. kemudian Ibu langsung memulai interogasinya, bertaya semua faktor dalam hidupku tapi hanya sampai di permukaan saja. Seperti biasa ia akan membiarkan anaknya menentukan pilihannya sendiri. tapi tak lupa Ibu selalu saja mendoktrinku dengan berbagai kata-kata super yang sangat mujarab untuk membuatku selalu berjuang. Sampai ibu memulai ceritanya ketika aku bermaksud meminta uang, kata Ibu aku harus irit dan segera dapatkan pekerjaan. Maklum memang aku baru saja diwisuda tanggal 2 Februari lalu, sebagai seorang ‘Fresh Graduate’ aku memang berinisiatif untuk mecari kerja di Jogja karena aku masih harus melanjutkan studi di pesantren.

Kata ibu ekonomi perdesaan lagi ajlok, hasil bumi melimpah tapi tak cukup untuk menyekolahkan anak sehingga harus cari utang sana-sini, bahkan ada beberapa yang sampai sangat kesulitan untuk makan saja. Miris sekali aku mendengarnya, apalagi mendengar lanjutan cerita Ibu bahwa seorang tetangga juga sampai ada yang pergi leluar negeri demi membayar hutang pada rentenir. Katanya, daripada pusing ditagih setiap hari mending kabur saja, anak-anaknya pun ditinggal dan bapaknya juga kerja, padahal punya banyak lahan tapi habis dibabat, entah bagaimana persisnya aku juga kurang tahu, hanya mendengan slentiran dari tetangga-tetangga saja.

Yang kusadari adalah rentenir bermuka koperasi di desa-desa, bermodal tawaran pinjaman tanpa agunan dan selembar izin badan hukum mereka dengan bebasnya berkeliaran di perdesaan. Mereka bak penipu ulung, tawaran kreditnya sangat menggiurkan, bisa dibayar seadanya katanya. Tapi giliran peminjam tak bisa bayar mereka marah-marah.

Masyarakat miskin desa yang tak melek keuangan pun tergiur oleh tawaran yang aji mumpung itu, wajar saja mereka memang tak punya akses untuk pinjam ke lembaga resmi, sangat sulit bagi mereka mendapatkan pinjaman dari perbankan karena agunan-pun tak punya, uang yang ingin dipinjam juga tak banyak, sekitar 500 ribu sampai 1 jutaan. Hingga koperasi-koperasi yang rajin ke desa inilah yang akhirnya menjai solusi bagi mereka. 

Tapi tanpa disadari koperasi yang bergerilya ini tak menunjukan wajah koperasinya sama sekali, ketika si peminjam sudah menyelesaikan pinjamannya mereka akan kembali menawari pinjaman lagi-dan lagi, begitulah seterusnya. Koperasi itu akan menjaga peminjam agar selalu pinjam karena dengan begitu keuantungan akan didapat. Tapi itu hanya berlaku ketika peminjam lancar membayar cicilan, ketika cicilan mandeg mereka akan mulai bengas, sikap yang tadinya bak malaikat penyelamat dengan unggah-ungguh bosonya yang amat tinggi berubah 180 derjat. Sikap lembutnya hilang sudah entah kemana, diganti dengan cacian-cacian pada si miskin yang berhutang, miris sekali jika melihatnya.

Sebagai warga miskin harus bagaimana, mereka terhitung tak punya aset ketika berhadapan dengan dunia perbankan, padahal mereka punya rumah, sawah, dan binatang ternak. Namun jaman sekarang, pengakuan bisa dilakukan oleh saiapa aja, sehingga pengakuan legal berbentuk selembar sertifikat lah yang lebih dipercaya lembaga keuangan. Akan tetapi pengadaan sertifikat tak mampu digapai dengan mudah oleh masyarakat, karena harus berurusan dengan segala kejlimetan dan biaya yang tak bisa dibilang sedikit. Hingga penipu ulung seperti tadi menjadi pilihan. Bahkan bagi rentenir berwajah koperasi ini, yang tak dapat disebut agunan pun disa dijadikan agunan, yaitu seperti akta kelahiran. Ohh apa maksudnya semua ini, yang katanya ada pembagian sertifikat gratis belum menyentuh sampai kampungku.

Akhirnya untuk melunasi utang warga miskin perdesaan hanya punya pilihan menjual tanah yang sepetak, pergi ke luar negeri untuk jadi TKI, atau di rumah saja tapi harus sakit krena jadi pikiran. Di desa yang tak jauh dari ibukota dibanding yang diluar jawa, kok rasanya literasi keuangan yang diagungkan di dunia akademik maupun pemerintahan belum menyentuh masyarakat terdekat, masyarakat desa masih belum mampu memilih lembaga keuangan yang baik. Bagaimana dengan yang sangat jauh dari pusat kota? Apa mungkin mereka lalai sudah melompat kemana-mana tapi yang dekat malah lupa atau lupa semua. Seperi ungkapan gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di sebrang lautan tampak.

