seulas senyum di sunset merah Kokoda: Semangat 17an (Part 1)



Gadis Kampung Warmon berdiri disamping bendera Merah Putih yang ia tancapkan di halaman rumah warga
credit: umi
Senin minggu ini adalah hari pertama diadakannya lomba 17an. Serangkaian acara sudah disusun, segala persiapan ditempuh. Dengan tema “Merajut Mimpi Dalam KeBhinnekaan” yang tiba-tiba terceletuk dari mulut seorang teman saya, sebut saja Kahfi. Ditengah rapat sebelum hari itu, yang diadakan mini panitia 17-an, semua anak bingung menentukan kapan perlombaan-perlombaan yang sudah disusun dan dibuat list itu akan diadakan. Terang saja, iklim saat itu memang tak menentu, hujan terus mengguyur tak peduli pagi, siang dan malam. Membuat jalan becek bahkan sampai banjir. Banjir di Warmon Kokoda tak bisa dianggap remeh karena sungai akan meluap dan berakhir banjir. Ketidakadaan daerah resapanlah yang membuatnya menjadi rawan banjir. Suasana malam itu hening di tengah rapat karena semua sibuk memikirkan tema yang akan diusung dalam serangkaian acara memeriahkan HUT RI yang ke 72 tahun tersebut. Sebuah suara memecahkan keheningan kala itu
“merajut mimpi dalam ke-Bhinnekaan”
Sontak saja langsung dibanjiri sedikit olokan dari teman-teman tapi tetap dipertimbangkan.
“mungkin bisa diterangkan maksud merajut mimpi dalam kebhinnekaan itu saudara Kahfi” timpal Ade yang merupakan ketua panitia 17 Agustus.
Dengan segala pertimbangan dan dukungan dari beberapa anggota lain akhirnya tema yang terceletuk dari sebuah ketidaksengajaan tersebut diputuskan menjadi tema  acara dan suasana kembali mencair penuh canda.
Banner Prayaan Hari Kemerdekaan RI yang dipasang di Kampung Makbusun
credit: MBN 

***

12 Agustus 2017
            Sunrise yang indah dan banjir menyambut pagi kami, entah berapa kubik air yang jatuh di Kokoda dalam semalaman itu. Baru malamnya saya dan beberapa anak lain pulang dari tempat Budhe berjalan kaki melewati tanah pecek seperti biasa, paginya sudah banjir setinggi lutut laki-laki dewasa. Dalam rumah yang tak lebih luas dari 30 m2 itu kami terkungkung menunggu air surut, juga menunggu sarapan yang tak kunjung masak.
            Memasak di Kokoda memang tak mudah, perlu sedikit peluih untuk sekedar membuat sarapan. Ketiadaan air bersih memaksa beberapa laki-laki yang piket[1] di hari itu mencari air bersih untuk sekedar mencuci sayur dan beras, sementara untuk memasak kami masih mengandalkan air galon yang dibeli di warung Bu Sur di kampung transmigran depan yang rumayan jauh, dan air hujan yang turunnya tak menentu.
            Akhirnya sarapan pagi itu yang menjelang siang lebih tepatnya masak, sayur kangkung seperti biasa menghiasi ruang tamu, ditambah tempe goreng yang cukup untuk lauk pagi itu. Sudah bagus sarapan pagi itu jadi sekitar pukul 10.00 WIT di tengah banjir seperti ini. Ohh.. iya walaupun tak ada air galon karena keterhambatan akses rupanya air hujan justru melimpah.  Air hujanlah sumber kehidupan pagi itu di rumah paling ujung yang dijadikan posko ke dua kami, sementara posko pertama dihuni oleh laki-laki yang berada agak didepan rumah posko dua yang dihuni perempuan dan beberapa laki-laki.
            Selang beberapa jam sampai menjelang siag rupanya air tak kunjung surut, tentu saja kami tak bisa tinggal diam terus di rumah seperti ini. Banjir pun akhirnya diterobos, tak peduli seberapa tinggi itu. Tapi rupanya kami masih kalah kreatif dengan masyarakat, mereka menggunakan kapal kecil (kano) untuk pergi ke warung Mercy membeli pisang goreng. Sepatu boot yang biasa digunakan rupanya tak cukup melindungi kaki, jadi lebih baik memakai sandal atau “nyeker” tak memakai alas ditengah banjir setinggi lutut seperti ini. Sejak saat itu banjir dan pecek sudah bukan halangan.
            “medkom tolong ada yang ke depan, itu ada lomba renang”
Rupanya banjir telah dimanfaatkan warga untuk mengadakan perlombbaan yaitu lomba renang, Bapak Desa lah yang telah menginisiasi warganya untuk lomba renang saja sekaligus menyambut hari kemerdekaan yang tinggal menghitung hari.

Keriuhan lomba renang di sungai Kampung Warmon
credit: video amatir format Instastory

            Aku langsung bergegas pergi ke depan tepatnya di dekat jembatan yang merupakan jembatan penyeberangan diatas suangai Warmon (kali Warmon). Sepatu boot berhasil kupakai karena air sudah sedikit surut. Ku tenteng Camera Canon Miroless, dengan langkah gontai langsung ku jebret sana sini. Beberapa momen menarik berhasil kudapatkan.
            “itu sudah.., benderanya disana,”
            “mantap sekali”
Komentar mama-mama dan remaja-remaja putri Warmon menambah kemeriahan perlombaan itu. tak hanya pandai berkomentar mereka juga turut menyemangati peserta sambil sesekali ikut merasakan cipratan Kali Warmon yang banjir itu. Bapak Desa yang mencatat para pemenang dengan dibantu Bapak Jalal, ketua RT.02 dan Sihe, salahsatu teman PPM kami.
Tak perlu banyak kata karena semangat 17 sangat terlihat, perebutan bendera merah putih yang ditancapkan di ujung kali Warmon begitu meriah, semua peserta menginginkannya. Berenang sekencang-kencangnya secepat-cepatnya menjadi satu-satunya pilihan untuk mendapatkan merah putih itu.
Klik Vlog Lomba Renang _ KKN-PPM MBN UMY Kokoda 2017
***




[1] (piket); bagian memasak, membersihkan rumah dll, giliran

Share:

2 komentar

  1. Hi there! This is my first comment here so I just wanted to
    give a quick shout out and say I truly enjoy
    reading through your articles. Can you suggest any other blogs/websites/forums that
    deal with the same subjects? Thank you so much!

    BalasHapus
  2. Hmm is anyone else experiencing problems with the pictures on this blog loading?
    I'm trying to figure out if its a problem on my end or if it's the blog.
    Any feed-back would be greatly appreciated.

    BalasHapus