a Story for the Real of Journey: Perjalanan Menuju Ujung Timur Indonesia
credit: Bus Kampus UMY yang mengantar rombongan sampai di pelabuhan Tanjung Perak
Perjalanan
menuju Kokoda bukan masalah seberapa jauh, tapi semangatlah yang tetap menuntun
kami untuk betah berlama-lama di kapal terombang ambing ditengah lautan selama
5 hari. Tepat sepuluh bulan yang lalu di hari Minggu, 16 Juli 2017 selepas Isya rombongan kami berangkat menuju kota Surabaya. Saya masih ingat betul waktu itu kami diantar bus dari kampus. tentu saja kami telah menyiapkan segala keperluan jauh-jauh hari bahkan berbulan bulan sebelumnya. Mulai dari danusan setiap minggu, ngumpulin donasi dan masih banyak lagi. Hingga malam itu kami benar-benar akan berangkat. Rasanya semua yang sudah kami lakukan terbayarkan.
Namun semua itu belum lah ada apa-apa, kami sadari semua ini masih sebuah permulaan.. perjuangan tetap berlanjut, banyak hal menunggu di depan kami dan inilah cerita kami, Tim KKN Mandiri Mahardika Bakti Nusantara #2 - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2017 di Tanah Papua...
***
Dari Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, kapal Ceremai mulai berangkat. Dengan diiringi dan diantar para pejuang pendahulu yang kami sebut MBN tua, bahkan perpisahan dengan mereka masih kami ingat betul. Mulai bermalam di pelabuhan tanjung Perak sampai makan bersama dengan para pejuang pendahulu nan super ini. Malam itu (18 Juli 2017) para pendahulu kami pergi yang diiringi deru air mata terharu, mbak Intan, mbak Novita, mbak Riana mbak Diba, mbak Amor, mas Sukma, mas Damas, mas Akbar, mas Imam, dll tak hentinya menyemangati kami di penghujung jalan pemberangtan
Namun semua itu belum lah ada apa-apa, kami sadari semua ini masih sebuah permulaan.. perjuangan tetap berlanjut, banyak hal menunggu di depan kami dan inilah cerita kami, Tim KKN Mandiri Mahardika Bakti Nusantara #2 - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2017 di Tanah Papua...
***
Dari Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, kapal Ceremai mulai berangkat. Dengan diiringi dan diantar para pejuang pendahulu yang kami sebut MBN tua, bahkan perpisahan dengan mereka masih kami ingat betul. Mulai bermalam di pelabuhan tanjung Perak sampai makan bersama dengan para pejuang pendahulu nan super ini. Malam itu (18 Juli 2017) para pendahulu kami pergi yang diiringi deru air mata terharu, mbak Intan, mbak Novita, mbak Riana mbak Diba, mbak Amor, mas Sukma, mas Damas, mas Akbar, mas Imam, dll tak hentinya menyemangati kami di penghujung jalan pemberangtan
Kapal mulai
meninggalkan pelabuhan, ombak mulai menderu setelah beberapa menit kapal
Ceremai ini berlalu. Perjalanan akan segera dimulia. Sejak 6 bulan yang lalu
kami biasa menyebutnya perjalanan kemanusiaan. Bukan tanpa sebab sebutan itu
kami gantungkan. Setelah lama berproses mulai dari seleksi di semester sebelumnya,
kami langsung bertransformasi sebagai sebuah tim KKN Mandiri. Tim yang terdiri dari 25 mahasiswa ini memiliki
latar belakang yang berbeda-beda dan dari berbagai jurusan di UMY kecuali
fakultas FKIK karena memang mereka memiliki program sendiri untuk pengabdian.