Wrote by Umi Nurchayati
Dikutip secara langsung dari Buku Islam & Negara Sekular – Menegosiasikan Masa Depan Syariah

Oleh : Abdullahi Ahmed An-Na’im (Profesor Charles Howard Candler Bidang Hukum di Emory law school. Atlanta, AS)
Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im
Doc: Iaw.emory.edu
Sebagai sebuah Institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan, memercayai, atau menindak. Manusia lah yang selalu bertindak atas nama Negara, menggunakan kekuasaan atau enjalankannya melalui organ-organnya. Jadi kapanpun manusia membuat keputusan tentang persoalan kebijakan, mengusulkan atau membuat rancangan undang-undang yang dianggap mewujudkan prinsip-prinsip islam, hal ini dengan sendirinya mencerminkan perspektif pribadi manusia itu atas persoalan tersebut, dan sama sekali bukan perspektif negara sebagai sebuah entitas yang otonom. Lebih dari itu, ketika usulan kebijakan atau undang-undang itu dibuat atas nama partaipolitik atau organisasi, posisi-posisi seperti itu juga diambil oleh manusia pemimpin yang berbicara atau bertindak untuk entitas itu. Benar bahwa sikap spesifik pada persoalan-persoalan kebijakan dan perundang-undangan bisa dinegosiasikan di antara aktor-aktor yang kritis, tapi hasilnya tetap saja produk dari penilaian individual seorang manusia, dan pilihan yang diterima dan dilaksanakan pun berdasarkan sebuah pandangan disepakati oleh para aktor itu.

Sebagai contoh, keputusan untuk memberi sanksi hukum bagi tindakan mengonsumsi minuan beralkohol sebagai kjahatan hadd (pidana) yang didefinisikan oleh syariah sesungguhnya merupakan pandangan pelaku politik individual setelah menilai semua jenis pertimbangan praktis, dan bahasa yang digunakan dalam menyusun rancangan undang-undang dan langkah-langkah yang diambil dalam mewujudkannya juga merupakan hasil keputusan dan pilihan manusia. Maksudnya persoalan disini adalah bahwa keseluruhan proses formulasi dan implementasi kebijakan dan perundang undangan publik untuk kepada kesalahan atau kekeliruan manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa melanggar kehendak Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persoalan kebijakan dan perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka (hal. 29). 

Wrote by Umi Nurchayati
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Wikipedia

Hasil penelusuran

Halaman

  • Beranda
  • Motivasi
  • KOLOM
  • PUISI
  • Sebuah Perjalanan
  • Stories / Notes
  • Tips & Trik
  • Who Am I

Jejak

  • ►  2024 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2023 (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2022 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (13)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ▼  Februari (2)
      • Literasi Keuangan Masyarakat Perdesaan
      • Islam, Syariah dan Negara
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (18)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2015 (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (1)

Instagram

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Popular Posts

  • Rahasia Para Pendo’a
      Sejak kecil anak-anak selalu diajarkan berbagai macam doa, mulai dari doa bangun tidur, mau makan, selesai makan,masuk/keluar kamar mandi,...
  • Memahami Keadilan Gender Dalam Islam #CeritaPendek
    Dok: Komplek Q Esok itu Yana pergi bersama teman-temannya, kepergian mereka bukan untuk jalan-jalan biasa. Mereka menyusuri sudut kota...
  • Menepis Ketakutan Belajar
      Doa belajar رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـ...
  • Mengenal Perempuan
    Jumlah perempuan di Indonesia diprediksi mencapai kurang lebih 200 juta jiwa. Begitu banyak dengan total penduduk yang menempati peringkat 4...
  • Bersyi'ar dengan Cinta ala Mbah Kakung dan Mbah Putri
    Setelah beberapa hari lalu mbah terakhir saya, Mbah Putri dari pihak Bapak kapundhut dhateng Gusti Allah, saya jadi ingat Mbah Kakung juga ...
  • Review Buku: CRIME AND PUNISHMENT - FYODOR DOSTOEVSKY
      dok. pribadi Judul: Crime and Punishment ; Penulis: Fyodor Dostoevsky ; Penerbit: Wordsworth Classics ; Penerjemah dalam B. Inggris: C...
  • Menikah Bukan Untuk Lari dari Masalah
      Kamu lagi pusing ya..? "Yaudah nikah aja" Begitu tiba-tiba seseorang menjawabnya setelah kamu menceritakan problematika hidupmu....

Draft

  • coretan unc
  • Motivasi
  • Opini
  • Puisi
  • sebuah perjalanan
  • stories / notes
  • Tips & Trik

Mengenai Saya

Foto saya
Umi Nurchayati
Blog pribadi Umi Nurchayati @uminurchayatii | uminurchayatiii@gmail.com | "Dalam samudra luas, riak saja bukan"
Lihat profil lengkapku

Copyright © 2019 Bangun Pagi-pagi. Designed by OddThemes & Blogger Templates