Jika aku ingat
bagaimana memasuki kapal itu tak semua seperti kendaraan darat, perlu
perjuangan ekstra. Bagaimana tidak disebut perjuangan ekstra jika saat naik pun
dipenuhi oleh teriakan dari berbagai penjuru, termasuk teriakan para potter
yang banyak menawarkan jasa angkut barang sampai kapal. Bahkan untuk mendapatkan tempat duduk pun
harus berebutan dan bertarung dengan keramaian yang amat sangat.
Kapal Ceremai
yang rombonganku tumpangi ini sebenarnya sudah berlabuh di Tanjung Perak
terlebih dahulu sebelum akhirnya ke Surabaya dan mengangkat penumpang lagi.
Jadi tak mengherankan jika jumlah penumpangnya sudah banyak.
Tidur, makan,
tidur, makan. Seperti itulah kegiatan selama empat hari di kapal. Sangat
membosankan memang, sesekali kita menengok keluar di dek kapal untuk menikmati
udara segar dan sepoi angin diatas kapal. Menjadi momen indah di kapal ketika
teman-teman main gitar di dek kapal dan para pengunjung lain ikut menikmatinya
bahkan sampai menyanyi bersama.
Hari ke-3 di
kapal tibalah di Pelabuhan Bau-Bau, Sulawesi Selatan. Disini penumpang
bertambah cukup banyak sampai kapal ini penuh. Seperti biasa ketika transit,
kami harus menjaga barang-barang bawaan kami, suasna riuh dan rame yang amat
dan teriakan dimana-mana membuat penumpang harus was-was dan jangan teledor.
Malam pun
datang, aku menginjakan kaki keluar setelah seharian di dalam kapal. Kuhampiri
teman-eman laki-laki yang sedang bernyanyi-nyanyi sambil bermain gitar. Suasana
di luar ternyata lebih riuh, sampai di
pinggir-pinggir dek penuh dengan manusia. Entah bagaimana dengan urusan
tiket mereka, mereka tak dapat makan dan sepertinya hanya menumpang.
Namanya bang
......., dia dari Makassar dan hendak ke Sorong bersama istrinya. Ikut
bernyanyi bersama kami sambil sesekali melempar canda dan kami diberi pisang
Makassar satu-satu. Dengan bahasanya sesekali ia bercakap dengan istrinya,
sampai akhirnya bang ... melepas kaos panjangnya dan dilempar ke istrinya, rupanya
sang istri kedinginan malam itu. Sungguh romantis benar orang Makassar ini, di
kala dingin begitu menerjang rupanya Bang ... masih rela berkorban untuk
istrinya, kami salut Bang.
***
Tibalah
rombongan kami di pelabuhan Sorong, di kala matahari sangat terik-teriknya kami
harus menuruni kapal sambil membawa barang bawaan yang cukup banyak dan
berkardus-kardus.
“cepat..cepatt, mahasiswa kok
lama”. Teriak seorang bapak-bapak dari belakang yang rupanya seorang pegawai
kapal.
Barang bawaan yang banyak dan
keramaian yang amat sangat membuat kami harus tetap waspada juga. Seorang cewek
perkasa di tim kami, sebut saja Sihe ikut membawa tas carrier yang rumayan
berat. Biasanya memang yang berat-berat dibawa para laki-laki tangguh tim ini.
Sisanya yang enteng-enteng baru bagian cewek.
Tangga demi
tangga kapal kami turuni, disertai teriakan dari berbagai arah. Di lorong kapal
memang harus waspada, disitulah rupanya rawan akan kecurian. Apalagi untuk
barang-barang berharga, harus dipegang betul-betul.
Tas yang berisikan
full Kamera dan lensa ini rupanya cukup berat, aku membawanya sampai di
pelabuhan. Di Pelabuhan Sorong ini rupanya kami sudah dijemput oleh bus STKIP
Muhammadyah Sorong, beberapa alumni UMY seperti Kak Anna yang merupakan seorang
Dokter tamatan UMY dan beberapa orang lainnya.
Bus STKIP
mulai berjalan keluar Pelabuhan, di dalam Bus ada Pak Oki yang terus
menerangkan apa-apa yang terlihat di jalanan. Pak Oki ini adalah Kepala Sekolah
dan satu-satunya guru di SD Labschool STKIP Muhammadiyah yang ada di Kampung
Warmon Kokoda, tempat kami akan mengabdi. Melihat jalan yang kami lewati tak
seperti di tempat baru. Rasanya sama saja dengan di Jogja, apalagi banyak orang
Jawa. Tadinya kami pikir akan langsung menjumpai orang-orang Papua asli, tapi
rupanya tidak seperti itu. kebanyakan yang berada di kota justru para pendatang
(transmigran) baik dari Sulawesi, Jawa, NTT,NTB, dll.
Kami sangat senang sekali karena akan segera tiba di lokasi pengabdian kami yaitu di Kampung Warmon Kokoda, Distrik Mayamuk yang berada di Kabupaten Sorong. tapi rupanya kami masih harus beramah tamah terlebih dahulu di daerah perkotaan. Jadilah kami mampir di STKIP Muhammadiyah Sorong terlebh dahulu, yang mana disana sudah disediakan banyak makanan, kebetulan kami sedang lapar-laparnya.
Malamnya rombongan kami bertemu dan bersilaturahmi dengan beberapa pejabat daerah Sorong, Pimpinan Muhammadiyah kota Sorong, Kepala Desa Kampung Warmon Kokoda, dan KAUMY di kota Sorong, diana kami juga disambut dengan makan-makan dan alnan musik yang dinyanyikan secara langsung, sepertinya para penyanyi dan pemain musik adalah remaja-remaja daerah Sorong. kami sangat senang makan ayam di jamuan itu, meski tanpa menggunakan sendok namun makanannya begitu banyak. Saaya sendiri berpikir mungkin di Papua memang biasa makan dengan tangan, walaupun di ampung halaman saya juga tetapi di Papua tamu pun pakai tangan dalam makan untuk sebuah hajatan. sedikit membuat saya terpukau memang.
Tak hanya itu, sepulangnya dari tempat hajatan kami bersama-sama pulang ke Wisma STKIP yang menjadi tempat istirahat kami malam ini. Rupanya jalan begitu gelap, tak adanya lampu jalan membuat kami harus menyalakan senter di hap jika tak ingin terjebak di kubangan-kubangan lumpur yang menghiasi jalan beraspal yang kami lewati. ohh Tuhan.. seperti inilah awal saya mengetahu realitas Papua, semoga Papua akan terus tumbuh dan benar-benar menjadi Surga kecil di bumi Pertiwi bagi masyarakatnya.
Kami sangat senang sekali karena akan segera tiba di lokasi pengabdian kami yaitu di Kampung Warmon Kokoda, Distrik Mayamuk yang berada di Kabupaten Sorong. tapi rupanya kami masih harus beramah tamah terlebih dahulu di daerah perkotaan. Jadilah kami mampir di STKIP Muhammadiyah Sorong terlebh dahulu, yang mana disana sudah disediakan banyak makanan, kebetulan kami sedang lapar-laparnya.
Food court STKIP Muhammadiyah Sorong menjadi tempat singgah rombongan makan pertama di tanah Papua |
Tak hanya itu, sepulangnya dari tempat hajatan kami bersama-sama pulang ke Wisma STKIP yang menjadi tempat istirahat kami malam ini. Rupanya jalan begitu gelap, tak adanya lampu jalan membuat kami harus menyalakan senter di hap jika tak ingin terjebak di kubangan-kubangan lumpur yang menghiasi jalan beraspal yang kami lewati. ohh Tuhan.. seperti inilah awal saya mengetahu realitas Papua, semoga Papua akan terus tumbuh dan benar-benar menjadi Surga kecil di bumi Pertiwi bagi masyarakatnya.
Tags:
sebuah perjalanan
0 komentar